Realitas kehidupan telah banyak mempertontonkan banyak ketegangan. Ketegangan-ketegangan tersebut bisa muncul dari berbagai sumber. Dari pemimpin kita, misalnya. Baik pemimpin politik atau pemimpin agama. Ironis memang, mereka yang seharusnya menjadi peneduh masyarakat malah menciptakan gaduh untuk umat.
Di tengah fluktuatifnya suasana politik antara KMP dan KIH, seretnya ekonomi nasional, festival injak-injak Amaryllis, hingga fenomena superioritas PS TNI di Piala Sudirman, ada saja oknum yang mencoba mengambil keuntungan pribadi. Coba tengok ke kasus yang tengah dihadapi oleh Freeport. Ada oknum yang mencoba mengambil keuntungan dengan cara menjadi “makelar” untuk perpanjangan kontrak. Namanya makelar, tentu kerjanya adalah memuluskan apa yang diinginkan sang customer. Tak peduli menggunakan cara apapun, yang paling penting mendapatkan keuntungan. Menarik dan mencengangkannya, kabarnya, oknum yang menjadi makelar tersebut adalah salah satu orang kuat di negeri ini.
Freeport adalah sebuah perusahaan raksasa asal Amerika yang konon
menurut Mpu Ranubayatelah mengeruk keuntungan selama lebih dari 40 tahun. Parahnya lagi, Freeport juga tidak memberikan keuntungan yang cukup signifikan bagi pembangunan Papua dan Nasional. Padahal, menurut Menteri Koordinator Maritim, Rizal Ramli, “Freeport memiliki cadangan devisa 16 juta Kg emas. Sedangkan, Indonesia hanya punya 100 ribu Kg emas sebagai cadangan devisa. Bayangkan setengahnya saja dimasukkan dalam cadangan devisa BI, rupiah akan menguat berapa?”
Meski tak paham betul bidang ekonomi. Orang awam juga bakalan melek ombo ketika mendengar emas sebanyak 16 juta Kg. Jangankan emas segitu banyaknya, melihat dapur ada stock makanan yang cukup untuk seminggu ke depan saja sujud syukur.
Di sisi lain, untuk dapat memperoleh upah layak para buruh harus berjuang mati-matian bahkan harus “angkat senjata” melawan polisi. Sebuah ironi memang, kekayaan alam yang seharusnya untuk masyarakat malah dipermainkan oleh elit politik. Maka, pantas jika masyarakat menjadi geram melihatnya.
Belum usai ketegangan yang dimunculkan elit politik, ndilalah, elit agama pengen ikutan eksis juga. Bab seperti ini mustahil dilepaskan dari sosok fenomenal pejuang khilafah sekaligus Ketua Front Pembela Islam (FPI), Al Mukarrom Sayyidina Wa Habibina Habib Rizieq Shihab. Karena mungkin sudah tidak ada kerjaan dan melihat masyarakat Indonesia sudah di track lurus, ia membuat sensasi dengan memplesetkan kata sampurasun menjadi campur racun.
Tak ayal, pernyataan pemimpin agama itu pun menyulut kemarahan banyak pihak. Angkatan Muda Siliwangi, misalnya. Mereka langsung melapor pada polisi dengan tuduhan Al Mukarrom Habib Rizieq telah melakukan penghinaan dan pelecehan terhadap Budaya Sunda. Setali tiga uang. Beberapa pihak pun tak mau kalah untuk memanfaatkan momen tersebut. Beberapa pemimpin macam Gubernur Jawa Barat, Bupati Purwakarta dan Walikota Bandung turut berpartisipasi aktif menyampaikan pendapatnya.
Nama Al Mukarrom Habib Rizieq memang masyhur dan fenomenal. Belum selesai permasalahan tersebut. Ia datang membawa sensasi baru, “Bupati Purwakarta (Dedy Mulyadi) telah menikah dengan Nyi Rori Kidul.” Siapa yang tidak kaget mendengar berita tersebut? Ini kan sama dengan berkata bahwa makan soto pakai kuah itu hukumnya haram. Untungnya, Pak Dedy Mulyadi orang yang cerdik dan dewasa. Beliaunya tidak marah, hanya menanggapi dengan pertanyaan “nikahnya di KUA mana?”.
Bapak Dedy Mulyadi seperti memahami betul bahwa tidak segala hal harus ditanggapi dengan serius. Mungkin Pak Dedy senantiasa mengingat Nabi Muhammad SAW yang juga sering kali memberikan candaan untuk menanggapi suatu hal. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat percakapan Nabi dengan seorang wanita paruh baya.
“Ya Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar aku dimasukkan ke dalam syurga”.
“Wahai Ummi Fulan, syurga tidak dimasuki oleh orang tua”.
Perempuan itu lalu menangis.
Rasulullah menjelaskan,
“Tidakkah kamu membaca firman Allah ini”
“Serta kami telah menciptakan istri-istri mereka dengan ciptaan istimewa, serta kami jadikan mereka senantiasa perawan (yang tidak pernah disentuh), yang tetap mencintai jodohnya, serta yang sebaya umurnya.”
Dari keteladanan tersebut, kita dapat belajar bahwa melihat berbagai realitas kehidupan tidak selalu harus dihadapi dengan tegang, terkadang kita perlu menjadikannya sebagai hiburan atau sekedar candaan. Tetapi, harus tetap mengambil nilai atau hikmah dari realitas tersebut. Misalnya, melalui peristiwa plesetan sampurasun, kita semakin peduli dengan Budaya Sunda. Mungkin saja, jika tidak ada letupan dari Al Mukarrom, kita tidak akan tau mengenai makna luhur budaya Sunda tersebut.
Leave a Reply