Judul: Sejarah Wahabi & Salafi (Mengerti Jejak Lahir dan Kebangkitannya di Era Kita)
Penulis: Khaled Abou El Fadl
Penerbit: Serambi
Terbitan: Pertama, Februari 2015
Tebal: 142 halaman
ISBN: 978-602-290-019-1
Seruan pendirian negara berbasis agama bukanlah barang baru. Kemunculannya dilatarbelakangi berbagai hal seperti kekecewaan terhadap cara berpikir sebuah peradaban yang sedang berlangsung, perebutan kekuasaan oleh berbagi faksi, pencarian alternatif baru atas sistem yang sudah dianggap kaku, dan reaksi keras atas modernitas. Namun, dan sayangnya, agama selalu dianggap entitas yang final untuk dijadikan “obat generik” atas segala macam sakitnya peradaban.
Modernitas tidak hanya menawarkan solusi atas persoalan dunia, tapi juga efek samping yang akut yang muncul setelahnya. Buku ini menggambarkan secara jelas dari mana asal-usul cara berpikir tekstualis, seruan pendirian negara Islam oleh Wahabi, dan tuduhan kafir terhadap kelompok di luarnya, muncul sebagai reaksi yang beroposisi dengan modernitas. Ya, daripada kelelahan mencari argumen kokoh modernitas, mending memang bermalas-malasan dan kembali ke pojokan. Itulah yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab dalam melihat fenomena terkini kehidupan beragama yang dikaitkan dengan cepatnya perubahan cara berpikir.
Tuduhan sesat, bid’ah, tidak sesuai aqidah Islam, dan tuduhan lainnya muncul sedemikian rupa dan semakin menemukan tumpuannya saat Ibnu Saud menjadikan Wahabisme sebagai dasar kerajaan Arab Saudi. Khaled Abou El Fadl dalam buku mengkategorikan Wahabisme, dan juga Salafisme-Lanjut, sebagai aliran tekstualis yang memahami teks agama tanpa melihat ghirah kontekstualitas teks tersebut. Saya sebut Salafisme-Lanjut karena Salafisme model awal sebelum 1970 dengan model selanjutnya berbeda cara pandang melihat pandangan orang lain. Generasi awal Salafisme terbilang terbuka terhadap yang lain, sedangkan Salafisme-Lanjut sebaliknya.
Dua kelompok tekstualis ini punya pengalaman sendiri-sendiri dalam pergulatan politik pengetahuan yang mereka bawa. Berbeda dengan Salafisme yang memiliki kecenderungan nyaris tidak pernah menang, Wahabisme mampu berdiri kokoh sebagai dasar kerajaan Arab Saudi setelah didukung secara penuh oleh Ibnu Saud yang berkongsi kuat dengan Inggris. Kalau ingat Gertrude Bell atau film Queen of The Desert, kita bisa melihat bagaimana Inggris dan Bell berjasa besar dalam pendirian Arab Saudi, negara-negara dalam “kendali” Inggris, dan penetuan batas kekuasaan penguasa lokal di Semenanjung Arab. Jadi, baik film tersebut di atas dan buku ini, bisa menjadi dua titik jembatan untuk melihat asal-muasal konflik Timur Tengah. Jika film Queen of The Desert memperlihatkan secara implisit campur tangan luar dalam membangun kerjaan Arab Saudi, buku ini memperlihatkan faktor internal bagaimana ideologi “tertutup” dan tekstualis bisa menjadi pegangan kehidupan berkelompok.
Pengesahan atas Kekerasan
Khaled Abou El Fadl seperti sedang menelanjangi Wahabisme dan motif di balik munculnya sebagai ideologi kerajaan. Tanpa mengesampingkan diksi yang dipakai, membaca buku ini ibarat menceburkan diri dalam jagad tak kira antara pengetahuan dan provokasi karena Khaled menggunakan kata-kata yang emosional dalam menggambarkan rekayasa pengembangan Wahabisme. Namun, yang perlu diperhatikan secara jernih adalah pembacaan Khaled atas banyak teks hasil penelitian tentang Wahabisme. Dengan begitu, kebenaran informasinya cukup legitimated meski tak seharusnya pembaca melontarkan pilihan kata yang sama dengan yang dipakai Khaled pada orang Wahabi.
Selain menggambarkan pendiri Wahabi sebagai orang yang tak disukai ayah dan saudaranya sendiri karena sikap keagamaannya, beberapa catatan yang Khaled ambil menunjukkan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah orang yang cukup berpengetahuan untuk memaparkan ajaran agama, apalagi menyebarkan pada orang lain. Memang bukan rahasia umum bagaimana Abdul Wahhab tidak berhati-hati dalam memberi label pada orang lain yang tak sepaham dengan dirinya, bahkan banyak ahli mengatakan bahwa ia sama sekali tidak paham Ibnu Taymiyah yang ia rujuk dalam buku-buku yang ditulisnya.
Alamat, pembacaan atas teks yang tak lengkap menemukan kecocokannya dengan cara tekstualitas yang Abdul Wahhab pakai untuk memahami. Pandangan ini mempersempit sesempit-sempitnya jendela pengetahuan agama dan menganggap yang lain keliru. Tafsir tekstualis yang menghasilkan kejumudan dan eksklusivitas ini, menurut Khaled, melahirkan varian tindakan kekerasan. Bahkan serangan-serangan teroris atas nama Islam di seluruh belahan dunia bisa dikembalikan pada akar tekstualitas ini. Memang dalam banyak hal, sebagaimana ditulis Khaled, tindakan Wahabis cenderung keras dan mereka banyak membunuhi orang-orang yang tak sepaham atau menentang mereka.
Perebutan kekuasaan antar klan dan suku di Jazirah Arab adalah sejarah lama. Hal ini diakui bukan hanya menjadi kesempatan bagi Inggris untuk mengatur kekuasaan mereka di sana, tapi juga peluang besar yang bisa Abdul Wahhab ambil untuk mencantolkan diri dengan suku tertentu yang dapat menerima dan sama berkepentingannya. Terbukti, Ibnu Saud menerima Abdul Wahhab, dan sebaliknya, untuk bersama-sama dalam satu misi yang dipaksakan sejalan. Ibarat Arab Saudi adalah ruangan, Ibnu Saud membangunnya dengan uang sokongan Inggris, dan Abdul Wahhab memberi aroma pada ruangan yang baru dibangun tersebut. Jika melihat konflik di Timur Tengah dewasa ini, yang sesungguhnya terjadi bukan konflik aliran keagamaan itu sendiri, melainkan perebutan sumberdaya oleh klan-klan sebagaimana dahulu kultur Badui yang masih melekat hingga saat ini.
Persebaran Paham Tekstualis
Tekstualitas bukan hanya perlu dibaca bagaimana teks itu dipahami, tapi juga sampai sejauh mana kemanusiaan dan akhlaqul karimah yang dibawa Nabi terpraktikkan. Tekstualitas tidak hanya melahirkan kekerasan, tapi sebelum itu bisa memunculkan sikap eksklusif yang tampak tak begitu berbahaya bagi hak-hak prinsipil manusia. Yang dipakai oleh Kerajaan Arab Saudi pun sebenarnya tak begitu tekstual, karena pada banyak tindakan mereka cenderung pragmatis, seperti menerima bantuan Inggris meski pada kenyataannya Abdul Wahhab mengharamkan kerjasama dengan non Muslim. Ambiguitas ini tak terbantah, namun yang jelas diabaikan begitu saja demi kepenting kekuasaan.
Semenjak harga minyak naik dan ekspor mereka cukup luas, otomatis dana yang mereka dapatkan juga meningkat pesat. Dari sinilah kemudian, menurut Khaled, Wahhabisme tidak hanya bertahan di Arab Saudi saja, tapi juga dibiayai dan disebarkan ke negara-negara lain demi kepentingan pengaruh mereka. Indonesia adalah salah satu negara di mana Wahhabisme dengan varian gerakannya menjadi target. Eksklusivitas yang mengarah pada radikalisme di Indonesia tumbuh subur sejak masuknya Wahhabisme ini.
Di akhir buku kecil ini Khaled menggambarkan perbedaan Wahhabisme dan Salafisme yang menurutnya punya kesamaan titik balik pada radikalisme sejak 1970-an, dimana pengaruh sosio-politik menjadi faktor yang signifikan dalam geraknya.