Gunung Bromo merupakan tempat yang hingga kini menyimpan sejuta misteri. Kemisterian itu pula yang menyelimuti kebudayaan masyarakat yang tinggal di Bromo yang populer dikenal dengan masyarakat Tengger.
Beberapa hari yang lalu, masyarakat Tengger ini baru saja menggelar ritual akbar tahunan yang disebut Hari Raya Karo. Selama lima belas hari penuh, yaitu tanggal 1-15 Desember warga Tengger terlibat dalam hajatan ini. Dalam penanggalan warga Tengger, hari itu bertepatan dengan Bulan Kasa. Dengan penuh khidmat acara demi acara dilalui dengan lancar, meski kadang tersapu oleh hujan deras dan terpaan hawa dingin.
Upacara Karo dimulai dengan acara membersihkan lingkungan secara bersama-sama. Laki-laki perempuan, besar kecil semuanya terlibat dalam kegiatan ini. Pada hari pertama prosesi Upacara Karo orang-orang Tengger sibuk menyiapkan berbagai ragam sesaji dirumah mereka masing-masing.
Memasuki hari kedua, warga Tengger membuat tumpeng dan berbagai jenis sesaji yang nantinya akan diberi mantra oleh dukun dibuat dalam jumlah besar atau yang dikenal dengan prosesi sesanding. Sebelum Sesanding dimulai, seluruh warga mengirimkan tumpeng-tumpeng kecil untuk dikumpulkan di rumah kepala desa. Keesokan harinya, digelarlah Tari Sodoran sebagai puncak upacara Karo. Pelaksanaan acara ini digelar di Desa Jetak, Kecamatan Sukapura.
Gedung Balai Desa yang bakal menjadi pusat kegiatan dihias sedemikian rupa sehingga mirip istana sebuah kerajaan, lengkap dengan singgasananya. Pada hari yang sudah ditentukan, saat jam menunjuk pukul 10.00 WIB, iring-iringan raja dari Desa Ngadisari dan Wonotoro tampak bergerak menuju Desa Jetak, sambil membawa jimat klontongan. Dalam jimat klontongan itu terdapat barang peninggalan leluhur seperti uang, pusaka, tanduk kerbau dan baju. Sementara di Desa Jetak sendiri telah bersiap sang ratu (yang diperankan oleh laki-laki, yang tak lain Kepala Desa Jetak sendiri), disertai para punggawa dan para penabuh gamelan. Iring-iringan raja dari Ngadisari dan Wonotoro pun lalu bertemu dengan Ratu Desa Jetak tepat di pintu gerbang Balai Desa Jetak. Setelah bertemu, keduanya pun lalu diiring menuju singgasana.
Setelah itu, para punggawa dan pengiring duduk di depan Sang Raja dan Sang Ratu dalam posisi saling berhadapan, dengan dipisahkan oleh jarak sekitar dua meter. Setelah itu sang dukun lalu melaksanakan tugasnya membaca mantra-mantra. Selesai membaca mantra, dukun segera membuka peti berisi jimat klontongan. Satu persatu jimat diberi mantra lagi, dan setelah itu ia percikkan air suci ke atas jimat-jimat tersebut. Setelah upacara penghormatan kepada peninggalan leluhur usai, maka suara gending pun mulai terdengar, menandai dimulainya Tari Sodoran.
Beberapa penari pun maju ke tengah arena, mereka menari secara berpasang-pasangan dengan gaya jari telunjuk di atas kepala. Seusai menari mereka menghadap ke dukun untuk dibacakan sejumlah mantra. Tari Sodoran terus berlangsung, dengan penari yang berganti-ganti hingga para penari yang jumlahnya puluhan itu selesai.
Hari-hari berikutnya masih ada sejumlah ritual yang dilaksanakan warga Tengger, yaitu Nyadran (yang acaranya dipusatkan di sanggar pendanyangan dan makam leluhur), kesenian Ujung (tarian saling cambuk antar sepasang penari), dan tayub. Beberapa hari kemudian di akhir peringatan Hari Raya Karo digelarlah ritus Mulihe Ping Pitu. Ritus ini dimaksudkan sebagai upacara menghantarkan kembali arwah para leluhur ke tempat peristirahatan mereka masing-masing, setelah sekitar dua minggu hadir memberkati anak cucu mereka di Hari Raya Karo.
Apa sebenarnya makna di balik semua ritual panjang nan melelahkan itu bagi masyarakat Tengger? Kepala Dukun Tengger, Mujono mengatakan bahwa, “Upacara Karo merupakan ritus keagamaan warga Tengger untuk mengenang dan memberikan penghormatan kepada arwah leluhur. Ini penting, karena kami ingin arwah leluhur tetap melindungi kami warga Tengger yang masih hidup di dunia, dan menjauhkan kami dari marabahaya,”.
Dalam rangkaian upacara Karo, sebenarnya secara simbolik juga terselip pesan-pesan penting untuk direnungkan warga Tengger sebagai bekal dalam menjalani kehidupan. Seperti dituturkan Siswo Wardono, sesepuh sekaligus Kepala Desa Jetak, bahwa dalam Tari Ujung misalnya, di situ digambarkan adanya karma, bahwa orang yang menyakiti orang lain nanti pada akhirnya akan mendapatkan balasannya. Dengan Tarian Ujung diingatkan agar sampai kita berbuat jahat kepada orang lain. Begitu pula dalam Tari Sodoran yang selalu ditampilkan dua penari secara berpasang-pasangan, ini tak lain dimaksudkan memberi gambaran betapa kehidupan ini sudah ditata sedemikian harmonisnya, saling berpasang-pasangan agar manusia meletarikannya.
Bagi Orang Tengger, sebagaimana diungkapkan oleh Mujono, Bulan Karo adalah bulan dimana masyarakat Tengger berkumpul dan memulyakan arwah para leluhur. Mereka meyakini bahwa arwah para leluhur itulah yang selama ini menjaga dan memelihara kehidupan warga Tengger. Bahkan mereka sangat meyakini jika pada Bulan Karo mereka tidak menyediakan sesaji dan beberapa rangkaian ritual yang sudah ditentukan, maka akan timbul bencana dan karma yang akan ditanggung warga Tengger yang masih hidup (ring/mif).
Keterangan:
Tulisan ini pernah diterbitkan di lembar NGAJI BUDAYA diterbitkan sebagai media informasi dan komunikasi diantara berbagai komunitas masyarakat, khususnya masyarakat kecil yang terpinggirkan. Diharapkan dari sini muncul sikap saling memahami dan menghargai di antara sesama warga negara yang memiliki agama dan keyakinan berbeda. Redaksi meyakini, masa depan bangsa ini sangat tergantung pada kearifan warganya dalam menyikapi perbedaan yang berkembang di tengah masyarakat (PUSPeK Averroes dan Desantara).
Leave a Reply