Kebutuhan pangan negara ini begitu besar, bahkan akhir-akhir ini tak jarang kita mendengar negara kita mengimpor beras dari negara seberang. Apa sebetulnya yang terjadi di pelosok desa, ada apa dengan petani saat ini?
Bagaimana bisa bangsa yang sejak dahulu kala dikenal dengan tanahnya yang subur itu kini tak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dalam hal pemenuhan pangan. Semua pertanyaan ini harus kita cari jawabannya hingga ke sumber di mana lumbung-lumbung itu dulu pernah ada, yaitu desa. Dalam konteks ini kita akan mengambil satu contoh desa di pelosok Kabupaten Jember, yaitu desa Sidomulyo Kecamatan Semboro.
Moeawan seorang warga di desa ini menceritakan betapa desa ini dahulu sekitar 20 tahunan yang lalu merupakan desa yang cukup kaya dengan hasil pertanian. Para pemuda yang ada di sini pun sangat jarang yang lari keluar kota untuk sekedar mengadu nasib. “Ga perlu lungo nang njobo, lawong sawahe penghasilane apik”, tidak perlu keluar kota, karena sawahnya disni bisa menghasilkan uang dengan lancar, jelas moeawan ketika menceritakan kondisi desa ini hingga akhir tahun 96an.
Namun kesusksesan dan kejayaan kampung itu ternyata tidak berlangsung lama, sejak krisis moneter datang, semua harga pertanian jadi hancur berantakan. Bahkan hal ini diperparah dengan kondisi hama yang tak kunjung selesai dan serasa bak monster kuat yang susah untuk dilawan dengan cara apapun. Gagal panen yang terjadi ber ulang-ulang meyenbabkan banyak warga di desa ini mengalami pailit, tak jarang mereka yang punya lahan pun akhirnya kebingungan mengelola lahannya karena sudah tak ada lagi modal yang bisa digunakan.
Itulah awal cerita ini di mulai, akhir tahun 1998 banyak orang kampung yang pergi keluar kota untuk mengadu nasib. “Dengan pergi keluar kota, kami berharap dapat mengumpulkan modal untuk nantinya digunakan mengelola lahan yang ada di desa”, ujar Luqman seorang pemuda desa yang kini menjadi kuli bangunan di Bali. Tidak banyak warga di desa ini yang memiliki keahlian layaknya pemuda kota, oleh karena itu ketika keluar kota pun mereka mau tidak mau akhirnya banyak yang menjadi buruh kasar.
Banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, sawah yang kini tak mampu lagi menopang semua kebutuhan karena harga panen sering turun, pupuk yang sulit didapatkan, serangan hama yang tiada henti dan lapangan pekerjaan yang minim di desa seakan-akan mendorong masyarakat di sini untuk terus meninggalkan desanya. “Kalau sekarang ya sekitar ¾ dari pemuda di desa ini yang pergi keluar kota”, ujar Faton tetangga Luqman. Kini sudah seperti menjadi budaya di desa ini, bahwa setiap anak muda selepas sekolah SMP ataupun SMA harus keluar dari desa jika ingin memiliki penghasilan lebih. Bagi yang lulus SMA mencari pekerjaan ke pabrik-pabrik atau pelayan toko sedangkan yang lulus SMP sudah bisa dipastikan akan lari ke Bali sebagai buruh bangunan.
“Hehehe la memang ga pernah nyemplung nang sawah, piye kate iso”, jawab Faton ringan ketika ditanya apakah dia masih bisa menjadi petani. Pria hitam jangkung berumur 26 tahun ini berpendapat bahwa suatu saat akan menjadi bumerang bagi bangsa ini. Ia juga berharap bahwa pemerintah seharusnya mulai menyadari kondisi seperti ini. Siapa kelak yang akan melanjutkan budaya bercocok tanam jika semua pemuda desa pergi ke kota? Masih ingat dengan jargon noto kuto mbangun deso , apa yang ingin dibangun jika semua lari ke kota?
Pertamax
semoga bermanfaat sebagai refleksi secuil dari kondisi bangsa ini….
Jayalah Buruh tani dan Iden Robert!
saluut
aku suka dandut