Gerakan radikalisme Islam kian hari kian menjalar di Indonesia. Aliran-aliran fundamentalis yang berkeinginan mewujudkan kemerdekaan daulah islamiyah pun kian beragam. Jika dahulu gerakan tersebut banyak terpusat pada beberapa komunal saja (usia 30 ke atas), kini gerakan tersebut mulai merambah ke golongan remaja atau pemuda.
Berdasarkan penelitian dalam Jurnal Ma’arif (2013) disebutkan bahwa pemuda adalah salah satu kunci dari menebarnya isu radikalisme Islam. Hal ini diperkuat oleh aktor dari fenomena terorisme yang mulai marak terjadi di Indonesia pasca orde baru. Salah satu penyebab diantaranya ialah rendahnya pemahaman agama yang dilakukan oleh institusi pendidikan.
Fakta ini menjadi terang setelah saya mencoba merefleksikan pengalaman sewaktu menjalani masa studi di kampus. Hasil pengamatan saya menyatakan bahwa tak dapat dipungkiri jika universitas umum merupakan sarang dari pembibitan kader organisasi kemahasiswaan Islam radikal. Fakta ini memiliki urgensi serius untuk ditelisik lebih jauh. Mengapa? Sebab, kampus dan pemuda merupakan aset berpengaruh dalam perubahan bangsa di masa mendatang.
Radikalisasi Ideologi
Untuk mengawali tajuk kali ini saya akan memberikan contoh kasus untuk menggambarkan kondisi jaringan gerakan radikal di kampus. Selama aktif di organisasi, saya memiliki banyak teman sesama mahasiswa, salah satunya Abdul (bukan nama sebenarnya). Ia adalah seorang mahasiswa yang dulunya lulusan SMA negeri. Ia lahir di Jawa Timur bagian selatan atau yang sering disebut wilayah Mataraman.
Ketika mahasiswa, ia mengalami dua fase perubahan besar pada pandangan hidupnya. Pertama, sewaktu awal kuliah, ia gandrung dengan kajian mitologi Jawa kuno berbau mistis. Ini membuatnya selalu menganalisis kejadian yang terjadi berdasarkan mitologi. Bahkan, ia memiliki benda-benda pusaka yang harganya tidak murah sebagai perwujudan kegilaannya terhadap kajian ini. Kedua, menjelang pertengahan masa kuliah hingga akhir, perubahan besar terjadi dalam pandangan hidupnya. Ia memilih mengikuti organisasi bergenre agama. FYI, jaringan ini turut andil dalam konflik perang antar agama yang terjadi di Poso beberapa tahun silam. Dampak dari keikutsertaanya tercermin dari kehendak yang selalu optimis untuk berangkat jihad atas nama kebenaran agama.
Kisah diatas merupakan salah satu contoh bahwa pemuda dapat merubah orientasi ideologisnya secara drastis. Setelah merefleksikan kasus tersebut melalui kajian teoritis, saya mendapati bahwa ada dua faktor yang dapat mempengaruhi perilaku, yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal ialah perubahan psikologi dari dalam diri yang mengalami perubahan dari fase remaja menjadi pemuda. Hal ini mempengaruhi cara pandang dan perilaku yang diri subjek dalam melihat kenyataan di sekitarnya. Biasanya, perubahan ini ditandai dengan cara berpikir idealis dan skeptis terhadap permasalahan. Ia selalu merujuk pengalaman masa lalu dan input yang diberikan pada orang berpengaruh terhadapnya ketika masa muda.
Dalam kasus teman saya, ia merupakan orang yang idealis terhadap sesuatu. Misalnya beberapa kali ia menggugat otoritas keagamaan di Indonesia yang penuh dengan penuh dengan kepentingan politis dan beberapa koruptif. Gugatan ini ia terima setelah adanya gejolak dalam dirinya, ditambah dengan masukan metode belajar teori politik dan pemerintahan di kelas. Sayangnya, pada tahapan ini ia kemudian mendapatkan doktrin dari teman yang sebelumnya telah memiliki pandangan radikal. Dari sinilah embrio gaya pemikiran radikalisme muncul.
Faktor eksternal sebagai pendukung dari kehendak yang ada dalam diri merupakan sebuah pengaruh yang disebabkan atas dorongan dari pihak luar subyek. Misalnya ketika ia bertukar pikiran dengan temannya, membaca buku yang disodorkan temannya, dan melihat ceramah-ceramah keagamaan. Oleh karena itu, faktor eksternal atau bisa disebut lingkungan subjek menjadi penentu signifikan dari perubahan sikap dalam dirinya.
Studi kasus diatas semakin menguat jika merujuk penelitian yang pernah dilakukan rekan saya bernama Irfan. Ia meneliti tentang transformasi ideologi mahasiswa UB yang bergabung dengan HTI dengan menggunakan kacamata kajian teori Althusser. Dari hasil penelitiannya, ia menemukan tindakan yang terbentuk dalam diri mahasiswa HTI merupakan hasil pengaruh ideologi. Pengaruh ini melalui proses interpelasi (pemanggilan subjek oleh struktur, dalam istilah Althusser) dari narasi dan kekuatan besar di luar diri mahasiswa tersebut. Dari contoh kasus dan hasil penelitian diatas membuktikan bahwa kampus merupakan salah satu lingkungan yang digunakan untuk kaderisasi oleh struktur jaringan radikalisme Islam.
Diberantas atau Dibiarkan?
Kampus memang lekat dengan agenda kaderisasi berbasis ideologisasi. Terdapat berbagai macam ideologi, mulai dari kajian kiri, moderat, atau kanan radikal, hingga mengarah kepada hedon. Maraknya ideologi radikal menjadi fakta kuat jika fenomena ini sudah mencapai titik serius. Persoalan semakin meruncing manakala tindakan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk “menggulingkan” Pancasila dengan cara-cara kekerasan. Lantas, apakah organisasi radikal di kampus menjadi layak untuk dibubarkan?
Pertanyaan diatas akan memberikan kita pemahaman lebih kompleks akan fenomena yang terjadi dengan segala ruang lingkupnya. Fenomena tersebut ialah konsekuensi tatkala demokrasi memiliki anomali kebebasan. Artinya, pada satu sisi iklim demokrasi kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi dijamin oleh negara. Akan tetapi, di sisi lain kebebasan berpendapat dan berorganisasi membuat kelompok organisasi radikal tumbuh menghantui stabilitas negara.
Jika pilihannya jatuh pada memberantas maka pada dasarnya persoalan ini bukanlah perkara yang rumit. Pengalaman negara menumpas organisasi kemasyarakatan-kritis pada era orde baru dapat dijadikan sebagai rujukan-betapa mudahnya memberantas gerakan organisasi di Indonesia. Sebagaimana diketahui, kebijakan floating mass yang melarang organisasi politik untuk memobilisasi massa menjadi strategi untuk memberantas organiasi kritis terhadap pemerintah. Namun, pada pilihan ini konsekuensi yang akan timbul adalah pelanggaran terhadap substansi demokrasi.
Lain halnya jika pilihan jatuh pada proses membiarkan. Konsekuensinya adalah negara harus siap pada konflik yang akan muncul secara vertikal maupun horizontal. Kita telah mengetahui bagaimana kasus terorisme seringkali terulang dengan melibatkan pemuda yang tergabung dalam jaringan Islam radikal. Hal ini di kemudian hari akan sangat mungkin untuk terulang apabila jaringan organisasi radikal tetap berlangsung.
Maka pilihan alternatif saya jatuh pada proses pengawasan negara terhadap jaringan radikal islam. Maksudnya, negara mengawasi proses jalannya ideologisasi dan strategi gerakan mereka. Akan tetapi apabila mereka telah melakukan tindakan yang melanggar hukum seperti tindakan kriminal, maka harus ada proses hukum yang ditegakkan.
Pengawasan ini akan menjadi solusi alternatif agar negara menyadari bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah dan menjadi penyebab dari maraknya radikalisme agama. Seandainya saja pendidikan negara kita memiliki kualitas yang baik, seperti mengajarkan cara berfikir kritis, maka gejala terorisme dan kekerasan atas nama agama tidak akan masif dilakukan. Sebab dalam cara berfikir kritis, subyek akan memiliki imajinasi bahwa kekerasan merupakan cara yang akan menurunkan martabat manusia. Oleh sebab itu, menjadi penting saat ini bahwa institusi pendidikan tinggi di Indonesia untuk memperbaiki kualitas pendidikannya, dan mengawasi segala gerakan organisasi islam radikal di lingkungannya.
Sumber bacaan: Baedowi, Ahmad, dkk. Menghalau Radikalisasi Kaum Muda: Gagasan dan Aksi. Jurnal Maarif, 8 (1).
Sumber gambar: http://cdn.sindonews.net/dyn/960/photos/2014/03/02/5925/19420_highres.jpg