Bencana demi bencana datang silih berganti, dan tak akan berakhir. Tak akan pernah berakhir dan semakin serius tanpa adanya perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan yang hanya mementingkan untung hari ini, hampir dipastikan sudah menyimpan (atau menyembunyikan) kalkulasi kerugian sangat besar di masa mendatang.
Mana pernah kita belajar dari kenyataan kehancuran yang serius pada hutan-hutan Eropa Barat, bahkan sampai terjadinya Oil Shock pada 1983, atau kelaparan yang terjadi di Benua Afrika, atau menurunnya kualitas lingkungan di negara-negara tropis. Juga semakin menipisnya lapisan ozon dan efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global (global warming) telah semakin menunjukkan betapa seriusnya masalah lingkungan hidup di dunia ini.
Perubahan harus dilakukan bukan saja karena bencana sudah terjadi sedemikian kerap bahkan membosankan, melainkan hakikat kemanusiaan kitalah yang memerintahkan kita menjalankan kehidupan dengan seimbang.
Kesadaran akan krisis lingkungan hidup di bumi pertiwi ini harus melahirkan kesadaran akan konsekuensi dari suatu pembangunan yang berkelebihan (over-development). Harus ditumbuhkan perhatian kepada kelestarian hutan-hutan tropis di negara ini dan mulai menjadi agenda utama setiap proses pengambilan kebijakan pembangunan.
Selama ini konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) kita yang berwawasan lingkungan tampaknya mandeg di tengah jalan. Konsep ini belum berhasil melahirkan upaya secara sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi yang akan datang.
Di sisi lain paradigma pembangunan yang berkelanjutan sendiri, yang menjadi agenda politik lingkungan hidup sejak 1980an kini dikritik karena di tengah-tengah krisis lingkungan hidup tetap saja memprioritaskan pembangunan. Dengan paradigma yang dikonversi dan dilanjutkan bukanlah ekologi. Karenanya pakar lingkungan seperti Arne Naess dan Donald Worster mengusulkan “keberlanjutan ekologi” yang luas sebagai ganti pembangunan berkelanjutan.
Bangsa ini tampaknya memandang hutan lindung dan cagar alam masih sebagai sesuatu yang murah, dan merupakan lahan yang tersedia untuk pembangunan yang mudah, ketimbang sebagai ruang terbuka yang menyediakan nilai-nilai kearifan ekologis. Penegakan hukum lingkungan tidak terjadi karena kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat yang rendah terhadap peraturan yang berlaku.
Tiga Teori Etika Lingkungan
Ada tiga teori etika lingkungan yang dikenal: Shallow Environmental Ethics atau dikenal sebagai antroposentrisme; Intermediate Environmental Ethics atau biosentrisme; dan Deep Environmental Ethics atau ekosentrisme.
Antrosentrisme adalah etika yang meletakkan nilai tertinggi pada manusia dan kepentingannya, yang dianggap paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan kebijakan yang diambil berkaitan dengan alam. Sementara biosentrisme memperluas pemberlakuan etika bagi seluruh komunitas biotis, bukan hanya bagi manusia. Setiap kehidupan di bumi dipandang bernilai pada dirinya, sehingga mempunyai nilai moral yang sama, lepas dari perhitungan untung-rugi bagi kepentingan manusia. Albert Schweitzer, tokoh etika biosentrisme mengatakan bahwa kesalahan terbesar semua etika sejauh ini adalah, etika-etika tersebut hanya berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan manusia (hal 27).
Lalu ekosentrisme memperluas etika dari komunitas biosentrisme kepada komunitas ekologis seluruhnya. Salah satu versi ekosentrisme adalah Deep Ecology (DE) yang diperkenalkan Arne Naess (1973). Naess mengatakan filsafat pokok DE sebagai ecosophy. Artinya kearifan mengatur hidup selaras dengan alam sebagai suatu rumah tangga dalam arti luas. DE adalah etika lingkungan yang bersifat praktis, suatu gerakan dengan aksi nyata.
Dalam etika lingkungan juga dikenal Ekofeminisme (EF). EF pertama-tama menentang androsentrisme, yaitu teori etika lingkungan yang berpusat pada laki-laki. Ekosentrisme, khususnya DE, dikritik karena kritik DE melulu terhadap antroposentrisme sebagai penyebab krisis lingkungan.
Hak Asasi Alam
Begitulah salah satu yang ingin diungkap Sonny Keraf dalam Etika Lingkungan (2002). Etika lingkungan adalah disiplin ilmu yang berbicara tentang norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam tersebut.
Persoalan yang muncul dari teori etika lingkungan biosentris dan ekosentrisme, dalam tiga teori di atas, ialah apakah alam mempunyai hak asasi?
Sejumlah kalangan memang keberatan terhadap pemberlakuan hak asasi untuk alam. Mereka berpandangan bahwa alam adalah juga subyek moral. Hanya saja, berbeda dengan manusia, alam sendiri tidak mengklaim hak asasinya, tidak mempertahankannya bila dilanggar dan tak menuntut pihak lain untuk menghormatinya. Klaim mengenai hak asasi selalu mengandaikan adanya kewajiban pemilik hak asasi tersebut untuk menghargai hak asasi pihak lain secara seimbang dan mengandung pengertian resiprositas.
Menurut Keraf dalam buku itu, penerimaan bahwa alam mempunyai hak asasi memerlukan proses dan waktu yang lama, sebagaimana pengakuan kesetaraan martabat bagi para budak, kulit berwarna, bahkan kaum perempuan. Untuk keberatan itu Sony mengemukakan alasan para ahli, antara lain bahwa kalau argumen tersebut dianut secara konsisten, bayi, pasien sakit parah dan orang cacat mental tidak diakui punya hak asasi. Mereka pun tak punya kewajiban setara untuk menghargai hak asasi orang lain.
Referensi: Resensi Suara Pembaruan, 12/1/2003, Rainy MP Hutabarat
Gambar: http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2010/10/07/0812262620X310.jpg
Leave a Reply