Judul: Milenial Nusantara; Pahami Krakternya, Rebut Simpatinya
Penulis: Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2017
Halaman: 203 Halaman
Bahasan mengenai generasi milenial menjadi mengemuka akhir-akhir ini, mengingat generasi ini adalah pengganti dari gerenasi sebelumnya, atau yang lebih beken dipanggil Generasi X. Generasi Milenial juga menarik untuk dibahas lantaran generasi ini tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi infomasi. Hal ini tentu memberi nuansa baru dalam karakter dan pandangan hidup yang cukup berbeda dari generasi sebelumnya. Pergantian generasi dari X ke milenial juga tentu akan berdampak pada nuansa sosial, politik dan ekonomi berbangsa dan bernegara.
Hal itulah yang menjad bahasan utama dalam buku Milenial Nusantara yang ditulis oleh Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi. Buku ini merupakan diskripsi panjang terhadap hasil beberapa hasil penelitian dari Alvara Research Center. Sebuah lembaga penelitian dan konsultan sosial, politik dan ekonomi di Jakarta.
Para ahli demografis sepakat dalam kategosisasi generasi umat manusia mulai tahun 1949 sebagai berikut. Generasi Baby Boomer yang lahir tahun 1946-1964, generasi ini lahir pada zaman peperangan, berkarakter cenderung anti kritik, berorientasi kerja untuk hidup dengan loyalitas dan dedikasi yang tinggi. Generasi X adalah mereka yang lahir tahun 1965-1980 dengan karakter lebin matang dari generasi sebelumnya, cukup menerima kritik, dan kehidupan antara pribadi, keluarga dan pekerjaan yang seimbang.
Sementara, genealogi generasi Milenial adalah mereka yang lahir dari tahun 1981-2000 dengan rentan usia saat ini sekitar 18-37 tahun. Secara profesi mereka yang hari ini menjadi mahasiswa, early jobbers dan orang tua muda. Umunya, generasi Milenial hidup di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan selain dari pertumbuhan masyarakat perkotaan dan reklasifikasi desa menjadi perkotaan, juga disebabkan dari urbanisasi generasi milenial pedesaan terpelajar untuk melanjutkan studi, berkarir hingga berkeluarga di perkotaan.
Milenial perkotaan merupakan generasi mayoritas dengan angka 35-40 persen. Hidup berdampingan dengan hiruk-pikuk kepadatan penduduk dan dunia industial mendorong mereka untuk selalu berupaya survive dalam segala kondisi. Hal inilah dalam temuan Alvara Research Center pada buku tersebut membentuk generasi milenial dengan tiga karakter. Yaitu, 3C. Connected. Mereka menjadi karakter yang pandai bersosialisasi di baik dengan teman atau kolega di dunia nyata maupun di media sosial. Creative, mereka berfikir out of the book, kaya ide, multitasting dan mampu mengkomunikasikan secara cemerlang. Confidence, mereka sangat percaya diri, berani mengemukakan pendapat bahkan di depan publik dan menyukai tantangan.
Sebagai generasi yang hampir keseluruhan hidupnya berdampingan dengan teknolongi, generasi ini menjadi pengguna internet terbanyak sebesar 72,2 persen. Artinya, sebanyak 59,9 juta penduduk yang terdiri dari generasi ini adalah pengguna gawai dan internet. Hal ini juga berdampak pada perilaku ekonomi mereka. Tak sedikit dari mereka yang beralih dari belanja konservatif ke modern, dalam hal ini melalui aktivitas ekonomi secara online. Hingga diperkirakan transaksi E-Commerce di Indonesia pada tahun 2020 akan mencapai 180 Triliun. Fantastisnya angka ini tentu akan merubah strategi dan wajah ekonomi dan bisnis di kemudian hari.
Di samping itu, generasi milenial membawa secercah cahaya positif dalam menyikapi isu-isu sosial kontekstual. Optimisme mereka tertuju pada kondisi politik Indonesia sebanyak 53 persen, penegakan hukum 56,5 persen dan kondisi demokrasi 64,9 persen. Tidak hanya itu, optimisme gerenasi Milenial juga terlihat pada pandangan keagamaan. Yaitu berfikir realistis 66,7 persen, konservatif 3,9 persen. Sedangkan afiliasi mereka pada organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam adalah Nahdlatul Ulama 48 persen, Muhammadiyah 14,9 persen sisanya berafiliasi pada ormas islam moderat dan koservatif lainnya.
Optimisme dan terbuka dalam berfikir serta moderat dalam beragama menjadi modal besar generasi milenial dalam berkiprah, mewarnai dan mengelola negara untuk kedepannya. Karena dengan itu meraka dapat berfikir jernih, kritis dan mengupayakan yang terbaik dalam berkarya. Pemimpin di tangan milenial yang prograsif tentu lebih mudah menggapai tujuan dan cita-cita bersama. Apalagi di tahun 2020 diprediksi generasi milenial yang berusia 20-39 tahun mencapai angka mayoritas sebesar 34 persen, disusul usia 40-34 sebanyak 20 persen kemudian generasi paling tua yang berusia 55-74 tahun hanya berjumlah 13 persen.
Hadirnya buku ini menjadi penting untuk mengetahui wajah generasi milenial nusantara yang akan memimpin dan berkiprah dalam tatanan sosial dan politik ke depan. Sepanjang pengamatan penulis, buku ini adalah hasil penelitian yang cukum komprehensif mengenai generasi Milenial, mulai dari karakter, pandangan sosial, ekonomi, politik dan keagamaan mereka terekspos dengan baik.
Namun yang menjadi kekurangan cukup berarti adalah tidak adanya keterangan terkait metodologi penelitian, tahun meneliti serta sebaran dan jumlah responden. Kendati begitu, validitas hasil penelitian ini tidak perlu diragukan, mengingat setiap edaran resmi hasil penelitiannya, Alvara mencantumkan hal-hal tersebut dengan cukup detil. Tetapi, bagi pembaca kritis yang kurang mengenal Alvara, tidak dapat disalahkan jika mereka menilai kajian ini kurang kredibel lantaran tidak memuat pelbagai hal penting dalam sebuah penelitian ilmiah.
Leave a Reply