Oleh Aliful Ma’arif
Judul : Post Tradisionalisme Islam; Wacana Intelektualisme
Dalam Komunitas NU
Penulis : Rumadi
Editor : Marzuki Wahid
Penerbit: Fahmina Institut
Tebal : XX + 382 hal, 15.5 x 23.5 cm
ISBN : 978-979-8442-05-06
Cetakan pertama, Maret 2008
Postradisionalisme merupakan suatu istilah gerakan kultural yang coba digagas oleh kalangan muda NU dengan mendasarkan pada ide-ide yang digagas oleh KH. Abdurrahman Wahid sebagai lokomotif gerakan intelektualnya, dan secara epistemologis mereka mendasarkan pada tokoh-tokoh pembebasan seperti Mohammad Arkoun, Hasan Hanafi, Nasr Abu Zayd dan Abed Aljabiri, berkenaan dengan wacana-wacana tentang pembebasan terhadap kuasa teks dan tradisi. Gerakan ini juga lebih menitik beratkan pada gerakan-gerakan Intelektual organik dengan menciptakan jejaring-jejaring NGO dan LSM yang memiliki kedekatan secara ideologis dengan NU sebagai media mengkampanyekan ide dan gagasannya tentang Postra itu sendiri.
Sebagaimana dilansir dalam tulisannya, Rumadi mencoba memaparkan secara gamblang tentang apa dan bagaimana tentang Postra, toh walaupun sampai hari inipun wacana postra masih selalu menjadi perdebatan panjang terkait dengan kerangka-kerangka batasan makna epistemologisnya, pada satu sisi postra dianggap tidak lazim karena makna postra sendiri bisa diartikan sebagai melampaui, mencampakkan dan meninggalkan tradisi itu sendiri yang seakan-akan menantang semangat tradisional, atau jangan-jangan postra hadir hanya demi untuk menegaskan identitas tradisional kelompok muda NU yang terdidik saja, semakin dalam ditelisik semakin banyak memunculkan pertanyaan yang mencurigakan terkait dengan munculnya Postra itu sendiri, tapi setidaknya munculnya Postra tidak hanya dilatarbelakangi pergulatan wacana intelektual antara kaum tradisional dan modernisme, disisi lain kelahiran postra memang sebagai hasil pergulatan panjang dari proses transformasi intelektual dengan kesadaran kritis transformatif, yang mana Postradisionalisme sendiri tidak berpretensi untuk membangun metodologi dalam memahami Islam tapi lebih pada pemberian bingkai kritisime (kritik nalar kritisisme) dalam memandang bangunan ortodoksi keagamaan.
Masih menurut Rumadi, dalam konteks NU setidaknya postra diartikan sebagai komunitas anak muda NU sebagai simbol lompatan tradisi. Lompatan tradisi yang dimaksud di sini bukan meninggaalkan tradisi, tetapi menggunakan tradisi sebagai basis gerakan untuk melakukan transformasi. Pada titik inilah yang membedakan kolompok Postra dengan kelompok-kelompok intelektual lainnya, yakni pada keteguhan untuk memegang dan memanfaatkan tradisi sebagai modal sosial dalam pengembangan pemikiran dan menggerakkan perubahan, toh pada akhirnya mereka tidak menerima tradsi secara apa adanya tanpa kritik. Mereka tidak segan-segan mengkritik tradisinya sendiri dan juga tradisi ornag lain. Kritik atas tradisinya sendiri bukan berarti membenci atau meninggalkan tradisi itu, tetapi untuk merevitalisasi agar tradisi lebih berdaya guna. Karena itu sejauh apapun kutub gerakan yang mereka lakukan tetap dalam koridor dan pertanggung jawaban tradisi.
Embrio Kelahiran Islam Post Tradisionalisme
Statemen yang termaktub dalam tema diatas tidak bermaksud untuk menentang nilai-nilai agama (teks) yang mendasarkan diri pada wahyu ataupun pada nilai-nilai tradisi yang sudah dianggap baik yang seakan-akan tidak lagi konteks dengan semangat zaman kekinian. Akan tetapi bagaimana membangkitkan semangat progresifitas keberagamaan dan membangkitkan kegairahan intelektual masa depan sehingga terlepas dari keterbelengguan teks dan tradisi.
Setidaknya ada beberapa hal yang melatarbelakangi dan menjadikan landasan semangat lahirnya postra, pertama terjadinya kejumudan dalam konteks pemikiran beragama, hal ini tidak bisa dipungkiri dengan adanya satu doktrin dengan menempatkan Islam sebagai realitas wahyu sehingga melahirkan satu paradigma kemapanan bahwa Islam adalah agama wahyu yang kebenarannya menjadI satu hal yang mutlak tak terbantahkan yang kemudian memunculkan satu kekhawatiran untuk merusak agama dan akidah, hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Moh Arkoun dalam tulisannya Naqd Al-Islam bahwa ciri dan karakter Islam pada waktu itu:
- Tunduk pada wahyu dan ortodoksinya
- Penghormatan pada otoritas dan keagungannya (Imam Mazhab dalam konteks Fiqih, Teologi dan Tasawuf)
- Cara pandang tertentu atas epistimologi abad pertengahan terhadap alam semesta.
Berangkat dari wacana diatas yang kemudian menyebabkan kemandekan dalam konteks nalar berfikir masyarakat Islam, yang kemudian memmunculkan tokoh-tokoh pemikir seperti Mohammad Arkoun, Hasan Hanafi dan Abid Aljabiri Nasr Abu Zayd yang mencoba mendekonstruksi dan kemudian merekonstruksi berbagai bentuk dan pola struktur kemapanan dengan otokritik terhadap teks-teks ajaran agama, yang mana mereka juga tidak terlepas dari pengaruh tokoh-tokoh post modernisme dan madzhab kritis yang juga hidup dalam belantika pemikiran barat pada waktu itu.
Setidaknya semangat ini yang kemudian berembrio dan menjadi landasan semangat berfikir masyarakat Islam, khususnya kalangan muda NU di bumi nusantara dalam kontestasi pemikiran keberagamaan ditengah semakin gencarnya semangat Islam Neo-modernis dan Neo Fundamentalis dalam mengkampanyekan ide-idenya.
Relevansi Postra
Membaca buku ini semakin menarik jika tidak berhenti hanya pada sebatas analisa akan tetapi juga bagaimana mengcounter balik kerangka epistemologi yang dibagun didalamnya karena buku ini sarat dengan nuansa-nuansa intelektual yang dibangun didalamya, semakin kita teliti membacanya semakin memunculkan pertanyaan-pertanyaan epistimologis sehingga membuka cakrawala pengetahuan para pembacanya, khususnya dibagian ketiga dan keempat. Pada bagian ini lebih banyak mengurai bagaimana perkembangan post Tradisionalisme dalam komunitas NU, bagaimana bangunan wacana postra dalam konstalasi pemikiran Islam serta munculnya arus baru pemikiran progresif dalam tubuh NU.
Lebih lengkap lagi pada bagian keempat yang merupakan inti dari pembahasan buku ini dengan suatu analisis wacana terhadap pemikiran postra dalam NU untuk melihat bagaimana proyeksi masa depannya. Yang kemudian dalam bab ini juga akan disinggung bagaimana pertarungan wacana antara arus pemkiran liberal dan konservatif dalam NU serta bagaimana pemikiran postra dalam perkembangan inteketual di Indonesia.
Oleh karenanya kahadiran buku ini ditangan para pembaca merupakan suatu anugerah pengetahuan yang begitu monumental karena tidak hanya kajian epistimologis pengatahuannya saja yang dimuat, akan tatapi aspek historisnya dan kajian tokoh pemikirnyapun juga dilacak secara gamblang, misalkan bagaimana buku ini memaparkan bahwa teks-teks agama tidak ansich sebagai wahyu yang mutlak kebenarannya tetapi pada sisi lain bagaimana menempatkan agama sebagai realitas sejarah, yang mana itu merupakan produk pemikiran manusia dalam menafsirkan teks-teks agama sehingga kebenaran agama menjadi relatif, dan atas nama pembebasan dan progresifitas dalam beragama, siapapun berhak mendekonstruksi dan kemudian merekonstruksi berbagai bentuk ortodoksi beragama.
Akhirnya dengan suatu harapan bagaimana wacana postra tidak hanya mati begitu saja, terlebih hari ini bagaimana situasi sosial-politik yang kian berubah-rubah tidak melunturkan semangat kita sebagai komunitas intelektual muda untuk terus mempropagandakan wacana-wacana Islam Post Tradisionalisme di tengah semakin gencarnya propaganda wacana Islam neo modernisme dan Islam Neo-Fundamentalisme, sehingga kedepan bagaimana Pastradisionalisme mampu menjadi tawaran alternatif gerakan-gerakan intelektual muda dalam mewujudkan kebebasan terhadap kepakeman dan ortodoksi beragama dengan semangat progresif emansipatoris menuju terciptanya semangat Islam Rahmatan Lil Alamien.
muhammad shobri says
pembaharuan pemikiran (tajdid al-afkar) dalam Islam menjadi sesuatu yang niscaya. Tradisionalisme dan modernisme belum cukup untuk menjawab berbagai persoalan. Sebab keduanya masih mendasarkan paradigma epistemologinya kepada produk ilmu pengetahuan abad pertengahan. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah dekontruksi dan kemudian rekontruksi atas pemikiran hasil produk pertengahan tersebut, untuk didialektikan dengan realitas kekinian, tanpa harus merubah teks wahyu dan hadits. Artinya pentakwilan (interpretasi) akan kuasa teks tersebut tetap menggunakan kaidah-kaidah lama, namun dibarengi dengan metodologi baru yang mengarah transformasi pemikiran yang progresif.