Mencari formasi pendidikan nasional di negara besar multi dimensi dengan sebaran pulau dan berbagai ketimpangan ini memang tidak mudah, lebih-lebih jika dikaitkan dengan penyelenggaraan Unas yang kontroversi sejak dimunculkannya pada 2002. Tidak hanya terkait perdebatan substansi pendidikan yang kemudian ‘dieksekusi’ secara kejam oleh Unas yang dianggap tidak manusiawi dan kontradiktif dengan epistimologis pendidikan, pada prakteknya Unas juga menggerus berbagai nilai dan etos pendidikan yang harusnya kita jaga terus menerus, khususnya terkait moril atau sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik).
Yang paling baru, PGRI Relakan Guru Curang, pada judul berita halaman belakang Jawapos hari ini (15/4) membuka kembali ruang tajam kontroversi itu. Alasan yang disampaikan Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Besar (PB) PGRI Abduhzen adalah jika Unas objektif, yang lulus hanya kisaran 40-50 persen saja.
Tentu saja ini bertentangan dengan himbauan spirit kejujuran dan sportivitas yang disampaikan oleh Mendiknas Mohamad Nuh. Bahkan dalam berbagai pemberitaan terakhir menteri pendidikan tersebut mengancam akan langsung menghapus nilai Unas siswa saat diketahui curang.
Sebenarnya tidak ada masalah jika Unas benar-benar dijalankan secara objektif, sebagaimana kengototan M. Nuh. Konsekuensi yang harus kita sadari adalah dampak psikis yang mungkin muncul pada model pendidikan positivistik ini pada ekses polarisasi yang luas tentang identitas-identitas baru: siswa bodoh dan pintar karena lulus Unas, lebih-lebih jika angka kelulusan hanya berkisar 50 persen sebagaimana hasil penelitian Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Besar (PB) PGRI (sekali lagi dalam pandangan postivistik yang mengedepankan kompetisi sebagai ruh percepatan kemajuan).
Tetapi di lapangan persoalan tidak sesederhana itu. Berbagai proses diluar pendidikan justru semakin kuat ‘bermain’ menghancurkan substansi epistimologis sistem pendidikan nasional, seperti dalam judul berita Jawa Pos tersebut Abduhzen menerangkan mengapa PGRI relakan guru berbuat curang pada pelaksanaan Unas, yakni menjaga kepentingan masing-masing pegawai negara (guru, kepala dinas, kepala daerah, bahkan bisa jadi mendiknas sendiri) pada posisi aman dari mutasi. Lebih jelasnya pembaca bisa lihat tabel gambar.
Indikasi ini menguatkan model kerja profesionalitas yang dibangun para pegawai di negeri ini yang absurd keberpihakannya, kecuali pada kepentingan diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka merasa tidak lebih hanya pegawai negara yang gugur kewajibannya dengan mengerjakan rutinitas sebagai guru atau pejabat yang baik dan manis. Selanjutnya kepentingan pengamanan posisi masing-masing yang jauh dari kepentingan edukasi justru membolehkan mereka melanggar berbagai sistem nasional dari negara yang mereka abdikan. Suara kepentingan itu terakumulasi sebagaimana yang disampaikan oleh PGRI.
Yang memprihatinkan adalah bergulirnya Unas ini justru membuka ruang kecurangan semakin terbuka, karena didukung oleh asosiasi guru yang harusnya bertabiat mulia, sebagaimana esensi pendidikan yang ditanamkan kepada siswa. Penulis sebut memprihatinkan karena situasi emosional terkait sikap (afektif) itu justru dihancurkan oleh institusi dalam struktur yang membangun sistem pendidikan nasional.
Dalam suasana indikasi yang kontraproduktif atas berbagai kecurangan Unas selama ini, berbagai elemen yang tersusun dalam rangkaian gerbong pendidikan justru bersikap mendukung penghancuran itu. Terlepas dari kontroversi Unas yang berkepanjangan, perlahan gerbong pendidikan mulai berserak melepaskan diri dari ikatan kepala sistem yang menaunginya. Parahnya, denyut nadi pendidikan pada sikap (afektif) ini yang lagi-lagi terus mendapatkan tekanan dari ekses panjang kontroversi Unas.
Sejujurnya penulis bukan pengamat pendidikan yang baik. Retorika, dinamika, dan berbagai situasi pendidikan terkini sering lewat sekedar dibaca sebagai kedahagaan penulis akan informasi yang setiap hari disuguhkan oleh banyak media yang “merdeka” saat ini. Akan tetapi sebagai mahasiswa baik yang tidak hanya duduk manis merengkuh satu persatu perkuliahan setiap hari, judul berita PGRI Relakan Guru Curang Jawapos hari ini (15/04) membuka kerutan dahi kian dalam, mengapa situasi institusi pendidikan bernama sekolah ini kian absurd visi? Sayangnya banyak wadah pendidikan di luar sekolah masih kurang menarik hati masyarakat, sekaligus apresiasi pemerintah dan konstruksi sistem sosial yang melemahkan psosisi berbagai pendidikan alternatif itu sendiri. Padahal mereka lebih kaya substansi karena jauh dari kepentingan-kepentingan yang tidak penting untuk pendidikan.
Leave a Reply