Tidak selamanya keterbatasan infrastruktur berdampak negatif. Di kabupaten Tulungagung, keterbatasan fasilitas jembatan di atas Sungai Brantas dimanfatkan masyarakat dengan jasa perahu “Gethek”. Tidak hanya manusia, sepeda pancal, motor hingga mobil siap diseberangkan dengan perahu kayu ala kapal penyebrangan Feri. Masyarakat menyebutnya dengan “tambangan”.
Ongkosnyapun tidak mahal. Di hari biasa, untuk sekali bayar cukup Rp.1000,- berlaku untuk pulang pergi. Sedangkan pada situasi hari raya ini, ongkonsnya naik 100% menjadi Rp.2000,-
Perahu “gethek tambangan” ini seolah menjadi “dewa” pemangkas rute penyebrangan yang jauh. Maklum, di Tulungagung hanya ada satu jembatan di atas sungai Berantas, yakni jembatan Ngantru. Padahal sungai ini melewati kabupaten Tulungagung lebih dari 40km. Jembatan lain pernah di bangun di masa Belanda, yakni di utara lapangan Kunir Ngunut. Namun kini jembatan itu sudah hancur dimakan usia.
Perahu “Gethek tambangan” ini terbuat dari perahu kayu yang dirakit merata di atasnya seperti papan. Tidak perlu mesin untuk menggerakkannya. Aliran Sungai Brantas yang deras menjadi energi yang cukup handal untuk menggerakkan perahu ini. Cukup membelok-belokkan kemudi perahu sesuai keinginan sekaligus berfungsi sebagai penyeimbang, perahupun bergerak menyebrang. Sedang untuk menahan perahu agar tidak terseret arus, perahu dikaitkan dengan tambang yang dipasang menyebrangi sungai sebagai penahan. Mungkin karena penahan perahu ini menggunakan tambang, maka jasa penyebrangan ini disebut oleh masyarakat dengan “penambangan”.
Menyebrang sungai Brantas dengan perahu Gethek ini tentu mempunyai sensasi berbeda dengan hanya melintasi sungai lewat jembatan. Rasanya kita ditarik oleh waktu masa lampau yang meninabobokkan kita pada perkasanya nenek moyang kita diwaktu lampau, utamanya di atas air. Tidak hanya itu, kita juga bisa menikmati indahnya pemandangan dan luasnya pandangan sepanjang waktu penyebrangan. Cukuplah waktu menyebrang itu untuk rehat sejenak untuk memulai perjalanan selanjutnya. Dan, rasanya kita memang berada di waktu yang sangat lampau!
Wah tahun 2004aku KKN di Tumpuk, Purwekerto, Srengat Blitar. Selalu naik gethek saat balik ke malang atau jalan2 ke tulungagung. Mantap potone iki
Ri ente tulngagung ngendi? Suro mene aku insyaallah nang PETA haule Mbah Takim. Pengen rono pora?
hehehe, aq ABlitar mas. pi SMA neng pondok Ngunut. dadine yow hapal Tulungagung sak traadisi2ne, kiro2 ngono…
insyalloh budal wez..
Oyi, sebelum berangkat kita rancang liputane. Kalau bisa masing2 bisa minimal bikin 3-4 tulisan dengan angle yang berbeda. Tapi kita masih berstatus wartawan bodrex. xixixixi
Aku juga asli Tl.Agung, tepatnya desa Plandaan. Dulu, kira-kira th 80-90 an sebelum ada jembatan yang menghubungkan antara Plandaan dan Mangunsari, juga ada penambangan kalu mau nyebrang ke mangunsari. Rasanya dengan tetangga sendiri seperti jauh/asing begitu…..Tapi sekarang, segalanya menjadi dekat. Penambangan di tempatku dudu pendek tidak sepanjang itu….. wah sayang aku gak punya dokumentasinya. Trims aku diingatkan kembali akan masa-masa itu.