Dalam seri sebelumnya telah dibahas mengenai sosok Machiavelli dan latar belakang kehidupannya. Selanjutnya, pada perjumpaan kali ini pembaca avepress akan diajak untuk membaca sembari duduk santai mengenai substansi pemikiran Machiavelli dalam ranah kekuasaan.
Dapat diketahui bahwa terdapat tiga arus yang mempengaruhi pemikiran Machiavelli. Pertama, adalah kondisi pada zaman renaisans yang sangat menjustifikasi perilaku pemikir untuk lebih berdasar pada garis besar humanisme. Kedua, adalah ayahnya yang sangat mengagumi karya agung Yunani dan Romawi. Ketiga, adalah peristiwa politik pada masa kekuasaan Medici.
Dari ketiga arus tersebut nampak yang memiliki urgensi tinggi sebagai pengaruh dari pemikiran Machiavelli adalah peristiwa politik pada masa kekuasaan Medici. Hal ini dibuktikan dalam bukunya Il Principle yang nampak bahwa tinjauan kritisnya mengenai kekuasaan yang berorientasi pada tindakan otoritarian. Dalam buku tersebut terangkum gagasan Machiavelli yang ditujukan untuk menarik minat perhatian Medici, agar dia kembali mendapatkan kepercayaan dari Medici, setelah dia diangsingkan oleh Medici. Seperti yang diutarakan di kalimat awal buku il Principle, dimana tertulis dengan huruf besar Il Principle untuk Lorenzo putra Piero Di Medici.[9] Meski tidak mendapatkan simpatik dari keluarga Medici, namun buku tersebut kini menjadi rujukan para diktator. Telah banyak diktator yang “terlahirkan” dari buku tersebut. Sebut saja Musollini, Hitler hingga Soeharto.
Namun, menjadi dangkal apabila kita hanya menjadikan Machiavelli sebagai sosok yang merajut genealogi dari pemikiran kekuasaan diktatorian. Karena sejatinya, yang Machiavelli pikirkan juga mengenai hakikat nilai-nilai kemanusiaan dengan menguatkan narasi kesejahteraan.
Sebagaiamana dalam pemikirannya yang tertuang dalam buku tersebut, ia menyatakan bahwa terdapat dua tipologi pemimpin, yaitu pemimpin yang dicintai dan pemimpin yang ditakuti. Pada awal mulanya seorang pemimpin harus ditakuti terlebih dahulu guna memperkuat kekuasaannya. Oleh karena itu, harus ada sebuah militer yang kuat untuk menjadi pilar-pilar yang menghalangi kekuasaan pemimpin. Menurut Machiavelli, militer harus terdiri dari orang-orang yang memiliki komitmen dan memiliki sumbangsih untuk kejayaan negaranya, buka orang-orang bayaran. Menjadi rahasiam umum jika orang bayaran mampu beralih juragan ketika mendapati imbalan yang lebih besar.[10]
Jika kekuatan militer telah kuat, maka yang terjadi adalah tidak ada suatu kekuatan yang mampu mengganggu panggung kekuasaanya. Akan tetapi, kekuasaan yang digunakan oleh pemimpin tidak boleh terus menerus menakutkan. Karena pemimpin harus menjelma menjadi pemimpin yang dicintai. Lebih lanjut, Machiavelli juga menjelaskan bahwa suatu kepemimpinan harus senada dengan kehendak rakyat, karena melalui narasi tersebut pemimpin dapat dicintai oleh rakyatnya. Namun, keduanya akan sulit berdampingan, hal itu disebabkan oleh pada hakikatnya manusia memiliki sifat baik dan sifat buruk. Jika keduanya tidak mampu berjalan beriringan akan lebih baik apabila yang diprioritaskan adalah pemimpin yang kejam atau ditakuti. Pada akhirnya, tipe pemimpin ini tidak boleh dibenci karena kebencian akan mampu merusak citra pemimpin dihati rakyat. [11]
Machiavelli sering kali menyatakan bahwa jangan pernah takut untuk menjadi pemimpin kejam dan jangan takut untuk dijuluki menjadi sosok pemimpin kejam. Persolan ini harus dilakukan karena bawahan dari pemimpin tersebut harus merasa takut agar segala perintah dari sang pemimpin mampu dijalankan dengan baik. Oleh karena pemikirannya yang brilian, oleh Russel, Machiavelli ditempatkan sebagai penulis yang memiliki kecintaan terhadap kekuasaan dan juga kemasyhuran.[12]
Dalam buku Il Principle juga disebutkan secara ekspilisit mengenai penanggalan moralitas dalam kepedulian perilaku penguasa. Seorang penguasa akan mati jika dia selalu berbuat baik, dia harus selicik serigala dan segalak singa. Menurutnya, kita harus mengetahui bahwa raja-raja atau para pemimpin harus mengetahui dan menjaga imannya ketika memang diperlukan, tetapi bukan sebaliknya. Seorang raja atau pemimpin pada suatu saat harus mengingkari imannya.[13] Meskipun demikian, Machiavelli juga menambahkan bahwa seorang raja atau pemimpin harus terlihat seperti seorang religius.[14]
Selain berbicara tentang kelicikan dan kepicikan terkait kekuasaan, Machiavelli sebagai pemikir juga masih membicarakan tentang kebaikan mengenai konsepsi kekuasaan. Yaitu mengenai konsep politik yang menurutnya sangat penting untuk diaktualisasikan, seperti: kemerdekaan nasional, keamanan dan sebuah konstitusi.[15] Konstitusi yang baik menurutnya adalah konstitusi yang membagi hak-hak hukum secara adil antara raja, bangsawan dan rakyat. Pemikiran ini nampak seperti pemikiran Montesqieu mengenai konsep pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Dengan konstitusi yang seperti ini maka pemerintahan akan dekat dengan stabilitas. Akan tetapi, menurut Machiavelli mengenai kebaikan ini akan sia-sia apabila kekuasaan tidak mampu direbut dan terkendali. Sebabnya, terletak pada puncak kekuasaan yang problematik. Sehingga meraih sebuah kekuasaan adalah suatu kebutuhan. Nyaris seirama dengan Nietzche, yang menyatakan pada hakikatnya manusia memiki kehendak untuk berkuasa atau to will to power. Namun kehendak berkuasa ini akan sia-sia jika tidak ada yang namanya suatu opini yang dibangun kekuasaan. Selanjutnya, kekuasaan akan sangat bergantung pada propaganda, didalam propaganda tersebut haruslah kiranya pemimpin itu melakukan cara yang tampak lebih berbudi daripada musuh, karena agar nampak berbudi pemimpin harus berbudi.[16]
Setelah sedikit berbicara mengenai sisi lain dalam pemikiran Machiavelli marilah kita kembali pada pemikiran utama kekuasaan Machiavelli. Menurutnya, kedaulatan tertinggi suatu negara terletak pada kekuasaan penguasa, atau yang dikenal dengan Machstaat. Bukan bertitik pada konstitusi (rechstaat) ataupun rakyat. Selanjutnya dalam pembahasan mengenai perebutan kekuasaan, Machiavelli mengungkapkan bahwa kiranya ketika sesosok pemimpin telah merebut suatu kekuasaan maka ada dua langkah yang harus dia ambil. Pertama adalah dengan membumihanguskan penguasa lama, hingga pemerintahan benar-benar bersih daripada koloni-koloni penguasaan lama. Kedua, dengan melakukan kolonisasi, mendirikan pemukiman-pemukiman baru dan menempatkan sejumlah besar penduduk infantri di wilayah dekat koloni atau musuh serta menjalin hubungan-hubungan baik dengan negara tetangga.[17] Akan tetapi seperti halnya diawal, bahwa setelah mendapatkan kekuasaan tersebut, penguasa harus menggunakan dengan baik kekuasaan yang direbut dengan kejam. Apabila penguasa tersebut tidak menggunakan kekuasaan dengan baik yang dekat dengan rakyat, maka penguasa tersebut hanya akan bisa berkuasa, tidak menjadikannya sebagai sosok pahlawan dan terhormat.[18]
Menyimak dari pemikiran Machiavelli diatas, kita dapat menarik dua pandangan mengenai pemikirannya. Yakni keharusan seorang pemimpin bersifat baik dan kejam. Istilah keren Machiavelli pemimpin harus ditakuti dan dicintai. Dalam suatu waktu, pemimpin diharuskan membumi menjadi seorang manusia. Di waktu lain, ia dituntut untuk menjadi pembunuh berdarah dingin. Hingga pada akhirnya hal tersebut seperti sebuah mata uang yang memiliki dua sisi “two sides of the same coin.”
Daftar Bacaan
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia, 2001
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Niccolo Machiavelli, Il Principle, Jakarta: Buku Kita, 2008
Leave a Reply