Pergeseran zaman yang terjadi secara otomatis berimbas pula pada pola hidup manusia. Hampir di segala lini kehidupan mulai mengalami perubahan. Dari yang awalnya menggunakan surat kini beralih ke short message service, dari televisi layar cembung menuju LED, dari jalan kaki berubah duduk manis di kuda besi, atau juga kebiasaan menggunakan sapu tangan yang bergeser menjadi penggunaan tisu.
Secara spesifik, contoh yang terakhir dapat dilihat sebagai perubahan yang tidak nampak namun mengalami perubahan yang signifikan. Tisu yang memiliki asas praktisitas secara halus mulai menjadi teknologi baru yang paling digandrungi masyarakat. Ditunjang dengan hal tersebut, penggunaan tisu kini seolah sudah masuk dalam kategori kebutuhan primer, bukan lagi sekunder atau malah tersier.
Bentuknya yang minimalis dan praktis untuk dibawa kemana-mana, tisu banyak berguna ketika makan atau menghapus keringat karena berbagai aktivitas kesibukan. Keberadaan tisu mampu menggeser penggunaan handuk kecil atau sapu tangan yang biasanya terlipat rapi di saku celana kiri belakang.
Keunggulan lain dari tisu adalah cirinya yang sekali pakai. Kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga hidup sehat dan memastikan segala sesuatu tetap higienis berimbas pada terpilihnya tisu sebagai teknologi mutakhir untuk mewujudkan kesadaran tersebut.
Yang Tidak Banyak Diketahui Orang Tentang Tisu
Tisu mulai diproduksi pada tahun 1880an. Dalam produksinya, tisu menggunakan kulit kayu sebagai bahan utama produksi. Kulit kayu tersebut kemudian dioleh menjadi pulp (bubur kertas) dan mengalami beberapa tahapan hingga sampai bertransformasi menjadi tisu yang hari ini banyak digunakan.
Adakah efek negatif dari penggunaan tisu?
Banyak!
Pertama, pohon yang cocok digunakan untuk membuat tisu haruslah berumur enam tahun. Dari satu pohon, biasanya mampu menyediakan 20 lembar tisu. Jika satu pack berisi 100 lembar tisu, artinya ada lima pohon yang secara spesifik berfungsi untuk menyediakan satu pack tisu. Coba kalikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang jumlahnya hampir 300 juta itu. Kemudian kalikan sekali lagi dengan angka tujuh yang mewakili masa aktif pembelian tisu tiap orang.
“Itu kurang tepat, karena tidak semua orang menggunakan tisu!”
Jika masih terlalu bias dengan angka tersebut, ambil saja 25% dari total keseluruhan penduduk Indonesia. Bisa dibayangkan betapa banyak pohon yang terbunuh hanya untuk memenuhi hasrat menggunakan tisu dengan embel-embel praktisnya.
Kedua, tisu mengancam kesehatan manusia. Pembuatan tisu dengan tampilan putih nan bersih sudah barang tentu dibumbui dengan tambahan zat-zat kimia. Para produsen biasanya menyuntikkan zat pemutih (Klor). Padahal, zat ini bersifat karsinogenetik yang dapat memicu kanker.
Penggunaan tisu untuk membungkus makanan atau gorengan lama kelamaan akan menghasilkan penyakit dalam tumbuh. Imbasnya memang tidak langsung, tapi penumpukan zat yang masuk dalam tubuh pada akhirnya akan menimbulkan penyakit.
Ketiga, imbas sampah tisu. Jika satu orang tiap hari menggunakan setengah (½) gulung tisu dan dengan dikalikan jumlah penduduk di Indonesia sebagaimana tersebut diatas, bisa dibayangkan betapa besar sampah yang dihasilkan. 100 juta gulung tisu/hari dan tiga milyar gulung/bulan.
Taruhlah satu tisu memiliki berat seperempat (¼) kilogram. Maka, dengan pengali 3 milyar tadi didapatkan angka sekitar 750.000.000 kg. Dan angka fantastis tersebut adalah imbas sampah yang dihasilkan oleh tisu tiap bulannya. Ya. Itu baru sampah tisu. Belum sampah-sampah lainnya.
Lantas Bagaimana?
Merujuk pada efek negatif dari proses hulu hingga hilir keberadaan tisu, alangkah lebih bijaknya jika setiap individu meminimalisir penggunaan tisu. Tanpa mengesampingkan praktisitas dan higienitas sapu tangan, kiranya nama terakhir adalah cara paling tepat untuk menjaga keselarasan alam dan kesehatan tubuh. Toh, sapu tangan juga tidak mengenal istilah join, bukan?
Tidak mudah memang mengubah kebiasaan seseorang secara drastis dan menyeluruh. Apalagi zaman yang semakin modern menghendaki citra baik atas nama gengsi dengan menggunakan tisu. Konon katanya, menggunakan tisu adalah cara terbaik untuk meninggikan diri kita. Mbelgedes.
Upaya perubahan dari tisu menuju sapu tangan ini dapat dimulai dari diri sendiri hingga perlahan ditularkan pada yang lainnya. Daripada sekedar mengedepankan gengsi, bukankah lebih baik untuk menjaga keberlanjutan alam. Perlu diingat bahwa alam bukanlah warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu kita. Jika ekosistem hari ini banyak yang rusak gegara barang kecil bernama tisu. Lantas, ekosistem macam apa yang akan dirasakan oleh anak cucu kita kelak?
Sumber gambar: http://cdn.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2015/01/19/486986/670×335/pakai-tisu-basah-setelah-pipis-tidak-sehat.jpg