Hingar-bingar pemerkosaan realitas sosial oleh para intelektual terus membanjiri lini masa. Keterikatan mereka pada unsur-unsur politis membuat masyarakat ditempatkan secara subjektif yang digambarkan sesuai dengan keinginan otoritas dan pemegang kekuasaan. Praktik keterlibatan aktor intelektual hingga hari ini masih langgeng dan tanpa henti. Umumnya, para akademisi ini bekerja sama dengan kelas borjuasi yang menghendaki keuntungan suatu proyek pembangunan tanpa memikirkan kehidupan masyarakat sekitar.
Mereka yang sadar dan dibekali dengan keahlian untuk mengartikulasikan suatu kebenaran telah mengkhianati realitas sosial. Mereka-mereka ini seperti lupa luhurnya makna Tri Dharma Perguruan Tinggi. Meminjam pernyataan Julien Benda dalam bukunya La Trahison des Clerecs, “Mereka para intelektual ini terus mengabaikan panggilan dan mengkompromikan prinsip-prinsip mereka sebagai intelektual murni kepada kekuatan-kekuatan atau otoritas tertinggi. Memikat mereka dengan berbagai materi yang bisa dicapai dengan mudah.” Dan di posisi yang samar, mereka yang mengkhianati perannya dalam masyarakat disebut dengan Pengkhianat Intelektual.
Tulisan ini tidak lain adalah hasil kegelisahan pribadi penulis terhadap realita di kalangan para akademisi. Tidak ada niatan untuk menggurui atau bersok-ria. Bermodalkan buku sederhana dari Edward Said, sebagai seorang penulis amatir, penulis ingin menyoroti peristiwa tersebut dari kacamata bagaimana seharusnya intelektual berperan dan berposisi dalam memproduksi pengetahuan.
Independensi dan Produksi Pengetahuan Manusiawi
Edward Said mengatakan bahwa intelektual merupakan individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan, mengekspresikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi, dan pendapatnya kepada publik. Peran intelektual bukan hanya sekedar mengartikulasikan seperti para pendongeng yang menceritakan suatu kebenaran. Melainkan, lebih menekankan prinsip bahwa semua manusia berhak mendapatkan standar perilaku yang layak sesuai kaidah kebebasan dan keadilan.
Fungsi intelektual sebagai alat produksi pengetahuan harus didasari oleh prinsip-prinsip tersebut. Suara dari mereka nantinya akan mencetak pengetahuan dan menghadirkan suatu kebenaran manusiawi. Mereka memihak masyarakat (yang tertindas), meskipun terikat pada suatu garis tradisi dan bangsa. Noah Chomsky adalah salah satu contoh intelektual yang mengkritik habis-habisan kebijakan luar negeri Amerika Serikat sebagai negara imperium besar dengan manipulasi politik luar negerinya.
Selanjutnya, para intelektual memunculkan sikap kritis mereka secara independen-tidak gampang dikooptasi oleh pemerintah, penguasa, atau korporasi. Mereka harus berani berkata “ini yang benar dan ini yang salah” kepada publik atau bahkan kepada otoritas pemegang kekuasaan. Bukan sebaliknya, menjadi boneka yang dikendalikan penguasa guna mempertahankan status quo.
Jika orang-orang termaksud diatas terlibat dalam produksi pengetahuan atau penelitian, maka sudah seyogyanya mereka menempatkan diri di posisi independen. Tentunya dengan menjadikan sisi humanisme sebagai pijakan dalam diri dan penelitiannya. Melihat secara teliti dan menimbang secara penuh dampak yang ditimbulkan kepada masyarakat. Bukan malah tunduk dan mengeluarkan pengetahuan “semu”.
Gramsci pernah mengatakan bahwa intelektual organik adalah pencipta pengetahuan atau keahlian untuk memperluas kontrol dari kekuasaan. Seperti pada sistem kapitalis, intelektual terlahir sebagai ahli untuk memperlebar kekuasaannya. Hal ini yang terjadi di Indonesia, intelektual selalu tunduk pada kekuasaan-namun skeptis ketika menyuarakan kebenaran. Ironisnya, tragedi kemudian bermunculan. Kegaduhan dimana-mana, mulai dari kritik tanpa mendasar hingga sinisme yang merajalela.
Lalu, siapa yang menjadi pihak paling dirugikan? Benar. Masyarakat.
Buah Keteguhan Intelektual
Keteguhan akan sifat independensi intelektual tak lepas dari pengasingan menjadi kaum ekspatriat (termarjinalkan). Alih-alih mendapatkan sebuah prestasi, mereka yang tidak mudah terkooptasi malahan mendapatkan sanksi, baik secara fisik maupun psikis. Namun, saya pribadi meragukan hal ini, terlalu sulit menemui kebebasan bersuara yang dijadika pilar utama dalam hasil produksi pengetahuan.
Said melanjtkan bahwa ancaman atau sanksi dengan intelektual yang kritis merupakan hubungan yang tak terpisahkan. Contoh paling nyata dari nasib “mereka yang teguh” dapat dilihat pada Orde Baru atau Orde Lama. Mereka yang berpegang pada sifat kritis dihadiahi sanksi berupa pengasingan atau bahkan kematian. Said mencontohkan dirinya sendiri, ia menyuarakan dan memperjuangkan Hak-Hak Palestina. Bukannya sokongan atau dorongan, ia dihadapkan dengan serangkaian ancaman, teror hingga dilabeli sebagai anti-barat oleh berbagai pihak (termasuk media).
Jika dibandingkan dengan para intelektual yang menghamba pada kekuasaan, para intelektual yang tetap menyuarakan nilai kritis telah membuktikan bahwa mereka meskipun terasing tapi tetap bebas bersuara. Said sendiri menyuarakan pengasingan intelektual yang tak selamanya menyengsarakan. “Pengasingan bukan sesuatu yang dianggap menyengsarakan, keterasingan dalam diri akan menumbuhkan suatu kebebasan dan menghasilkan sesuatu yang hebat”. Penggalan kalimat tersebut seolah menekankan bahwa dimanapun dan dalam kondisi apapun sebenarnya kita masih bisa memproduksi pengetahuan.
Sebenarnya, banyak hal menarik ketika membedah pemikiran Edward Said. Pada pembahasan intelektual organik, Said membatasi antara profesionalisme yang mengekang kebebasan intelektual dengan amatirisme sebagai jalan keluar untuk bebas aktif menyuarakan kebenaran pada kekuasaan. Terbatasnya kebebasan intelektual oleh nilai-nilai tradisional dan bangsa sebagai identitas nasional juga dibedah dalam buku ini. Tak hanya itu, intelektual universal yang kaya akan ide-ide kebebasan intelektual juga diperinci oleh Said. Sampai pada akhirnya ia mengambil salah satu rekannya sebagai contoh sosok dewa yang selalu gagal dalam menyuarakan kebenaran kepada kekuasaan.
Sumber bacaan: Edward W. Said, Peran intelektual, Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2014.
Sumber gambar: http://www.entitashukum.com/wp-content/uploads/2014/11/Dosen-Undip-Akan-Jalani-Sidang-Terkait-Dugaan-Korupsi-Proyek-GOR-Kridanggo.jpg
*Penulis: Hafied Fasholi