Judul: Masa Depan Otonomi Daerah, Kajian Sosial, Ekonomi dan Politik Untuk Menciptakan Sinergi dalam Pembangunan Daerah
Penulis: Solichin Abdul Wahab, Fadillah Putra, dan Saiful Arif
Penerbit: SIC Surabaya
Tahun: 2002
Tebal: 180
ISBN: 9793233192
Bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di suatu negara, hakikat otonomi daerah, salah satunya, adalah kemampuannya menyediakan ruang publik yang lebar bagi munculnya partisipasi masyarakat. Demokrasi yang baik memerlukan partisipasi masyarakat di dalamnya, tidak hanya secara pasif di mana partisipasi tersebut ditentukan oleh struktur kekuasaan di atasnya (dan itu bukanlah partisipasi tapi mobilisasi), juga secara aktif di mana masyarakat memahami sepenuhnya atas kebutuhan-kebutuhannya, kemudian memilih, merumuskan dan mengupayakannya tercapai.
Dinamika masyarakat yang demikian, lepas dari perdebatan dari sisi administrasi pemerintahan apakah ini dianggap efektif atau tidak –pada dasarnya demokrasi sendiri tidak akan pernah efektif bagi sebuah keputusan-keputusan organisasi–, merupakan jalan lempang panjang bagi aspek keterwakilan, keterlibatan dan keturutsertaan masyarakat dalam mengelola negara.
Demi Keutuhan Bangsa
Tidak bisa tidak, jika demokrasi yang dimaui oleh pemerintahan sebuah negara –termasuk untuk kebutuhan-kebutuhan jangka pendek ke luar, misalnya untuk meyakinkan negara lain bahwa pemerintahan negara tersebut demokratis dan dengan demikian bisa diajak bekerjasama– maka pemberian otonomi yang luas pada daerah untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki adalah keharusan tidak tertolak. Terutama, jika dalam jangka panjang pemerintahan negara tersebut berharap atas keutuhan bangsa-bangsa yang mendiaminya, melunakkan aksi-aksi separatisme, bahkan tiadanya tuntutan untuk menceraiberaikan negara-bangsa yang ada di dalamnya.
Berharap atas kondisi-kondisi kebersatuan tersebut, sekiranya suatu pemerintahan tidak lagi bisa bermain-main dengan kebijakan pemberian otonomi kepada daerah-daerah di dalamnya. Pemerintah pusat, terutama, tidak bisa lagi memperlakukan daerah-daerah di bawahnya seperti hamba sahaya alias budak dengan memeras hasil keringatnya demi simbol kejayaan negara yang semu –padahal kita tahu itu untuk kepentingan segelintir orang, pelanggengan kekuasaan suatu rezim, dan kepentingan-kepentingan absurd yang lain.
Relasi kekuasaan yang membentuk hubungan patron-klien, di samping yang terjadi bukan lagi persoalan efektif atau tidak suatu keputusan diambil, juga secara tidak sadar suatu pemerintahan, seperti Indonesia katakanlah, sedang berusaha menghabisi sendiri riwayatnya sebagai negara bangsa. Dalam jangka panjang, keinginan untuk me-resentralisasi-kan kekuasaan, misalnya, adalah bentuk nyata dari keinginan untuk bunuh diri itu. Ironisnya, mengapa dalam suatu negara di mana sumberdaya alamnya berlimpah, sumber kekayaan tanpa batas, namun masih ada keinginan serakah dengan berusaha menguasainya sepenuhnya tanpa mau berbagai dengan yang secara hakiki memilikinya?
Desentralisasi di Indonesia
Konsep desentralisasi, betapapun bagusnya, jelas akan tidak bermakna sama sekali (meaningless) bagi kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat daerah jika ia tidak pernah diupayakan secara serius untuk bisa mengakar dalam kultur birokrasi lokal dan diimplementasikan dengan baik. Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah gambaran komprehensif mengenai praktik politik desentralisasi di Indonesia selama ini?
Siapapun yang pernah merasa tertarik mempelajari perkembangan pemerintahan di Indonesia agaknya akan sepakat pada satu hal, yaitu bahwa sejarah sistem pemerintahan daerah di Indonesia sesungguhnya lebih dipenuhi dengan riwayat mengenai format birokrasi pemerintahan yang strukturnya bukan hanya sangat sentralistis (highly centralized structure) tetapi juga tradisional-feodalistis (Putra Agung, 2001; Manan, 2001).
Faktor kesejarahan (historical background) inilah agaknya yang ikut memberikan andil dalam membentuk watak dan sikap politik rezim di Indonesia yang cenderung anti-desentralisasi, yaitu berupa kecenderungan politik dominasi pusat atas daerah-daerah (Malley, 2001), dan penyumbang terbesar dari alotnya proses implementasi kebijakan otonomi daerah.
Perubahan politik yang terjadi sesudah kemerdekaan, khususnya pergantian rezim dari Orde Lama Soekarno ke Orde Baru Soeharto, tak sertamerta membawa implikasi politik yang mendasar terhadap demokratisasi di bidang pemerintahan dan pengelolaan negara pada umumnya. Adanya latar belakang sosio-politico-historis inilah yang seharusnya mampu menggugah kesadaran kita semua bahwa pengalaman panjang yang kemudian membentuk cara pandang para elit politik dan elit birokrasi di Indonesia dalam mengelola masyarakat dan mengelola negara sesungguhnya lebih disarati oleh proses dan berbagai bentuk sosialisasi nilai-nilai politik yang otoriter, ketimbang nilai-nilai yang demokratis. Itu artinya bahwa upaya untuk mempraktikkan kebijakan otonomi daerah dengan benar di Indonesia jelas bukan persoalan yang gampang. Untuk bisa menjadi bagian integral dari kultur birokrasi di Indonesia hal itu memerlukan kerja ekstra keras disertai tekat politik yang luar biasa besar dari para elit politik untuk mewujudkannya.
Meski di masa lalu pernah berulangkali diintroduksi berbagai kebijakan yang “berbau desentralisasi”, namun sebelum lahirnya sepasang undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD) dan Undang Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (UUPKPD), sesungguhnya tidak pernah ada daerah (dan pemerintah daerah) yang betul-betul otonom (autonomous local government). Oleh sebab itu mungkin tidak terlalu berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa hadirnya kedua undang-undang tersebut merupakan tahap awal dari proses pembelajaran sosial (social learning process) menuju suatu tatanan pemerintahan daerah yang demokratis. Uraian ringkas berikutnya akan menjelaskan persoalan tersebut.
Leave a Reply