Pasca terpilihnya Jokowi sebagai pimpinan negeri, banyak hal baru juga turut bermunculan. Mulai dari gelegar falsafah “petruk dadi ratu”, hingga kemunculan dua umat baru berinisial followers dan juga haters. Pada kesempatan kali ini, mari kita urai secuil poin terakhir-tentang haters-atau yang lebih pantas-disebut-orang kurang kerjaan yang menginisialkan diri sebagai peneliti atau konsultan.
Fenomena terpilihnya Jokowi sebagai presiden ternyata berimbas pada kemunculan para peneliti kurang kerjaan dadakan. Saking kurang kerjaannya, mereka sampai menganalisis lekuk tubuh laki–laki tangguh nan tampan asal Solo yang satu ini. Termasuk tentang perbandingan dirinya dengan proklamator republik ini, Bung Karni. Ups, maaf salah ketik Bung Karno.
Menjelentrehkan Bung Karno tentu tidak dapat dipisahkan dari sosoknya yang tegap, gagah, berani, punya banyak istri, dan ahli retorika. Lantas bagaimana cara untuk membandingkan Jokowi yang kerempeng, kurus, kering kerontang, dan beristri cuma satu ini? (Kadang saya juga sangsi jikalau Bu Iriana didapatkan dengan cara logis). Inilah yang senantiasa Jokowi haters pakai sebagai landasan menyerang The Drenges General–dengan menjadikan Bung Karno sebagai perbandingan.
Sebagai anggota Pecinta Jokowi Garis Finish, sudah menjadi kewajiban saya untuk memuja Jokowi bak Zeus. Satu hal yang tidak pernah disadari oleh masyarakat adalah soal pidato Jokowi. Bagi saya, dalam kasus ini Jokowi layak disejajarkan dengan Bung Karno. Penyejajarannya bukan pada perbandingan orator kelas macan podium ataupun kucing podium. Lebih dari itu, keduanya adalah sosok yang selalu dinantikan oleh rakyat ketika pidato.
Bung Karno dinanti, Jokowi dipuji
Sosok Bung Karno sebagai oratur ulung memang sudah mendapatkan pengakuan di jagat bumi ini, bahkan para anasir–anasir asing saja mengakui begitu dahsyatnya pidato Bung Karno. Kita tentu ingat dengan peristiwa pidato Bung Karno sepulang dari Rusia. Sebelum pidato, Bung Karno sudah disambut oleh puluhan ribu rakyat Indonesia, mulai dari tukang sayur sampai penjual kasur bertumpah ruah menunggu setiap kata yang terucap dari pimpinan besar revolusi yang satu ini. Pastinya diantara kita juga pernah mendengar cerita orang tua yang mengatakan bahwa mereka tidak pernah lepas dari radio saat mendengar pidato dari Bung Karno. Terbukti, bahwa begitu dahsyatnya Bung Karno sehingga setiap kata yang terucap menjadi semangat baru perjuangan rakyat Indonesia.
Setali tiga uang, Jokowi pun adalah sosok yang dinanti setiap pidato. Meski secara intonasi berbeda dengan Bung Karno yang penuh semangat dan menggebu, Jokowi lebih menunjukkan karakteristik rakyat Indonesia hari ini dalam pidatonya. Ya. Rakyat Indonesia yang sedang tidak butuh orator handal. Mengapa? Karena Indonesia tidak sedang berhadapan dengan senapan. Rakyat juga tidak butuh pidato yang terlalu formal macam Pak Beye. Why? Karena rakyat tidak sedang berada di arena Konferensi Pebebe (PBB).
Lantas?
Ditengah maraknya kemunculan komika (stand up comedian) di berbagai daerah, hal tersebut berbanding lurus dengan gaya pidato Jokowi. Pidato Jokowi selalu dinantikan dengan joke–joke cerdasnya yang menghibur. Masyarakat yang sudah lelah dengan segala tuntutan hidup dan permasalahan rumit butuh hiburan, dan itu mereka dapatkan dari pidato Jokowi. Jokowi tau betul bagaimana memberikan aura positif bagi masyarakat. Tak hanya untuk masyarakat. Pada pidato KAA saat konferensi OKI, ia mengeluarkan sebuah kalimat nyeleneh dengan mengutuk Israel menjadi batu. Sudah barang tentu para peserta memberikan berbagai respon, ada yang heran, ada yang salut, dan banyak pula yang tertawa pecah.
Presiden Harus Cinta Bahasa Indonesia
Penggunaan bahasa sangatlah esensial dalam kehidupan bernegara. Selain sebagai sarana komunikasi, bahasa juga menjadi sarana SSI (spik–spik iblis) bagi penikmat beetalk di negeri ini. Secara hukum penggunaan Bahasa Indonesia diatur oleh Pasal 1 ayat (2) UU No.24 Tahun 2009. Bahwasanya :
“Bahasa negara kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka, sangatlah jelas dalam hal penggunaan bahasa maka seluruh warga Negara, baik Indonesia maupun asing wajib menggunakan bahasa Indonesia di dalam wilayah Negara Indonesia, tanpa terkecuali. Bahkan, dalam pidato resmi Bahasa Indonesia wajib digunakan Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri”
Undang–Undang ini seringkali dilupakan oleh pemimpin di republik ini, karena setahu saya para pemimpin kita hanya ingat dua hal soal Undang – Undang, yakni lagu Surat Undangan dan Undangan Rapat Paripurna. Karena itulah beberapa presiden sebelum Jokowi lebih merasa bangga dan keren menggunakan bahasa Inggris saat pidato.
Beberapa kali Jokowi menggunakan bahasa Inggris yang menurut saya nggak banget karena pronouncation Jokowi penuh cengkok ala langgam Jawa. Akan tetapi, Jokowi lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia saat pidato, bahkan di forum–forum internasional. Hal itu selaras dengan apa yang dilakukan Soekarno yang lebih setia menggunakan bahasa Indonesia walaupun terkadang sedikit menyelipkan bahasa Belanda di beberapa pidatonya. Kita tahu sendiri jika presiden yang satu ini selalu tampil menawan didepan siapapun, termasuk Marylin Monroe.
Bahasa adalah senjata paling ampuh dari semua orator di dunia, tidak terkecuali Soekarno. Begitulah kiranya bahasa Indonesia yang ingin dijadikan ciri khas oleh Bung Karno. Kita patut bersyukur karena Jokowi pun melakukan hal yang sama. Mengedepankan misi penggunaan dan kebanggan akan bahasa Indonesia-bahasa pemersatu bangsa.