Uang memang penting. Di era kapitalistik ini, kita hampir tidak bisa berbuat apapun tanpa uang. Namun kata Aristoteles, semakin tinggi nilai kita terhadap uang, maka semakin rendah pula nilai kemanusiaan kita.
Kata Aristoteles mungkin benar. Buktinya adalah cerita seorang dokter yang kini menjadi sukarelawan di pulau terpencil. Dokter ingin menebus semua dosanya karena sering mencabut selang oksigen pasien atas perintah dokter atasannya. Alasannya sederhana, pasien tidak mampu membayar biaya rumah sakit.
Begitupun pada kasus konservasi minyak tanah ke LPG yang dilakukan pemerintah. Motif uang menjadi alasan utama negara. Demi menghemat triliunan uang negara, pemerintah “tidak sadar” bahwa butuh waktu yang tidak sedikit untuk merubah kebiasaan masyarakat yang selama ini telah akrab dengan minyak tanah. Akibatnya, ratusan nyawa melayang demi penghematan uang negara akibat ledakan LPG.
Pada kasus Lapindo misalnya, modal sosial yang telah dibangun masyarkat bertahun-tahun sama sekali tidak dianggap penting. Jaringan komunikasi, kekerabatan, tata nilai dan kolektifitas desa yang ada tercabut hanya digantikan ganti rugi atas pemilik tanah. Para pedagang atau perusahaan yang membangun usaha dengan menyewa tanah tidak bisa berbuat apa-apa.
Inilah zaman saat uang sangat dominan mendikte kehidupan kita. Eksploitasi kapital (uang) juga merambah dunia pendidikan, bahkan lebih ekspansif. Biaya pendidikan sudah terkooptasi sistem pasar semakin banyak peminat semakin mahal.
Pada wilayah kerja, profesionalitas yang kita bangun juga bermuara pada satu prinsip: nilai uang yang kita dapatkan. Fakta-fakta penyimpangan yang terjadi pada perilaku koruptif, muslihat mengalahkan rival, atau nepotisme tidak lagi penting kita permasalahkan.
Tidak mengherankan Negeri ini menduduki peringkat korupsi terbesar di dunia nomer tiga. Tirliunan uang negara mengalir ke kantong-kantong kelompok dan pribadi. Lebih-lebih motif uang dan uang ini sejalan dengan propaganda kenikmatan atas nilai tukar dari uang yang kita punya: beli mobil, menginap di hotel, spa di salon, jalan-jalan ke Paris, bahkan membeli perempuan tercantik atau pria tertampan (sampai-sampai manusia pun bisa diperjualbelikan atas nama profesionalitas).
Kuatnya kapitalisasi itu mencuatkan tindakan-tindakan destruktif dan mengacak-ngacak modal sosial (social capital) yang telah kita miliki. Modal sosial yang di dalamnya terdiri atas norma-norma sosial yang seharusnya terpelihara dan terjaga kelanggengannya sekarang telah teracak-acak oleh aktivitas-aktivitas manusia yang tidak beradab, menumbangkan rasa solidaritas, kejujuran, keadilan, kerjasama, dan sebagainya.
Bahkan ironisnya, prinsip sosial yang menjadi unsur-unsur penting terciptanya modal sosial yang baik kini juga telah berbalik berpihak pada uang dan menyerang modal sosial itu sendiri. Sifat Resiprocity (saling tukar menukar kebaikan) hanya sebatas demi keuntungan kelompok dimana kita mampu meraih keuntungan materi sebesar-besarnya. Saat bertemu rival, sifat resiprocity itu spontan hilang, berbalik menjadi sosok binatang buas yang siap menerkam. Sifat Trust (saling mempercayai) dibangun oleh orang jahat yang mengorganisir dirinya melalui lembaga-lembaga keadilan demi membantu kejahatan yang lain, asal memenuhi satu permintaan: tersedianya uang.
Begitupun sifat Partisipatif (melibatkan diri pada sinergitas sosial) dan Proaktif (tindakan semangat saling membantu). Sementara unsur modal sosial lain yang pudar adalah semakin longgarnya pelanggaran dan kepercayaan pada nilai-nilai (gagasan/ide yang turun menurun dianggap penting) dan norma sosial (tata nilai yang disepakati bersama secara adat/tidak tertulis).
Para pakar psikologi sosial maupun sosiologi melihat ini sebagai akibat dari semakin pudarnya atau bahkan hilangnya modal sosial universal yang ada di masyarakat, karena hidup kita semakin “harus” terdekonstruksi oleh uang.
Eksesnya, adalah berbagai bentuk patologi sosial (penyakit sosial) dilampiaskan oleh rakyat kecil yang berjiwa lemah pada aksi-aksi premanisme, kerusuhan, perampokan, turunnya para pengemis ke jalan-jalan dan lain sebagainya.
Akan tetapi psimisme tidak memberikan solusi apapun. Sudah sepantasnya kita mengembalikan kekuatan modal sosial di atas uang. Saat tata sosial dibangun tidak hanya berdasar uang semata, maka sesungguhnya kita telah menginvestasikan nominal uang yang lebih besar.
Contoh penguatan modal sosial itu tergambar jelas pada situasi hari raya. Masih rekat diingatan kita bagaimana idlufitri menjadi momentum kembali pada tradisi leluhur menikmati syahdunya hidup dalam satu ikatan keluarga besar, menyatukan kembali hirarki kekeluargaan yang sudah ada. Setiap anggota keluarga seolah ingin mengukuhkan pengakuan bahwa dirinya adalah bagian dari komunitas keluarga di desanya dan menciptakan kekuatan modal sosial antara sanak dan famili yang ada. Rezeki disebarkan, kabar gembira dibagi hingga berbagi pengalaman dan pekerjaan (lihat cerita ini di sini).
Contoh lain kekuatan modal sosial adalah kerelaan berkorban para pengusaha Thailand melepas dolarnya pada saat krisis moneter tahun 1997 untuk mempercepat pemulihan krisis di Thailand. Di Jepang, pada saat Herosima dan Nagasaki hancur lebur diluluhlantakkan bom atom sekutu, satu-satunya yang ditanyakan PM. Jepang adalah jumlah guru yang masih tersisa. Jepang hanya berfokus pada satu aspek: pembangunan sosial melalui pendidikan.
Sudah saatnya sekarang berbagai atribut dan nilai yang membangun kekuatan modal sosial negara ini harus dipeta ulang untuk mengembalikan kekuatan sosial yang telah kita miliki, baik dibidang pendidikan, keagamaan, sosial, keadilan, demokrasi dan lain sebagainya. Landasan kemurnian nilai itu lebih penting dari alasan rasio Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetapi malah memakan korban jiwa rakyatnya sendiri.
referensi gambar:
http://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_bom_atom_di_Hiroshima_dan_Nagasaki
http://www.inilah.com/berita_print.php?id=36718
http://kartunindonesia.blogspot.com/2009/01/money-politic-karya-qomar-sosa.html
A.Randi says
Modal sosial adalah konsep yang digagas oleh Oslom yang sukses diterapkan para pebisnis Cina & Rusia di negara mereka. Konsep modal sosial adalah transformasi dari model corporate social responsibility (CSR) yg slma ini kita gunakan. Sayangnya, CSR tsb bersifat sukarela sehingga law enforcement-nya rendah karena hanya berupa tanggung jwb (responsibility) sosial kpd masyarakat (non hukum). Mestinya dijadikan suatu kewajiban (liability) bagi perusahaan dalam mensejahterakan masyarakat sekitar. Tetap saja, salah satu tiang kesejahteraan mereka adalah UANG. Namun kontribusi SOSIAL sebaiknya lebih diutamakan.