Kekuasaan haruslah diperoleh, digunakan, dan dipertahankan semata-mata demi kekuasaan itu sendiri.
–Niccolo Machiavelli (Il Principle)
Kehidupan Italia pada masa renaissance berangsur pulih pasca dominasi gereja. Hal ini adalah berkat sumbangsih pemikir-pemikir yang mampu memberikan sebuah pencerahan baru atas dominasi gereja yang selalu mengikat. Salah satu pemikirnya adalah Machiavelli. Machiavelli dianggap mampu memutarbalikkan doktrinasi gereja setelah dia mampu mencetuskan sebuah buah karya pemikiran mengenai agama dan gereja yang termaktub dalam buku Discourses. Selain itu, Machiavelli juga memiliki sebuah maha karya yang berjudul Sang Pengeran atau Il Principle, yang hingga saat ini masih dikenal dengan buku maha dasyat bagi para penggila politik.
Hidup jauh dari ratusan tahun sebelum 2014, tak membuat pemikiran Machiavelli redup. Pemikirannya masih menjadi dasar rujukan lantaran hingga kini realitas politik masih berada pada suatu pisau analisa kekuasaan seperti yang ditelaah oleh Machiavelli. Di Indonesia sendiri ketika kita berbincang mengenai kepemimpinan yang diktator, maka kita akan segera melirik kekuasaan Presiden Soeharto. Presiden Soeharto yang memimpin bangsa ini lebih dari 30 tahun ditengarai merupakan sosok yang otoritarian dan banyak menerapkan pemikiran politik Machiavelli sebagai arah gerak kekuasaannya. Hal inilah yang menjadikan pemikiran dari Machiavelli selalu menarik untuk tetap dirujuk dalam ruang akademis, utamanya dalam studi teori kekuasaan.
Niccolo Machiavelli
Machiavelli, mendengar penamaan namanyasudah pasti orang akan memprediksidia adalah anak dari sebuah negara benua biru yang terkenal dengan kelezatan Pizza dan miring Menara Pisa, tepatnya adalah Italia. Machiavelli terlahir sebagai orang Italia dan lahir di Kota Florence, pada tahun 1467. Pada waktu kelahiran Machiavelli, Italia masih berada pada sebuah kondisi dimana pemikiran-pemikiran filsafat dan keilmuan sudah mulai dijunjung keberadaannya, tanpa ada kekerasan dari pihak gereja yang signifikan. Menurut sejarahnya, Kota tempat kelahiran Machiavelli pada waktu itu berbalut dengan kondisi yang aman dan nyaman bahkan sejahtera dibawah genggaman kekuasaan tangan besi Medici. Hingga karena demikian kuatnya, semua orang bahkan tidak ada yang berani melawan kekuasaan Medici.[1]
Machiavelli dikaruniai seorang ayah yang juga pandai dalam dunia akademis. Bernardo Machiavelli adalah ayah dari Niccolo Machiavelli yang sangat mengagumi karya-karya klasik masa Yunani dan Romawi. Bernando Machiavelli menekuni karya klasik Cicero, Philipus, On Moral Obligation, dan The Making of an Orator, serta membaca karya Livius yang berjudul History. Adapun pada akhirnya karya Livius tersebut merupakan rujukan dari Machiavelli dalam mengerjakan The Prince.[2]Jadi jelas bagi Machiavelli, ayahnnya merupakan sebuah sumber dasar inspirasi pemikirannya. Melalui ilmu-ilmu kemanusiaan yang ditularkan dari ayahnya dan yang trend pada masa itu, Machiavelli dapat berkembang menjadi sosok pemikir besar.
Pada akhirnya, melalui ilmu-ilmu kemanusiaan tersebut Machiavelli tumbuh sebagai pemikir yang bergaya realisme, dimana ia selalu memandang kondisi-kondisi disekitarnya sebagai rujukan untuk membentuk argumentasi. Berkat gaya realisme ini Machiavelli dalam buku Sejarah Filsafat Barat dikatakan sebagai orang-orang merasa terbebas dari penipuan. Hal ini lantaran realisme yang digunakan sebagai pijakan awal filsafat politiknya mampu memiliki relevansi dengan dengan filsafat politik yang ilmiah dan empiris. Selain itu, Machiavelli telah membawa perkembangan pesat pemikiran kekuasaan lebih jujur secara intelektual dengan kondisi ketidakjujuran politik dalam fenomena kekuasaan. [3]
Machiavelli pada akhirnya tumbuh berkembang dibawah kekuasaan otoritarianisme Medici. Namun, kediktatorian Medici tidak lantas membuat Machiavelli takut untuk berkoar melihat siapa pemimpin yang terbaik baginya. Karena ia melihat seorang Savonarola pada usianya ketika sudah menginjak 25 tahun. Savonarola merupakan sosok politisi yang moralis yang membela kaum-kaum miskin dan melawan orang-orang kaya.[4] Selain itu Savonarola juga merupakan sosok yang alim dan memiliki reputasi atas penguasaan keilmuan dari berbagai disiplin ilmu. Nampaknya, ia sangat layak menjadi seorang pemimpin atas warga negara Italia untuk menggantikan rezim yang ada. Namun sayang, sejarah tidak mencatatnya sebagai seorang pemimpin besar, lantaran dia tidak memiliki kekuatan militer yang tangguh dan trengginas. Hal ini pada akhirnya membuat Machiavelli berpikir ulang bahwa pemimpin yang baik bukan hanya dicintai atau disukai gaya pemikirannya, akan tetapi dia juga harus ditakuti sebagai seorang pimpinan besar. Kemudian daripada itu Savonarola ditangkap, disiksa dan dieksekusi oleh pihak gereja karena hendak mendirikan negara teokratik demokratik, mengkritik kekuasaan dan korupsi Cosimo de Medici dan mengajarkan ajaran sesat. Sehingga Machiavelli menyatakan bahwa mereka yang bersenjata akan dapat menaklukan mereka yang tidak bersenjata.[5]
Selain otoritarianisme Medici mempengaruhi sebagian besar pemikiran politik Machiavelli, terdapat beberapa sektor lagi yang mempengaruhi pemikirannya. Yaitu mengenai pertumbuhan ekonomi yang berkembang dan pada akhirnya mempengaruhi kondisi politik. Pada waktu itu situasi ekonomi bertumbuh dengan pesat setelah The Crusade yang terjadi sepanjang 300 tahun, yang pada akhirnya hal ini membuat kota-kota seperti Genoa, Venezia dan Florence tumbuh berkembang menjadi ekspansi rute perdagangan dunia.
Dalam puncak karirinya, Machiavelli pernah menjadi seorang diplomat. Karena kecerdasan, kesungguhan dan kepiawaiannya dalam berdiplomasi, Machiavelli berhasil mengemban tugasnya dengan baik. Namun, sayang dalam kariernya ia harus mendekam dalam sel penjara lantaran dia ditengarai sebagai seorang sosok yang hendak menggulingkan kekuasaan Medici. Dalam jeruji besi tersebut tidak lantas membuat Machiavelli tinggal diam, bau besi membuat pemikiran politiknya menjadi-jadi hingga menjadi sebuah buku-buku karyanya yang fenomenal. Adapun karya-karyanya adalah History of Florence, Art of War, Dilogue on Languange, Discourses upon Lyvi, Il Principle/The Prince dan the Discourses.[6] Hal ini pada akhirnya membuat para pejuang-pejuang era kekinian menjadikan Machiavelli sebagai sumber inspirasi. Bahwa perjuangan di balik jeruji besi mampu lebih keras daripada perjuangan dialam bebas. Karena sepanjang idealisme masih melekat dalam otak dan tubuh para pejuang, maka dimanapun mereka tinggal, mereka tetap akan berjuang demi sesuatu yang akan diraih.
Sekali lagi, perjuangan dan pemikiran Machiavelli tidak lepas dari zaman yang mengikatnya, yaitu zaman reinasans. Tidak cukup hanya mempelajari mengenai pandangan Machiavelli tentang kekuasaan tanpa harus memiliki dasar pijak yaitu memahami kondisi zaman reinasans. Zaman reinasans sendiri merupakan sebuah zaman pasca pencerahan dan sebelum zaman modern.
Renaissance Italia
Florence yang menjadi kota kelahiran Machiavelli merupakan sebuah kota yang mana gerakan reinasans tumbuh dan bermula di Italia, selain Kota Milan. Reinasans sendiri sebagai zaman yang lebih baik dari pada zaman pencerahan telah melahirkan para pemikir besar seperti pelukis Monalisa, yaitu Leonardo da Vinci, Angelo dan Machiavelli. Dalam zaman ini eropa sedikit demi sedikit telah merangkak menuju zaman modern. dimana-mana terjadi sebuah perubahan besar yang terjadi dalam ranah pemikiran, gagasan, mentalitas, agama dan ilmu pengetahuan. Hingga kebesaran terserbut dilukiskan dalam berbagai karya ilmiah salah satunya yang terbaik adalah karya Jacob Burckhardt, The Civilization of the Reinasans.[7]
Hingga karena kemajuannya pada masa itu kini zaman renaisans dijuluki sebagai sebuah Abad Keemasan ‘golden century’ dalam sejarah peradaban barat. Secara etimologis reinasans berasal dari bahasa Perancis: Renaisance, berasal dari kata-kata Re, (kembali) dan Natre (lahir) yang berarti kelahiran kembali. Dalam peradaban barat pengambilan istilah ini diambilkan berdasarkan terjadinya kebangkitan kembali minat yang begitu besar untuk mendalami kekayaan warisan Yunani dan Romawi kuno dalam berbagai aspeknya. Di peradaban ini orang sangat menggemari karya-karya Plato dan Aristoteles. Hal inilah yang akhirnya kembali menumbuh kembangkan humanisme dalam setiap pemikiran para tokoh reinasans.
Sejarawan humanis abad Reinasans memiliki keunggulan dibandingkan dengan abad pertengahan. Hal ini lantaran mereka tidak hanya terdiri dari para ilmuwan yang dapat mengembangkan keilmuwannya, tidak seperti sejarahwan klasik yang cenderung berkutat pada ilmu murni. Perkembangan yang paling trend di zaman ini ialah mengenai pengembangan keilmuan humanisme. Dimana humanisme telah dikembangkan menjadi suatu humanisme sekuler yang berorientasi pada perlawanan habis-habisan tradisi teosentrik peradaban lama. Tentunya hal ini didasari karena pemikiran pada masa reinasans menjadikan manusia sebagai obyek yang sempurna, hingga manusia sangat diagungkan dan banyak terjadi penuhanan terhadap harga diri manusia.[8]
Daftar Bacaan
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia, 2001
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Niccolo Machiavelli, Il Principle, Jakarta: Buku Kita, 2008
[1]Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia, 2001, Hal. 125
[2]Ibid, Hal. 126
[3]Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, Hal 662
[4]Op, Cit.,Pemikiran Politik Barat, Hal. 127
[5]Op, Cit., Sejarah Filsafat Barat, Hal. 667
[6]Op, Cit., Pemikiran Politik Barat,Hal. 130
[7]Ibid, Hal. 114
[8]Ibid, Hal. 120
Leave a Reply