Tak perlu kiranya mempertentangkan filsafat dan agama. Tujuan keduanya sama, yakni mengetahui semua wujud.
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi, atau lebih sering dikenal sebagai Al-Farabi. Lahir dari seorang ayah yang berprofesi sebagai tentara. Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan. Farab adalah sebuah distrik di provinsi Transoxiana, Turkestan. Sebuah kota yang sebagian besar penduduknya berfaham fiqih Syafi’iyah.
Kondisi perekonomian keluarga yang cukup memadai membuat Al-Farabi menerima pendidikan yang layak. Secak kecil ia memiliki kecerdasan luar biasa. Ia menguasai hampir semua pelajaran terutama bidang bahasa. Ia menguasai tak kurang dari 70 bahasa. Empat bahasa yang paling dikuasainya adalah Arab, Persia, Turki dan Kurdi.
Al-Farabi muda sempat menetap di Bukhara untuk belajar fiqih dan ilmu agama lainnya. Saat menetap di sana, Bukhara sedang mengalami masa keemasan pada bidang kesusastraan dan budaya Islam. Di Kota ini, ia juga mempelajari musik. Di kemudian hari ia menulis buku berjudul al-Musiq al-Kabir, sebuah buku babon tentang sistem notasi dan musik sebagai metode penyembuhan penyakit kejiwaan.
Ia belajar tentang logika dan filsafat Aristoteles kepada Yuhanna ibn Hailan di kota Merv, Khurasan. Pada usianya yang ke 40 ia kemudian pindah ke Baghdad, sebuah kota yang pada masa itu menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia. Di sana ia mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu bakar al-Saraj dan ilmu logika serta filsafat kepada seorang Kristen bersama Abu Bisyr Mattius ibn Yunus.
Tentang Metafisika
Bagi Al-Farabi, baik filsafat maupun agama tujuannya adalah mengetahui semua wujud. Perbedaan keduanya terletak pada penggunaan dalil dan objek yang dikenai. Filsafat menggunakan dalil yakiniy dan ditujukan kepada golongan yang lebih terbatas. Sedangkan agama menggunakan cara iqna’iy (pemuasan perasaan) dan kiasan-kiasan serta gambaran bagi semua orang. Atas dasar perbedaan ini, ia menyarankan pada para filsuf agar menyampaikan pendapat dari proses berfilsafat dalam bahasa yang samar agar seminim mungkin orang awam memakai pandangan para filsuf. Hal ini sebagai upaya agar keimanan orang awam tidak goyah.
Tokoh yang pernah bekerja sebagai hakim ini, dikenal sebagai pemula dalam penyatuan filsafat (wahdatu al-Falsafah). Sedikitnya tiga orang filsuf menjadi ilham bagi pemikirannya. Aristoteles mempengaruhinya dalam hal logika dan fisika. Plato mengilhaminya untuk menelurkan karya tentang politik dan akhlak. Sedangkan metafisikanya dipengaruhi oleh Plotinus. Muara perpaduan tiga inspirator ini nampak dalam pandangan-pandangannya yang mempertemukan pemikiran Plato dan Aristoteles tentang penciptaan dunia, kekekalan ruh, siksaan dan pahala di akhirat, alam semesta, Tuhan, kenabian, esensi, dan eksistensi.
Teori tentang wujud oleh Al-Farabi diklasifikasi menjadi dua yaitu mumkinul wujud (wujud yang mungkin) dan wajibul wujud (wujud yang wajib). Sebagai ilustrasi, wujud cahaya tak mungkin ada manakala tak ada matahari. Cahaya itu bisa berwujud dan bisa juga tidak. Oleh karenanya, dalam konteks ilustrasi ini, cahaya adalah mumkinul wujud sedangkan matahari adalah wajibul wujud. Segala yang mumkin menjadi bukti keberadaan yang wajib. Karena yang mumkin tak akan ada manakala tak ada yang wajib sebagai mula atau sebab pertamanya.
Wajibul wujud juga bisa dimaknai sebagai wujud yang ada dengan sendirinya. Tak seperti mumkinul wujud, ia memiliki tabiat yang menghendaki wujudnya sendiri. Kalau yang wajib ini tak ada maka yang lainnya juga tak ada. Wajibul Wujud tak lain adalah Tuhan. Lebih rinci penjelasan Al-Farabi tentang emanasi dari tuhan hingga bumi dapat dilihat dalam tabel berikut:
WUJUD | AKAL | SUBJEK | PENJELASAN |
1 |
Tuhan | Berpikir tentang dirinya, dan dari pemikirannya timbul wujud ke 2 | |
2 |
1 |
Tidak bersifat materi tapi mempunyai substansi | Berpikir tentang dirinya hingga timbullah langit pertama |
3 |
2 |
Langit Pertama | Menimbulkan Wujud 4/Akal 3 yakni bintang-bintang) |
4 |
3 |
Bintang-bintang | Menimbulkan Wujud 5/Akal 4, yakni Saturnus |
5 |
4 |
Saturnus | Menimbulkan Wujud 6/Akal 5, yakni Yupiter |
6 |
5 |
Yupiter | Menimbulkan Wujud 7/Akal 6, yakni Mars |
7 |
6 |
Mars | Menimbulkan Wujud 8/Akal 7, yakni Matahari |
8 |
7 |
Matahari | Menimbulkan Wujud 9/Akal 8,yakni Venus |
9 |
8 |
Venus | Menimbulkan Wujud 10/Akal 9, yakni Mercurius |
10 |
9 |
Merkurius | Menimbulkan Wujud 11/Akal 10, yakni Bulan |
11 |
10 |
Bulan | Setelah proses ini muncul bumi serta roh-roh dan materi yang menjadi dasar dari unsur, api, udara, air, dan tanah. |
Diadopsi dari Hasbi (2014)
Tentang Negara
Di bidang kenegaraan, sekali lagi, pemikiran Plato dan Aristoteles mempengaruhi Al-Farabi. Sebagaimana dikatakan oleh Plato yang juga diamini olehnya, bagian-bagian masyarakat dalam suatu negara memiliki hubungan erat dan saling bekerja sama satu dengan lainnya. Sedangkan pengaruh Aristoteles nampak dari pandangannya mengenai individu. Karena watak sosialnya manusia tak mampu memenuhi semua kebutuhan tanpa bekerja sama dengan individu lainnya.
Interaksi antar individu menyusun masyarakat yang “diimpikan” kemudian dilukiskan olehnya layaknya tubuh manusia. Antar satu organ dengan organ lainnya saling bekerja sama sesuai tugas masing-masing. Jika salah satu organ mengalami gangguan atau sakit, maka kinerja organ lainnya juga akan terganggu.
Seluruh organ tubuh dipimpin oleh satu bagian terpenting bernama otak. Begitu pula soal negara, harus dipimpin oleh sosok yang karakternya semacam otak yaitu seorang filsuf. Secara hierarkis kinerja negara digambarkan oleh Al-Farabi sebagaimana jantung dan organ-organ lainnya membantu kinerja otak. Lebih jelas tentang pembagian tugas dalam negara, anda bisa membaca Divergent, novel yang ditulis Veronica Roth yang cukup representatif mengilustrasikan pandangan Al-Farabi.
Al-Farabi “memimpikan” sekaligus menasihati masyarakat dan para pemimpin negara melalui perkembangan negara primitif hingga negara paling modern yang ia sebut sebagai Negeri Utama (Al-Madinah Al-Fadhilah).
1. Negeri Bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah)
Adalah negeri yang di penduduknya tak mengenal kebahagiaan hakiki karena kebahagiaanya hanya ditentukan oleh kecukupan kebahagiaan dasar, kepemilikan materi, kenikmatan dan kesenangan, kehormatan atau narsisme, penaklukan dan dominasi serta demokrasi.
Ada hal menarik sekaligus menggelitik. Ia memasukkan negara demokratis sebagai bagian dari negeri bodoh. Secara konseptual, negeri demokratis memang baik, penduduk memiliki kebebasan melakukan apapun, ada kesetaraan pandangan hukum negara terhadap warganya, pemimpin yang tak melakukan sebuah kebijakan tanpa disertai rakyatnya. Ada banyak orang bijak dalam sebuah negara, sayangnya rakyat tak akan memilih orang bijak karena rakyat hanya akan memilih pemimpin atau penguasa yang mampu memuluskan kehendak-kehendaknya.
Konsep pemimpin filsuf tak akan terwujud dengan konsep negeri demokratis ini. Namun demikian, bentuk negara yang demikian dapat menjadi jembatan menuju negara utama.
2. Negeri Fasik (Al-Madinah Al-Fasiqah)
Adalah negara di mana masyarakatnya telah beriman kepada tuhan tapi gagal dalam ranah implementasi ketuhanan dalam kehidupan kenegaraan. Mereka melakukan apa yang mereka kehendaki bukan apa yang mereka percayai.
3. Negeri Utama (Al-Madinah Al-Fadhilah)
Dalam negara ini, masyarakat sudah sedemikian cerdasnya sehingga menjalani kehidupan dan bekerja sesuai keahliannya masing-masing. Negara dikelola oleh orang-orang yang benar-benar memiliki kompetensi keahlian. Ia mengklasifikasi 3 golongan dalam negara yaitu pemimpin tertinggi, pemimpin sub-ordinat dan objek kekuasaan yaitu masyarakat yang secara pemuh dipimpin karena tak memiliki kompetensi memimpin.
4. Negeri-Negeri yang Berubah (Al-Madinah Al-Mubaddilah)
Mulanya negeri ini berciri seperti negeri utama, namun mengalami kesalahan pemikiran tentang tuhan. Akhirya negeri ini mengarah kepada kesesatan.
5. Negeri-Negeri yang Sesat (Al-Madinah Al-Dhalalah)
Semula rakyat dan pemimpin di negeri ini mengetahui baik dan buruk namun tergelincir karena alasan sebagaimana terjadi di Al-Madinah Al-Mubaddilah. Ciri utama dalam negeri yang mengalami kesesatan adalah pemimpinnya mengaku nabi dan dengan pengakuannya itu banyak rakyat yang menjadi sesat.
Demikian penjelasan singkat mengenai pemikiran Al-Farabi yang embentang begitu luasnya. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari nasihat-nasihatnya.
Ila Hadroti Al-Farabi Syaiun Lillahi Lahumul Fatihah.
Intisari Diskusi Reboan Averroes Community pada Rabu, 7 Oktober 2015. Tidak untuk disebar dan atau dipublikasikan ulang tanpa seijin redaksi avepress.com.
Saiful says
komen dulu, baca belakangan