Berkali-kali Markus Haris Maulana harus terbang menepis bola yang selalu ingin masuk ke gawangnya. Rasanya kita tidak sedang melihat permainan bola, tetapi baseball. Dan, “keinginan” bola untuk menukik ke gawang Timnas tak mampu dibendung lagi hingga tujuh kali. Beruntung, kelengahan konsentrasi Luis Suarez dkk di awal babak pertama berhasil dimanfaatkan Boaz Salosa dengan baik. Satu gol cukup untuk menghibur, bahwa Timnas kita mampu mendorong bola dan mengecoh kiper dari sebuah tim terbaik ke-4 sedunia.
Banyak cara untuk menuliskan kekalahan Timnas Indonesia atas Timnas Urugay. Kompas menulisnya dengan judul “Anak SD vs anak SMA”. Jawa Pos menulisnya dengan judul “Beda Kelas”. Karena judul-judul saja sudah demikian singkat menjelaskan perbedaan kualitas permainan Timnas Indonesia dengan Urugay, maka kekalahan itu bukan dipandang sebagai aib. Begitu juga yang disampaikan pelatih Timnas Indonesia Alfred Riedl.
Kalah dalam pertandingan rasanya sudah biasa, seperti adigium kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Tetapi kalah terus itu tidak enak. Dukungan suproter pun begitu. Jangan-jangan sampai kita menutup mata kesuksesan Timnas itu masih dalam imaji, just in the night of dream. Nasionalisme pun juga bisa pudar seiring semakin lemahnya kekuatan diri kita. Di wilayah politik juga begitu. Betapa banyak rakyat ini yang kecewa saat sambutan SBY atas Malasyia ternyata datar-datar saja, membuat ngantuk para tentara yang awalnya telah siaga.
Ini yang menjadi masalah. Jangankan melawan Urugay. Berhadapan dengan peserta baru di SEA Games seperti Vietnam dan Myamnar saja kita terseok-seok. Kekecewaan masih terekam saat SEA Games 2009 di Laos, Timnas tidak memetik satu pun kemenangan. Padahal upaya untuk berpretasi lebih tinggi sudah kita lakukan dengan mendatangkan pelatih asing mulai Peter Wite, Ivan Kolev, hingga saat dilatih Alfred Riedl.
Rasanya sebagai supporter kita capek menunggu. Sebab, sebuah permainan sportif selama 2×45 menit itu tidak tiba-tiba terjadi saat di lapangan. Ada banyak proses yang terakumulasi lalu membentuk kualitas pertandingan 90 menit itu. Tetapi sering kita tidak mengindahkan berbagai “riak-riak” sosial yang mengganggu spirit dan sinergitas kita sebagai sebuah team, sebuah management, bahkan sebuah negara.
Krisis kepemimpinan memang sedang mendera negeri ini. Legitimasi kekuasan, keadilan, perangkat hukum hingga pucuk pimpinan negeri ini sering mendapatkan kritik bahkan percikan api ketidakpercayaan. Satu-satunya kepemimpinan yang menjadi legenda rekornya masih dipegang oleh Sukarno, sang founding fathers.
Kondisi sama pada sepak bola tanah air. Belum ada tokoh sepakbola legendaris di negeri ini seperti Zidane (Prancis), Maradona (Argentina), atau Pele (Brazil). Ketiadaan tauladan itu menjadi awan tebal yang menutupi berbagai ahli dan keilmuan yang bisa kita serap secara alngsung. Semua referensi sosial dan sepakbola masih berkiblat ke barat semata, di mana dinamika sosial dan pendidikannya sama sekali berbeda dengan Indonesia.
Ketiadaan tokoh itu bukan yang utama. Tetapi saat legitimasi kepemimpinan tidak lagi dihargai, maka yang terjadi adalah degradasi koordinasi sistem dan sinergitas. Masih lekat dalam kepala kita berbagai masalah yang menimpa PSSI dengan sang komando Nurudin Halid, seorang mantan narapidana korupsi (yang menjadi penyakit sosial paling akut di negeri ini). Anehnya, “kotoran” korupsi itu tidak mengurangi taring dan kuku tajam Nurudin mencengkeram PSSI. Kepemimpinan diukur hanya berdasar jabatan, bukan nilai-nilai kepemimpinan yang terintegrasi secara keseluruhan pada sosok yang namanya pemimpin.
Kita melihat modal sosial kepemimpinan, ketokohan, karakter yang menyatu pada personal, sinergitas, kepercayaan, transparasi, demokrasi, berangkat dari nilai-nilai yang baik, bertukar kebaikan dan berbagai sifat dan motif sosial yang dibangun selalu berdampak positif. Modal sosial itu adalah investasi yang utuh untuk kolaborasi asa masing-masing kita secara bersama mengejar cita-cita.
Pentingnya modal sosial itu sepertinya diabaikan oleh PSSI. Wacana membentuk liga tandingan muncul sebagai ekspresi kekecewaan. Bukan dialog, PSSI justru mengancam dengan berbagai intimidasi konsekwensi atas tindakan ekspresif mereka yang kritis. Adigium sepakbola yang sportif justru dilanggar oleh PSSI, bahwa setiap kita mempunyai ruang untuk bersaing, bukan saling menjatuhkan. Seharusnya dialog adalah jalan rekonsiliasi atas konflik-konflik yang mendera tubuh kita.
Tapi, inilah wajah sepakbola kita. Kita rindu perubahan atas semua elemen dan institusi sosial yang menguatkan timnas. Tidak hanya PSSI, suporterpun sedang rindu melakukan perubahan itu atas dirinya.
Gambar-gambar di atas diambil dari sini, sini, sini, sini, sini dan sini.
nunur says
Nurdin Jaanncccxxxxxxxxkkkkkkkkk..
nurdin m pop says
hi nunur kamu pasti bonek ya ki ki
Arivandro says
Pantes klo Nurdin Halid sdh gagal gk punya malu. wong org itu alumni H…..
ari says
ayo dukung LPI waaeeeee
fadli says
turnu gangu prestasi timnas ja dasar tukang nyusahin indonesia turn ja u