Berhadapan dengan sosok satu ini, seperti masuk dalam kisah ketokohan para Warok Ponorogo tempo doeloe. Suaranya keras, bicaranya blak-blakan, lugas, apa adanya meski tetap memancarkan kharisma yang khas sebagai warok. Bikan (55) memang tipikal wong Ponorogo asli. Terlahir pada tahun 1947, Bikan tumbuh dan berkembang di kampung halamannya, desa Plunturan, Kecamatan Pulung, sekitar 10 kilometer arah timur kota Ponorogo. Dan ia habiskan seluruh waktunya di kota reyog ini sebagai ‘pewaris’ kesenian tradisional Ponorogo.
Darah seni memang mengalir kuat di dalam di tubuhnya. Sejak kecil ia tidak hanya akrab dengan kesenian reyog, tetapi ia menjadi bagian dari denyut nadi reyog itu sendiri. Tokoh yang sudah memangku jabatan kepala desa selama 35 tahun ini adalah saksi sejarah pergulatan reyog dengan berbagai kekuatan yang ada. Karena itu bisa dikatakan reyog telah menjadi nafas hidupnya. Berbagai peran dalam kesenian reyog pun pernah dijalaninya, termasuk peran sebagai gemblak. Tentu saja di masa mudanya dulu. Kini di usianya yang lanjut, ia masih memimpin grup Reyog Onggo Pati, yang didirikan oleh kakeknya, Eyang Iro Drono.
Menurut bapak 3 anak ini, reyog sekarang telah banyak mengalami pergeseran bahkan melenceng. Hal ini terutama diakibatkan oleh masuknya peran negara yang terlalu jauh ke dalam kesenian reyog. Negara yang mestinya hanya bertindak sebagai fasilitator telah melakukan intervensi. Hal ini tidak hanya tampak dari perubahan nama “Reyog” menjadi “Reog”, tetapi juga dalam bentuk-bentuk tarian. Secara spesifik dia menunjuk pada tari tarung dadak merak dan tarung antarwarok.
Padahal menurut kakek dua cucu ini, tari-tarian dalam reyog tidak bisa diubah seenaknya, karena di dalamnya melambangkan kisa-kisah tertentu. Tari warok misalnya, menurutnya tidak ada. Karena memang kisah pertarungan antarwarok itu tidak ada. Sementara warok sendiri, merupakan tokoh sosial-spiritual di kalangan masyarakat Ponorogo, yang tidak harus memiliki Reyog. Dan kalau pun seorang warok memiliki reyog, dia tidak harus tampil. Atau kalau pun tampil, ia menjadi bagian dari keseluruhan tim, dan bukan sebagai warok yang memamerkan kesaktiannya dengan cara bertarung melawan warok lain. “Reyog itu bukan sendratari yang mengisahkan perseteruan antarwarok, tetapi mengisahkan iring-iringan Prabu Kelomo Sewandana dari kerajaan Bantarangin Ponorogo yang sedang melamar Putri Songgolangit dari Kediri,” tegasnya.
Bikan juga merasakan adanya pandangan sinis kalangan santri terhadap Reyog. Reyog selama ini dicitrakan oleh kaum santri sebagai seni yang sarat dengan praktik kemusyrikan dan mabuk-mabukan. Menurut Bikan, hal ini terjadi karena adanya kekuarangpahaman santri tentang reyog. Karena menurutnya, reyog itu tidak mengenal minum-minuman. “Mabuk-mabukan itu baru terjadi akhir-akhir ini, sekitar tahun 1978-an. Sumbernya berasal daerah Sawoo yang berbatasan dengan Trenggalek. Karena Trenggalek akrab dengan tayub, sedang tayub selalu disertai dengan minum-minuman keras, maka konco-konco reyog Sawoo tertular dengan kebiasaan ini,” ujar Bikan.
Apa yang terjadi sekarang ini di Reyog Ponorogo, menurut Bikan, merupakan persoalan yang serius. Reyog tidak saja sudah berubah dan melenceng dari asalnya, melainkan juga telah kehilangan spirit atau jiwa. Karena itu upaya untuk meluruskan dan mendudukkan kembali Reyog pada jati dirinya perlu dilakukan. Untuk itu pula, saat ini Bikan bersama kelompok-kelompok reyog lain yang ada di Ponorogo sedang berusaha membenahinya. Salah satu upaya itu adalah digelarnya sarasehan pada pertengahan bulan Desember 2002 lalu, di Desa Plunturan, Kecamatan Pulung, yang kemudian diikuti berbagai aktivitas lainnya.
Begitulah, perjalanan hidup Bikan menggambarkan pergulatan yang sangat intens dengan dunia reyog. Bikan kecil mengawali kehidupan reyognya sebagai jathil pada usia 12 tahun. Tak lama kemudian ia sudah menguasai ganongan dan kendang. Seusai tamat sekolah dasar tahun 1964, Bikan belajar dalang di Solo. Tahun 1965 sampai 1969 Bikan menjadi Pembarong. “Setelah menjadi kepala desa pada tahun 1968, saya kemudian beralih menjadi pemusik pengiring sekaligus pembina generasi muda yang belajar Reyog,” ujar Kepala Desa yang akan mengakhiri masa jabatannya pada tahun 2006 mendatang ini.
Meski sudah bertahun-tahun menggeluti Reyog, bagi Bikan, kesenian bukanlah profesi tempat ia menggantungkan hidup. Baginya, kesenian adalah ekspresi hidup. Begitu pentingnya makna kesenian baginya, sehingga tak jarang ia rela merogoh sakunya untuk menghidupi kesenian. (Ahmad Zainul Hamdi-Averroes)
Naskah ini pernah diterbitkan dalam Majalah Ngaji Budaya. Hasil kerjasama Puspek Averroes dan Desantara
Foto: http://warokuin.blog.friendster.com/
gatot suryowidodo says
agak sedikit tergelitik memang saat mBah Bikan menyebut Trenggalek yang mempengaruhi para seniman reyog dan para waroknya dengan budaya minum dan tayub….seperti halnya Mbah bikan yang membela ponorogo, saya mau bicara sebagai orang Trenggalek….kalo disebut budaya minum-minuman keras adalah budaya orang Trenggalek dan Tayubnya maka yang harus di dekatkan pula adalahg bagaimana bisa mereka para warok yang terkenal sakti dan mawas diri ikut-ikutan minum-minuman keras….jangan salahkan orang lain dengan budayanya. kalau memang benar budaya imnum berasal dari trenggalek dan menjadi pengaruh buruk bagi para warok, maka berarti ada yang salah dengan para warok sendiri….bayangkan bagaimana santri dan kyai bisa menjadi pemabuk, berarti ilmunya cuma segitu saja. matur suwun
handi margono says
Di sini saya tidak ingin menyalahkan ataupun mengunggulkan budaya mana dan budaya siapa yang salah, tetapi saya ingin mendukung pernyataan yang cocok dengan hati saya. Saya setuju sekali bahwa sebagai penggiat kesenian harus mempunyai prinsip “ojo urip teko seni, ning uripono seni” (janganlah hidup dari kesenian, tetapi hidupkanlah/lestarikanlah kesenian). Dan ini tidak hanya berlaku untuk salah satu kesenian saja tetapi bisa jadi pedoman bagi semua penggiat seni. Terima kasih.
Agung wahono says
Mbah bikan dulu lurah mana???