Seperti biasa, aku berdoa “habis-habisan” ketika pesawat yang aku tumpangi “take off” atau “landing”. Terus terang saja, selain do’a yang aku panjatkan agar aku lulus ujian skripsi dengan nilai A, atau do’a agar aku lolos menghadapi tes CPNS, do’a ketika naik pesawat ini adalah salah satu do’a yang paling “serius” yang aku panjatkan.
Ketika sedang berdo’a, biasanya aku memegang koran atau “pamphlet” yang ada di kantong kursi pesawat sehingga orang di sampingku melihatku tidak sedang berdo’a, melainkan sedang “komat-kamit” karena membaca sesuatu. Ini aku lakukan agar tidak terlihat seperti orang yang baru pertama kali naik pesawat.
Aku lihat ke luar jendela, tidak lagi dapat kulihat daratan Jakarta dengan gedung-gedung tingginya yang biasanya terlihat semakin mengecil seiring semakin tingginya pesawat. Kendaraan yang merayap menyusuri jalanan dan sungai yang berkelok juga takdapat kulihat dari jendela pesawat ini. Hanya gumpalan awan yang semakin lama semakin pekat yang dapat kulihat.
Aku berharap dalam hati, “semoga mendung itu akan menyingkir dan berganti dengan sinar matahari yang cerah”.
Ternyata, semakin lama awan itu semakin tebal dan gelap seakan terus mengejar seperti kepala raksasa yang siap menerkam burung besi ini. Aku mencoba menenangkan diri dengan membaca koran. Kutengok penumpang di sampingku dan penumpang lain yang berada di deretan bangku yang sama denganku, kuperhatikan mereka tenang-tenang saja. Situasi di sekelilingku ini sedikit membantuku menghilangkan kegelisahan yang kualami.
“Kalau orang-orang di pesawat ini merasa aman, kenapa aku tidak.” gumamku dalam hati.
Kurang dari sepuluh menit pesawat lepas landas meninggalkan bandara Soekarno-Hatta, pilot mengumumankan agar seluruh penumpang memakai kembali “seat belt” yang baru saja terlepas dari perut para penumpang.
“Semoga ini hanya turbulensi kecil seperti biasa”, harapku dalam hati.
Benar, aku hanya merasakan goyangan kecil yang terjadi dalam beberapa detik saja. Akan tetapi, lampu “sign” warna merah bergambar “seat belt” yang tersambung di atas kepala penumpang itu tetap menyala, itu tandanya penumpang belum diizinkan melepas sabuk pengaman.
Beberapa detik kemudian, pesawat sedikit bergoyang seperti mobil yang sedang melewati jalan makadam yang berbatu. Aku mulai berdo’a kembali, mulutku “komat-kamit” membaca surat “al-fatehah”, “Kulhu”, dan “sholawat Nabi” secara bergantian sembari berpura-pura membaca koran. Aku sendiri takmengerti kenapa kali ini aku merasa takut sekali naik pesawat. Mungkin karena kondisi di luar pesawat yang penuh dengan awan hitam itu.
Sesekali aku mencoba mencari celah untuk melihat daratan yang biasanya terlihat jelas dari pesawat jurusan Jakarta-Yogyakarta. Namun, mataku takbisa menangkap daratan itu, malah situasi itu semakin menambah pikiran dan hatiku was-was.
Turbulensi itu ternyata belum berhenti, bahkan pesawat tiba-tiba terhempas ke bawah seperti jatuh begitu saja. Begitu kerasnya hempasan itu hingga membuat gelas air mineral yang aku taruh di meja lipat jatuh ke bawah. Kutengok ke sebelah, wajah penumpang yang sejak tadi kelihatan begitu tenang kini mulai gelisah. Akupun demikian, aku kembali berdo’a, koran yang tadi tadi berada di genggamanku sebagai pengalih perhatian agar orang tidak melihat kalau aku sedang berdo’a, kini terlepas entah ke mana.
Tiba-tiba, bayangan pesawat Garuda yang terpaksa mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo beberapa tahun lalu dan Pesawat Adam Air yang hilang takberbekas di laut Mamuju Sulawesi melintas cepat dalam pikiranku. Bukankah kedua pesawat itu menjadi korban keganasan awan Cb. Awan Cb atau “Cumulonimbus” sangat berbahaya dalam dunia penerbangan, karena awan ini mempunyai kemampuan yang dahsyat untuk menghampaskan pesawat jenis apapun hingga hilang kendali atau mesinnya mati. Awan itulah yang sekarang kusaksikan sedang mengelilingi dan bahkan menghadang dengan garang pesawat yang aku tumpangi ini.
Tanpa kusadari, kuangkat tangan dan kututup mukaku dengan kedua telapak tanganku sembari berdo’a. Perasaanku benar-benar kalut, kurasakan pesawat berusaha naik ke ketinggian semula setelah terhempas. Akan tetapi aku merasakan sepertinya pesawat ini kekurangan tenaga. Dan, tiba-tiba pesawat terhampas kembali, lebih keras dari yang pertama. Setelah itu, lampu di dalam pesawat menjadi “hidup-mati” beberapa kali.
Teriakan “Allahuakbar”, “Ya Allah”, tiba-tiba saja terdengar bersaut-sautan, sementara suara pilot pesawat sayup-sayup terdengar menghimbau agar para penumpang untuk tetap tenang, karena ini adalah kejadian biasa di tengah cuaca yang tidak bersahabat. Masih kudengar pilot berbicara kalau sebentar lagi kondisi cuaca di depan sedikit lebih baik.
Himbauan pilot dan kru pesawat tidak begitu saja dapat menenangkan situasi yang gaduh itu. Kulihat suara perempuan dan bayi menangis membuat suasana di dalam pesawat semakin mencekam dan miris. Aku pun sempat mengerutu “Kondisi seperti ini jelas tidak biasa, pesawat terhempas dua kali kok hal biasa”.
Di dalam kegelisahan yang luar biasa itu, dalam beberapa saat aku seperti takmendengar apa-apa, aku hanya merasa bahwa ini adalah akhir dari segalanya. Terbayang dalam benakku besok namaku akan muncul di koran maupun telivisi menjadi salah satu korban pesawat jatuh.
Kegaduhan, tangisan, dan suara takbir membuatku tersadar dari ketidaksadaranku. Aku seperti kehilangan tenaga dan lemas saat masker oksigen secara otomatis jatuh menggelantung di hadapanku. Beruntung, setelah aku sempat memakainya dengan susah payah karena ini pengalaman pertamaku memakai masker oksigen yang selama ini hanya kulihat gambarnya di lembar pengumuman atau video panduan penyelamatan pesawat.
Syukur, goyangan akibat turbulensi itu semakin lama semakin mengecil. Namun, pilot tetap menyuruh kami untuk memakai masker oksigen yang menggelantung di hadapan penumpang agar para penumpang dapat kembali benafas dengan lancar setelah mengalami kepanikan yang cukup dahsyat.
Sebagian penumpang masih tetap berdo’a dan meyebut nama Allah maupun takbir. Begitu pula diriku, aku masih komat-kamit membaca “Ayat Kursy”, “al-fatehah”, “kulhu” dan “sholawat Nabi”. Entah sudah berapa kali aku melafalkan ayat-ayat dan sholawatan itu.
Aku benar-benar masih takpercaya akan apa yang aku alami barusan adalah kejadian nyata. Selama ini aku hanya menyaksikan situasi seperti itu dalam film Hollywood.
Situasi di dalam pesawat berubah menjadi lebih sepi, meski masih saja terdengar orang melafalkan asma Allah dan Takbir dengan nada yang pelan. Suara do’a yang terdengar seperti berbisik sesekali terdengar. Aku pun begitu, aku masih melanjutkan membaca surat-surat pendek itu dengan pelan dengan bibir, tangan dan kagi yang masih gemetar.
Pilot baru saja mengumukan bahwa sepuluh menit lagi pesawat akan mendarat di bandara Adisucipto Yogya. Kucoba melihat ke luar jendela, mendung masih menutupi pandanganku, liukan pantai selatan yang indah dengan gulungan ombaknya yang putih tidak tampak sama sekali.
Liukan pantai dan debur ombak itu biasanya selalu setia mengucapkan selamat datang pada penumpang pesawat yang duduk di sisi kanan dari arah Jakarta. Aku sendiri paling suka menikmati keindahan pantai selatan dari atas pesawat. Makanya, “window seat” di sebelah kanan pesawat selalu menjadi favoritku ketika pulang dari Jakarta.
Aku belum merasa benar-benar aman dan selamat sebelum roda pesawat ini menyentuh landasan dan berhenti. Kurasakan pesawat mulai menurun dari ketinggian. Suara mesin mulai kembali terasa berat, meraung lebih keras pertanda kekuatan mesin kembali dikerahkan secara penuh oleh sang pilot untuk keperluan landing.
Alhamdulillah, akhirnya pesawat Boeing 737-200 yang dioperasikan oleh maskapai “Batak Bakpia” itu mendarat dengan selamat. Aku pun tersenyum dapat menginjakkan kaki kembali di bumi Mataram ini. Kulihat sebagian penumpang langsung sujut syukur mencium aspal Adisucipto yang masih basah. Sedangkan aku hanya mendongak sembari menghirup udara segar Yogya dalam-dalam seraya berkata dalam hati “Terimakasih ya Allah, Kau telah mendengar do’a kami”. Amien!
Sebelum melangkah ke arah terminal kedatangan, aku sempat menoleh ke arah pesawat itu, kulihat sebagian cat dan tulisan logo maskapai itu terkelupas, mungkin itu akibat dahsyatnya turbulensi tadi.
Dalam perjalanan pulang di dalam taksi, aku teringat kata-kata temanku. Dia tidak pernah takut untuk naik pesawat, apapun maskapainya, murah atau mahal harga ticketnya.
Dia pernah berujar kepadaku, “Yang namanya mati itu, datangnya tidak harus menunggu kita saat naik pesawat bro, orang yang sedang tidur, makan, bahkan orang yang sedang bercinta pun tiba-tiba bisa mati”.
Aku berfikir, ada benarnya juga perkataan temanku itu. Tapi, bagaimana aku tidak takut mati muda kalau maskapai yang aku tumpangi itu mempunyai “track record” amburadul, alias mengalami kecelakaan tiga kali dalam sebulan?!
Yogyakarta, February 2009.
Leave a Reply