Ada sisi yang berbeda dibalik hiruk pikuk bulan Romadlon. Saat orang sibuk bersedekah, beribadah dan mencari nafkah lebih menjelang lebaran, tanpa disadari kita sedang ditarik pada perilaku yang unik menjelang berbuka puasa, yakni berburu takjil. Istilah gaulnya mirip dengan ngabuburit. Bisa di Jalan Sukarno Hatta, Jalan Sulfat, Jalan MT Haryono (Dinoyo), di pasar-pasar modern, hingga ribuan pedagang takjil di jalan-jalan dekat area kampus. Meski sering menghambat arus jalan, toh tidak ada gerutuan, bunyi klakson bersahutan atau makian seperti saat-saat macet menjelang petang dihari-hari biasa. Semua khidmat dan sabar. Maklum puasa.
Nah, diantara ribuan pencari takjil itu ada cerita lebih unik lagi, yakni para pencari takjil gratis! Jelas mereka berbeda dengan para pencari takjil yang punya duit. Mereka tidak bisa menikmati ramainya muda-mudi yang lalu-lalang berburu berbagai takjil di jalan-jalan. Mereka juga tidak bisa leluasa memilih takjil yang mereka sukai (maklumlah, uangnya dari ngutang). Yang bisa mereka lakukan hanya diam menunggu takjil keluar sambil berangan-angan: takjil apa yang akan dihidangkan nanti pada saat adzan magrib, sambil sesekali “berpura-pura” mendengar ceramah menjelang maghrib di Masjid.
Ini bukan cerita fiktif seperti sinekuis Para Pencari Tuhan. Ini adalah cerita riil. Namun begitu ada beberapa persamaan pelakunya. Pertama, para pemuda pencari takjil gratis ini memang ekonominya belum mapan-mapan benar seperti halnya Barong, Chelsea, Juki atau bahkan Udin. Kedua, mereka belum mempunyai rumah sendiri alias mahasiswa kos-kosan. Ketiga, kadang mereka menjadi ‘provokator’ aksi-aksi mahasiswa saat jengah dengan situasi nasional, tak ubahnya seperti trio RW. Ketiga, para pencari takjil gratis ini mempunyai bakat untuk menjadi muslim suffi sebagaimana tampilan kesederhanaan pada cerita sinekuis PPT. Namun begitu ada satu perbedaan nyata pada dunia riil para pelaku cerita itu, yakni Para Pencari Takjil Gratis ini memang benar-benar masih ‘kere’, tidak seperti Udin ‘PPT’ yang tentu sudah bergaji jutaan rupiah.
Memang tidak semua orang mempunyai keberanian untuk berburu takjil gratis di masjid-masjid itu atau bahkan di depan perusahaan dan pasar modern yang sengaja membagikan takjil gratis. Ada beberapa syarat yang mungkin terasa ‘diskriminatif’ secara gender. Maklum, salah satu syarat utama para pencari takjil ini adalah rela menurunkan harga diri dan prestis mereka untuk mampu melebur kepada publik yang mungkin senasib, yakni ‘kere’, hanya punya uang hutangan untuk mudik atau mungki memang sudah tidak punya “malu”. Tentu saja ini tidak mudah untuk para kaum hawa, kecuali ibu-ibu.
Namun begitu, tidak ada nilai negatif untuk para pencari takjil gratis ini. Artinya ini bukan aib. Sebab mereka tidak hanya mendapatkan takjil cuma-cuma sebagai kesempatan orang untuk memperbanyak sedekah di bulan suci. Apalagi mereka secara tidak langsung pasti akan mengikuti sholat jama’ah maghrib. Sekali dayung terlampui dua tiga pulau, kan?
kukuruyuk says
kapan balik mas
L. Riansyah says
Reflektif, jadi ingat masa muda. He he padahal ….
reza_marco_chavez says
Wes mudik ta??
Om Randi says
Hahahaha….om randi ngganteng dw….
Penulise kupluke miring2…kui
om amax says
apa kabar wahai alumni 384b……….???