CERITA GETIR mengenai suku Using masyarakat asli Banyuwangi adalah sebagian dari kisah anak manusia yang menjadi korban kekerasan sesamanya. Meminjam ungkapan Erich Fromm, agresi manusia yang diperkuat serangkaian struktur eksternal manusia, selalu menumbuhkembangkan sifat-sifat destruktif dan keserakahan tak terkendali. Maka manusia menjadi serigala atas sesamanya seperti yang digambarkan oleh Thomas Hobbes, homo homini lupus.
Tari Seblang adalah satu di antara sekian upacara adat masyarakat Using yang menggambarkan bagaimana pahitnya menjadi korban keserakahan ambisi manusia. Sebuah tarian yang “mengadakan” roh ke dalam wujud penarinya. Mistisitas Seblang tercermin kuat dari aroma dupa yang memenuhi pelataran bangunan sanggar yang telah dipenuhi berbagai macam hasil bumi sebagai sesajen, dan sang penari Seblang menari dalam keadaan tak sadarkan diri diiringi dengan syair-syair gending dan gerak tarian yang sanggup menyayat hati.
Dengarlah Gending Seblang Lukinto! Gending pertama dan utama dalam Tari Seblang ini penuh dengan wangsalan yang mengiris perasaan. Seblang-seblang damar gunung (lintang), seblang-seblang sumber mega (udan), seblang-seblang mendung putih (mega), seblang-seblang cerme putih (katu), seblang-seblang belimbing bumi (wesah) dan seblang-seblang manuk abang putih dadhane (ulung). Syair-syair tersebut merupakan ratapan seseorang yang menyesali nasib dirinya (lintang = ketang-ketang) sehingga hampir gila (udan = edan). Begitu teganya (mega = tega) melihat dirinya yang merenung memikirkan dirinya (katu = kantru-kantru) karena kesedihan (wesah = susah), sehingga mengharapkan pertolongan (ulung = tulung). (Hasnan Singodimayan. Seblang Perjuangan. 2002)
Simbolisasi tragedi lantas mengalir dengan dramatis dari tarian demi tarian yang disuguhkan oleh penari Seblang hingga adegan Seblang yang keduabelas. Sungguh sebuah simbolisasi tragedi yang sukar untuk dilukiskan. Tragedi atas sejarah Using yang ironis.
-**-
Kegetiran yang dirasakan dalam sekilas Seblang di atas agaknya merupakan kegetiran yang empirik dalam kesejarahan masyarakat Using. Kita tentu masih ingat sosok Ronggolawe yang “terpaksa” memberontak karena menjadi korban intrik internal di lingkaran Prabu Wijaya, Raja Majapahit pertama. Nasib Ronggolawe berakhir sebagai pemberontak di bumi Sadeng. Padahal, sejarah mencatat nama Ronggolawe sebagai seorang tokoh yang berperan sangat besar dalam membantu Prabu Brawijaya mendirikan kerajaan Majapahit. (Dan nasib serupa pun dialami oleh tokoh-tokoh Majapahit sejamannya: Lembu Sora dan Nambi).
Sosok Minak Jinggo (Bre Wirabumi) adalah kegetiran Using yang berikutnya. Andang CY, seorang seniman kawakan Banyuwangi menuturkan,” Menak Jinggo sesungguhnya adalah pahlawan masyarakat Banyuwangi. Pertama, ketika dia menumpas Kebo Marcuet yang lalim. Kedua, ketika ia mengangkat senjata melawan Majapahit yang menurutnya telah mengingkari janji untuk menghadiahinya Putri Kencono Wungu setelah mengalahkan Kebo Marcuet.”
Nyatanya, Menak Jinggo dikalahkan oleh Damarwulan, seorang anak bekel (tukang kuda) yang kemudian memperistri Putri Kencono Wungu. Bahkan, kekalahan Menak Jinggo inipun berlanjut sampai pada penulisan sejarah tentangnya.
Dalam versi sejarah yang (di)resmi(kan), Menak Jinggo digambarkan sebagai Raja yang pincang dan berwajah buruk dari Tlatah Wetan (Banyuwangi) yang “berhasil diperalat” oleh Majapahit untuk mengalahkan seteru mereka, Kebo Marcuet yang digambarkan sebagai perampok pemberontak yang bengis. Menggunakan Putri Kencono Wungu yang jelita sebagai iming-iming, Menak Jinggo disuruh menumpas perlawanan Kebo Marcuet. Singkatnya, Menak Jinggo berhasil. Alih-alih menepati janji, Majapahit justru mengirim Damarwulan untuk mengakhiri riwayat Menak Jinggo.
“Itu tidak benar”, kata Hasan Ali, seorang tokoh kebudayaan Banyuwangi yang amat disegani. “Salah besar kalau Bre Wirabumi dikatakan buruk muka. Dia ngganteng, hanya saja memang ada goresan-goresan luka di wajahnya. Itupun karena pertempurannya dengan Kebo Marcuet. Dan ia berangkat ke Majapahit bukan dengan maksud memberontak, tapi sekedar ingin menagih janji Majapahit.”
-** –
Sebagai satu daerah strategis untuk berinteraksi dengan Nusantara bagian timur, Blambangan tidak lepas dari incaran kerajaan-kerajaan besar di Jawa, termasuk Mataram Islam. Tercatat beberapa kali Sultan Agung melancarkan ekspedisinya untuk menaklukkan Blambangan, bersaing dengan Kerajaan Buleleng Bali. Meskipun gagal, usaha penaklukan ini toh telah menyakitkan perasaan masyarakat Blambangan.
Akumulasi kekecewaan terhadap saudara-saudaranya yang berada di Tlatah Kulon dan Bali tidak berhenti sampai di situ.
Sejarah kemudian mencatat peristiwa puputan (perang habis-habisan) yang terjadi di Bayu, Kecamatan Songgon Banyuwangi. Sebuah peristiwa amat bersejarah yang kemudian dijadikan sebagai hari lahir Kabupaten Banyuwangi. Peperangan ini pulalah yang melegendakan nama Sayu (Mas Ayu) Wiwit sebagai tokoh pejuang wanita dari Banyuwangi yang menjadi inspirasi munculnya Tarian Seblang. Bahkan oleh sebagian masyarakat arwah Sayu Wiwitlah yang dipercaya telah menuntun penari Seblang, terutama pada bagian puncaknya ketika penari Seblang sedang melantunkan gending Sukma Ilang.
Perang Bayu ini terjadi ketika VOC berkeinginan untuk menancapkan dominasinya di bagian timur Pulau Jawa sebagai upaya untuk merebut Bali. Watak imperialis yang diperlihatkan oleh VOC tentu saja membangkitkan perlawanan dari rakyat Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Jagapati alias Rempeg. Ironisnya, politik Devide et Impera-lah yang dihadapi oleh rakyat Blambangan. VOC mengkonsolidasikan para bupati taklukannya di Jawa untuk membantu mereka dalam menghadapi perlawanan rakyat di Blambangan.
Singkatnya, Blambangan harus jatuh ke tangan VOC setelah benteng pertahanan di Bayu berhasil dikuasai. Episode inilah yang dilukiskan oleh Hasan Ali sebagai satu tragedi bagi sejarah rakyat Blambangan. “Peperangan ini memakan korban tidak kurang dari 60.000 orang rakyat dari jumlah keseluruhan masyarakat Blambangan yang waktu itu tidak sampai 65.000 orang” tulis Hasan Ali dalam Sekilas Puputan Bayu: Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi.
“Betapapun sakitnya kekalahan dalam perang itu, amat lebih sakit lagi melihat kenyataan bahwa yang memerangi rakyat Blambangan saat itu adalah saudara-saudara sesama pribumi dari Jawa dan Madura yang diperalat oleh VOC,” tambah Hasan Ali yang juga ayah artis Emilia Contessa dan kakek penyanyi dangdut Denada ini.
“Karena itu,” sambung Hasan Ali, “Kekecewaan masyarakat Using sempat membuat suku Using menutup diri terhadap komunitas luar mereka. Bahkan dari kekecewaan sejarah itulah nama ‘Using’ dipergunakan untuk mengidentifikasi masyarakat Blambangan.”
Predikat Using dilekatkan kepada masyarakat Blambangan karena kecenderungan mereka menarik diri dari pergaulan dengan masyarakat pendatang pasca perang Puputan Bayu. Pendudukan VOC di Blambangan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja untuk menjalankan usaha-usaha eksploitasi di Blambangan. Oleh karena itu, kemudian VOC mendatangkan banyak pekerja dari Jawa Tengah dan Madura dalam jumlah besar, melebihi sisa-sisa masyarakat Blambangan yang mayoritas telah memilih untuk mengucilkan diri di pegunungan.
Sesekali interaksi terjadi, antara masyarakat asli dan pendatang. Dalam interaksi tersebut, masyarakat asli acapkali menggunakan istilah “sing” atau “hing” yang berarti “tidak”. Dari sanalah penamaan Wong Using berasal. Sementara masyarakat asli menyebut kaum pendatang dengan istilah “Wong Kiye”. Selain perkataan “tidak” yang mencirikan penolakan interaksi dengan pendatang, masyarakat Using juga menggunakan peristilahan yang “kasar” seperti asu, celeng, luwak, bajul atau bojok. Menurut Hasnan Singodimayan, peristilahan itu selain sebagai bahasa sandi juga mempertegas penolakan masyarakat Using terhadap berbagai bentuk “penjajahan” yang dialami dalam perjalanan sejarah mereka.
Sekarang pun, aroma keterasingan masyarakat Using masih terasa. Iswandhi, seorang pemuda Using yang sedang menjalani perantauan mengemukakan hal tersebut. “Baru kali ini Bupati dijabat oleh orang asli Banyuwangi, Mas (Samsul Hadi, red). Itupun belum jelas kontribusinya bagi pengembangan Banyuwangi secara keseluruhan. Kalau kedekatan dia dengan budayawan, iya, beliau memang sangat dekat dengan mereka. Tapi Banyuwangi kan bukan hanya kebudayaan thok”, tukasnya.
“Apalagi, saya menilai ada diskriminasi pembangunan yang jelas dirasakan oleh komunitas Using asli. Di Songgon sebelah selatan, di sana wilayahnya masih sangat terpencil. Saya pernah ke sana dan saya melihat sendiri betapa penduduk sana seolah-olah masih terisolasi dari tempat lain. Padahal, dari sanalah sejarah Banyuwangi berasal,” tutur Iswandhi dengan nada masygul.
-**-
Bisa jadi, letak Banyuwangi sebagai perlintasan antar kebudayaan yang menjadikannya menjadi ajang klaim dan perebutan wilayah geografis membawa hikmah tersendiri bagi pengembangan kebudayaan Using. Pergesekan kebudayaan sebagai implikasi dari pertarungan perebutan geografis telah mendewasakan produk kebudayaan Using sehingga menjadi sangat fleksibel terhadap unsur-unsur kebudayaan eksternal. Maka corak produk kebudayaan masyarakat Using sesungguhnya kental dengan nuansa “sinkretik” dan “akulturatif”.
Orang tentu dapat melihat bagaimana maskot Banyuwangi sebelum gandrung adalah ular naga berkepala Gatotkaca. Siapapun tahu bahwa ular Naga adalah makhluk dalam mitologi Cina. Sementara Gatotkaca adalah adopsi yang dilakukan seniman wayang era Demak (Sunan Kudus dan Kalijaga) terhadap cerita Mahabarata dari India. Atau hadrah Kuntulan, Barongan Using, Angklung Caruk dan masih sangat banyak lagi.
Adakah ini semacam olok-olok kebudayaan dengan bungkus sanepan yang sangat halus? Bahwa siapapun dan apapun yang melintasi wilayah kebudayaan Using harus menerima kenyataan bahwa dirinya sedang dipribumikan oleh masyarakat Using. Seperti Segitiga Bermuda atau Lubang Hitam (Black Hole) di antariksa yang akan menyedot setiap materi yang melintasinya.
Catatan: Tulisan ini pernah diterbitkan oleh Newsletter Ngaji Budaya PUSPeK Averroes, 2003
Gambar: www.hanifzuhdan21.blogspot.com
Leave a Reply