Tidak ada asap tanpa api. Begitupun dengan setiap gerakan sosial. Ia selalu didahului dengan kekecewaan, ketidakpuasan atau justru kepuasan masyarakat, baik dalam bentuk nilai-nilai, sistem atau menyangkut kebutuhan pragmatis. Itu pula yang terjadi dengan para pedagang pasar Dinoyo. Rencana pemkot Malang mengganti pasar tradisional Dinoyo menjadi mall dan memindahakan mereka di belakang mall serentak menyadarkan posisi kolektif mereka untuk bangkit melawan. Para pedagang kecewa dengan pemerintah kota Malang.
Akan tetapi pada penulisan ini bukan persoalan pasar Dinoyo yang ingin penulis sajikan. Penulis tidak sedang melakukan kegiatan penulisan investigasi. Penulis hanya menggunakan polemik yang terjadi di pasar Dinoyo sebagai umpan keinginan penulis untuk belajar membedah asal-usul gerakan sosial terjadi berikut berbagai kajian teoritis tentang gerakan sosial, tentu dengan bahasa yang sesederhahana dan sesingkat mungkin. Lebih-lebih gerakan sosial telah berkembang sangat luas dan rumit dengan mobilisasi massa dan derivasi teori gerakan yang kian beragam. Dengan bahasa yang lugas, penulis berharap tulisan ini bermanfaat besar untuk para aktifis pemula dan “amatir” seperti penulis sendiri.
Pada persoalan pedagang pasar Dinoyo, persamaan nasib secara kolektif yang terjadi pada sekitar 1500 pedagang menjadikan mereka sadar untuk bergerak secara bersama-sama. Ada ancaman yang mengganggu kenyamanan mereka. Tidak hanya tempat yang tergusur dan diganti mall, mereka juga resah dengan keharuskan ikut serta “membeli” lapak baru nantinya dengan angka lebih dari lima juta rupiah. Ada yang lebih dihawatirkan para pedagang, yakni penempatan pasar tardisional di belakang mall.
Ancaman penggusuran itu sangat mengganggu keadaan psikologis kolektif para pedagang. Keadaan psikologis itu merupakan produk (sebab) dari kondisi-kondisi sosial rencana perubahan dan penggusuran yang ada. Secara formal, pengertian gerakan sosial (social movement) menurut Turner dan Killan [1972] diartikan sebagai kegiatan kolektif (bersama) untuk menunjang atau menolak perubahan. Aksi demonstrasi yang dilakukan para pedagang di depan pemkot tersebut adalah usaha menolak perubahan yang mengancam kenyamanan para pedagang.
Jika melihat kajian formal teoretis, ada beberapa akar dari gerakan sosial. Pertama adalah Teori Deprivasi Relatif (Relative Deprivatian Theory). Teori ini menjelaskan bahwa kesenjangan antara harapan dan kenyataan menjadi pemicu gerakan sosial. Contoh kasus dari teori ini adalah pada persoalan buruh, dimana tingkat kesejahteraan mereka dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, meliputi pendidikan, kesehatan dan kebutuhan sehari-hari. Keadaan ini menggerakkan mereka untuk bergerak melakukan aksi gerakan sosial menuntut perubahan. Para buruh ini kemudian bergerak dalam berbagai organisasi serikat perjuangan buruh.
Perlu dicatat, deprivasi mutlak (absolut) justru tidak memunculkan gerakan sosial. Keadaan sebuah desa atau negara yang seluruh penduduknya miskin membuat mereka merasakan persamaan nasib secara keseluruhan. Tidak ada yang mereka lihat selain kemiskinan, sehingga tidak merasa diperlakukan tidak adil. Maka kondisi pemicu gerakan sosial ini adalah deprivasi yang bersifat relatif, dimana ada perasaan kesenjangan antara kaya dan miskin. Semakin tajam kesenjangan itu, maka pergerakan sosial juga akan bergerak semakin dinamis dan progressif.
Kedua adalah Teori Mobilisasi Sumberdaya (Resource Mobilization Theory). Teori ini menjelaskan bahwa kemampuan atau kepemilikan pada akses sumberdaya yang ada memungkinkan mereka untuk melakukan gerakan sosial. Asumsi teori ini adalah masyarakat selalu mengalami ketidakpuasan akan perkembangan yang terjadi. Kondisi ini memunculkan terjadinya sebuah gerakan sosial.
Ketiga adalah teori Prosess-Politik. Pada prinsipnya teori ini mempunyai hubungan yang kuat dengan teori mobilisasi sumberdaya, dimana tuntutan atau dukungan proses politik yang ada mempunyai tujuan yang sama pada pemanfaatan mobilisasi sumberdaya yang ada secara lebih baik. Teori Proses-Politik ini menekankan pada situasi politik yang ada hingga memunculkan peluang-peluang terjadinya gerakan sosial.
Dari ketiga akar gerakan sosial diatas, pada dasarnya munculnya gerakan sosial tetap saja berangkat dari suatu kepuasan atau ketidakpuasan. Gerakan sosial yang menuntut perubahan adalah bagian dari element yang kecewa dengan realitas yang ada. Sementara gerakan sosial yang mendukung realitas sosial yang ada adalah mereka yang puas dengan keadaan yang terjadi.
Sedangkan dari jenisnya, ada berbagai bentuk gerakan sosial. Sebagian diantara gerakan sosial itu adalah (1) gerakan protes, (2) gerakan regresif/resistensi/perlawanan, (3) gerakan religius, (4) gerakan komunal/gerakan utopia/ gerakan kelompok yang memberi contoh-contoh perubahan, (5) gerakan perpindahan, (6) gerakan ekspresif/mengubah sikap dan (7) gerakan fanatis/ kultus personal.
Gerakan sosial yang dilakukan para pedagang pasar Dinoyo pada dasarnya bukan menolak bentuk perubahan atau peremajaan pasar. Akan tetapi yang diharapkan pedagang adalah perbaikan yang lebih substantif pada persoalan pasar yang sekarang terjadi, yakni perbaikan standart kelayakan pasar tradisional, bukan perampasan. Pedagang tentu saja keberatan jika diharuskan membayar dengan harga baru menyesuaikan bentuk modernisasi pasar yang ada, lebih-lebih jika menengok rencana pembangunan pasar Dinoyo yang ada adalah mall dan hotel dengan 15 lantai, sementara pasar tradisional hanya ditempatkan di belakang mall.
Berbagai harapan-harapan pedagang yang tidak sejalan dengan pandangan pemerintah kota Malang itu kini menyulut api gerakan sosial dalam berbagai bentuk aksi massa. Pemerintah kota Malang mutlak harus mendengarkan suara mereka, tidak hanya suara investor yang menang lelang saja. Suara mereka harus didengarkan sejajar dengan suara pemerintah, DPRD dan investor, karena masing-masing dari mereka mempunyai peran yang sama-sama penting pada benda yang disebut pasar itu.
toro says
makasih mas, dah mbantu banget tulisannya, salam SOSIOLOGI