Amen, begitu nelayan Desa Campurejo Panceng Gresik menyebutnya. Satu aktivitas yang adaptif untuk menghindar dari kondisi laut mereka yang terus memburuk dan himpitan ekonomi.
Berburu ke Wilayah Lain
Aktivitas ini unik karena tidak mudah dijumpai di berbagai wilayah pantai utara jawa. Amen berarti merantau untuk melaut dalam waktu tertentu. Biasanya jangka waktu untuk amen kurang lebih dari satu bulan.
Lebih detailnya, orang yang melakukan amen biasanya berkelompok pergi dengan menyewa kendaraan ke daerah pesisir lain, seperti Muncar atau di beberapa daerah Bali, untuk kemudian melaut di wilayah tempat perairan tersebut.
Proses perpindahan tempat melaut ini dilakukan karena jumlah ikan di perairan Gresik yang semakin menipis dan banyak yang berpindah tempat.
Di tempat yang baru mereka kadang-kadang memilih untuk menyewa perahu nelayan setempat, atau bisa juga dengan menaiki perahu yang dibawa oleh salah seorang teman mereka dari Gresik. Untuk menentukan daerah perpindahan tersebut para nelayan biasanya telah mengantongi daftar daerah yang memiliki laut dengan jumlah ikan yang masih tinggi.
Amen tidak bisa dipandang dalam segi kebutuhan ekonomi masyarakat pesisir kelas bawah, namun juga dapat mengandung romantika dan persoalan sosial yang lebih mendalam, seperti kekerabatan, kekuasaan dan ekologi politik. Karena itu amen ala warga Campurejo Gresik menjadi menarik untuk diulas.
Ketimbang jadi TKI
Rizal adalah satu narasumber saya berusia sekitar 21 tahun. Ia adalah seorang pemuda dari keluarga nelayan yang baru lulus pendidikan Madrasah Aliyah di desanya.
Tidak adanya modal ekonomi yang cukup membuat ia memilih langsung masuk dalam arena kerja ketimbang mendaftar di perguruan tinggi. Baginya, dan rekan-rekan yang senasib dengannya, hanya ada dua pilihan pasca lulus dari MA, yakni menjadi TKI di Malaysia atau menjadi nelayan.
Tapi ia lebih memilih menjadi buruh nelayan untuk berteman dengan alam dan mengadu nasib pada kerasnya ombak ketimbang menggali emas di negeri tetangga.
Ia bercerita bahwa menjadi buruh nelayan bukan menjadi profesi yang mudah saat ini. Sebab ketergantungannya dengan pemilik kapal membuat ia tidak memiliki sumber ekonomi yang pasti dari hasil melaut.
Walaupun telah berlayar hingga jauh dan mendapatkan ikan banyak, ia tetap tidak bisa mendapatkan hasil atas jerih payah seutuhnya. Dari hasil tangkapannya ia diharuskan menyetor kepada pemilik kapal kurang lebih separuh dari hasil tangkapan.
Persoalan tersebut ditambah lagi dengan semakin jarangnya ikan di laut Gresik. Ia menyebutkan banyak dari nelayan di Desa Campurejo yang melaut hingga ke Madura dan Sulawesi.
Faktor utama penyebab itu adalah kondisi ekologi perairan di Gresik yang telah berubah. Ia menegaskan bahwa limbah-limbah pabrik selama ini menyebabkan air menjadi kotor dan tidak lagi seperti dulu. Hal ini menyebabkan ikan-ikan menjadi berpindah tempat.
Penuturan Rizal ini ditegaskan dengan data yang dipaparkan oleh sejumlah lembaga penelitian yang meneliti kondisi wilayah perairan di Gresik. Berita yang diunggah oleh Kompas.com (7/3/2011) menyebutkan pada 2011 kondisi sebagian besar wilayah laut di Kabupaten Gresik sudah masuk dalam kategori tercemar ringan, sebagaimana hasil riset yang dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung. Pencemaran ini menurut mereka diakibatkan oleh limbah industri di Gresik.
Parahnya lagi masih belum adanya kesadaran masyarakat nelayan untuk menjaga lingkungan hidup menjadi salah satu faktor dalam kelestarian laut.
Masih Banyak yang Pakai Pukat
Rizal mencontohkan banyaknya nelayan yang masih menggunakan pukat ketika menangkap ikan. Pukat tergolong sebagai alat tangkap yang berbahaya bagi lingkungan, pasalnya alat ini dapat merusak karang dan menjaring ikan-ikan kecil. Namun ia menyajikan persoalan yang cukup kompleks ketika ditanya apakah sudah sejak dulu pukat digunakan oleh nelayan.
Rizal mengutarakan karena dulu nelayan dapat menjaring ikan secara mudah maka alat tangkap yang merusak jarang digunakan. Saat ini ikan semakin sulit ditemukan, sedangkan harga bahan bakar cukup mahal seirama dengan kebutuhan rumah tangga nelayan yang semakin mencekik.
Akhirnya karena pemerintah jarang pernah memberikan kebijakan untuk mengatasi persoalan ini, beberapa nelayan menempuh jalan terakhir dengan menggunakan alat tangkap yang berbahaya. Jadi kebanyakan mereka bukan tidak mengerti mengenai kelestarian lingkungan, akan tetapi desakan ekonomi-lah yang membuat mereka menggunakan alat tangkap berbahaya.
Sosialisasi memang beberapa kali dilakukan oleh pemerintah melalui beberapa media untuk memberikan penyadaran kepada nelayan untuk tidak menggunakan alat tangkap berbahaya, namun hal tersebut susah untuk diindahkan oleh nelayan. Bagi Rizal, kebijakan untuk menyejahterakan nelayan dan memperbaiki kondisi lingkungan dari pencemaran limbah adalah faktor penting yang juga harus dilakukan pemerintah. Namun sayang kedua hal tersebut selama ini setengah hati dilakukan oleh pemerintah.
Sulitnya menangkap ikan di perairan Gresik inilah yang membuat beberapa nelayan melakukan amen. Mereka rela untuk berjauhan dengan sanak famili agar tetap bisa melaut. Berpindah profesi bukan menjadi salah satu opsi bagi nelayan lantaran mereka telah menyatu dengan laut.
Tiada Jaminan Keselamatan
Berpindah tempat melaut atau amen menjadi persoalan tersendiri bagi nelayan. Rizal menuturkan pendapatan hasil dari amen tidaklah pasti. Beberapa kali ia mengatakan rugi dengan uang transport.
Belum lagi resiko keselamatan hidup saat melakukan amen yang tidak terjamin. Pada waktu amen nelayan harus menyesuaikan kondisi perairan daerah lain yang tentu tidak sama dengan wilayah Gresik, karena itu mereka membutuhkan kehati-hatian pada saat melaut.
Meninggalkan sanak famili menjadi problem tersendiri bagi nelayan. Amen yang juga bagian dari kerja merantau memiliki resiko bagi nelayan untuk meninggalkan keluarga. Karena itu, banyak dari pelaku amen adalah anak-anak berusia muda yang masih belum memiliki anak dan istri.
Di tempat lain para nelayan yang melakukan amen selain harus beradaptasi dengan laut yang berbeda, mereka juga diharuskan membangun relasi sosial baru dengan nelayan sekitar. Hal ini penting bagi untuk menciptakan sistem keamanan bagi mereka ketika melakukan pekerjaan.
Karena di tempat lain konflik yang diakibatkan hasil tangkapan juga berpotensi muncul antara pihak pendatang dan tuan rumah. Oleh sebab itu, membangun interaksi dan kekerabatan seringkali dilakukan dimana sebelumnya telah menjadi satu unggah-ungguh dalam tradisi masyarakat Jawa ketika bertamu.
Mendengarkan cerita narasumber mengenai amen dengan segala romantikanya, saya menilai bahwa ini menjadi fenomena yang kompleks di masyarakat nelayan. Amen bisa dapat ditinjau dalam beberapa aspek yang saling berhubungan dalam satu penyebab. Ini dapat dimulai dengan melihat laju pencemaran limbah pabrik yang tak tekontrol yang menyebabkan kondisi perairan memburuk. Buruknya kondisi lingkungan menjadi faktor kunci yang menyebabkan kondisi ekologi politik di wilayah pesisir berubah.
Perubahan ekologi politik dapat dilihat dalam interaksi antar aktor, yakni pemerintah sebagai aktor kebijakan, industri yang membuang limbah, nelayan yang mencari ikan, dan laut beserta isinya.
Dalam interaksi ini nelayan dan laut merupakan dua aktor yang mendapatkan dampak buruk dari kondisi lingkungan yang buruk. Aktivitas Amen juga telah menjadi bukti bahwa masyarakat pinggiran seperti nelayan sekarang ini semakin mengalami situasi sulit dalam mencukupi kebutuhan ekonomi.
Menyelamatkan nelayan dan kondisi lingkungan, khususnya laut, menjadi yang paling penting dilakukan saat ini oleh berbagai pihak. Sebab bagaimanapun laut adalah salah satu sumber daya alam yang harus dijaga kelesetariannya. Selain itu, laut telah menjadi ladang dari mata pencaharian nelayan pesisir.
Nelayan dan laut begitu serasi dan tak dapat dipisahkan bagai ikan dan karang, seperti yang dikisahkan dalam cerita The Old Man and the Sea karya Ernest Hemingway. Karena itu Amen adalah salah satu wujud eksistensi dari nelayan Desa Campurejo Gresik agar mereka tetap melaut meski tidak dalam wilayah perairannya.
Gambar:
https://lh3.googleusercontent.com/-kVKXI1EkBh0/T7AElEErBoI/AAAAAAAAADI/Rm5wFBK9UZk/w506-h380/IMG02304-20120306-1728.jpghttps://cdn.sindonews.net/dyn/620/content/2014/12/03/151/932309/menumpuk-utang-tak-tahu-kapan-membayar-KNq.jpg
Leave a Reply