NU sebagai organisasi masa Islam, sampai sekarang masih menjadi bahasan yang menarik di dunia akademik. Banyak peneliti asing yang tertarik dengan NU, di antaranya Martin van Bruinessen, Greg Barton, Greg Fealy, Ben Anderson, Mitsuo Nakamura dan lain sebagainya. Mereka tertarik kultur NU dengan ketradisionalannya yang dianggap eksotik.
Berbeda dengan aliran Islam lainnya, NU sangat menghargai tradisi dan kebudayaan setempat. Para peneliti ini mengikuti penelitian Antropologis yang sebelumnya pernah dilakukan. Mereka adalah Clifford Gertz, Andrew Beautty, Mark R. Woodward, Robert Hefner dan antropolog lainya yang memfokuskan pada agama Jawa. Karya-karya yang dihasilkan oleh para peneliti ini hingga sekarang cukup populer dan selalu menjadi rujukan di dunia akademis baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Dalam konteks seperti ini, NU menjadi obyek penelitian. Para peneliti inilah yang memiliki otoritas untuk merepresentasikan NU, baik itu berupa sejarah, komunitas, perilaku, dan masa depan NU. Sebagai obyek penelitian, tentunya NU sama sekali tidak memiliki otoritas dalam merepresentasikan dirinya. Hasil-hasil penelitian beberapa peneliti ini, bukan tidak berdampak pada perkembangan Islam di Indonesia. Kita perlu menyadari bersama bahwa peneliti Barat bukan hanya sekedar meneliti atas nama pengetahuan belaka. Mereka datang untuk meneliti sekaligus membuat bangunan epistemologi gerakan Islam. Sehingga wajar jika gerakan Islam di Indonesia semakin bias kepentingan.
Nahdlatul Wathon Hingga Aswaja
Kelahiran NU (Nahdlatul Ulama’) diawali oleh suatu proses panjang. Bermula dari munculnya gerakan nasionalisme di Indonesia. Nasionalisme ini ditandai berdirinya Serikat Islam (SI sebelum bernama Serikat Dagang Islam: SDI). Berdirinya Serikat Dagang ini mengilhami sejumlah pemuda pesantren yang bermukim di Mekah untuk mendirikan cabang perhimpunan itu di sana.
Obsesi mereka masih terus berlanjut setelah menetap kembali ke daerah mereka masing-masing. Mereka mendirikan perhimpunan Nahdlatul Wathon (1914), Tashwirul Afkar (1918) dan perhimpunan koperasi Nahdlatul Tujjar (1918). Selain itu, di Surabaya didirikan pula perhimpunan lokal yang sejenis antara lain Perikatan Wathaniyah, Ta’mirul Masajid dan Itta’Dibiyah. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan (jam’iyah diniyah) secara resmi berdiri tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya.
Kini 82 tahun sudah NU berdiri. Keberadaanya masih senantiasa memiliki implikasi yang positif untuk pengembangan Islam di Indonesia. Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, keberadaan NU senantiasa diperhitungkan dalam berbagai hal. Sebagai ormas, NU memiliki kontribusi dan tanggung jawab yang cukup besar dalam menentukan hitam putihnya bangsa ini. Dalam perjalanan sejarah, NU memiliki andil besar dalam membangun bangsa Indonesia.
Pada dasarnya, prinsip umum ajaran sosial politik NU mengambil pola Sunni, yakni sikap tawassuth, tawazun, ta’adul, dan tasamuh serta al-qiyam bi al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Dengan prinsip ini NU selalu mengambil sikap akomodatif, toleran, dan menghindari sikap ekstrim ketika berhadapan dengan spektrum sosial politik mana pun. Prinsip-prinsip yang senantiasa dijaga keberadaannya dari generasi ke generasi. Inilah sisi moderat yang terus dikembangkan dan diperjuangkan oleh NU. Moderatisme ini menjadi angin segar bagi anak-anak muda NU untuk terus berfikir lebih progresif dalam berbagai bidang.
Keterjebakan Pemikiran
Arus globalisasi dan modernisme serta liberalisme akhir-akhir ini berkembang pesat di Indonesia. Bahkan pemikiran fundamentalisme Islam rupanya juga mulai merebak hampir di seluruh pelosok nusantara. Peristiwa hancurnya gedung WTC enam tahun silam membuat peta gerakan NU bergeser. Amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi agenda mendasar NU semakin ditinggalkan. Sementara isu untuk menjadi muslim moderat liberal atau menjadi fundamentalis ekstrimis gencar di kalangan anak muda NU. Binary opposition ini telah menjangkiti paradigma berfikir anak muda NU. Seolah NU tidak memiliki pola gerakan yang lepas dari gerakan mainstream yang sudah diagendakan Amerika. Hal inilah yang menyeret posisi agama menjadi lahan yang subur untuk dieksploitasi dan dikomodifikasikan. Bahkan yang paling mengerikan adalah jika terjadi konflik sesama penganut Islam.
Kita masih ingat peristiwa pemberontakan ’65. Pada saat pembersihan PKI, NU berada di garda paling depan. NU tidak sadar kalau sebenarnya posisinya dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Mereka memanfaatkan gerakan NU untuk kepentingan sesaat saja. Kita ketahui bersama bahwa gerakan 65 merupakan gerakan korporasi Amerika untuk menghabisi faham komunis berkembang di Indonesia. Pada saat itu, NU tidak melihat lebih jauh tentang setting di balik penumpasan gerakan ’65. Ketidaksadaran orang-orang NU membuat nilai-nilai kemanusiaannya hilang. Sehingga NU terjebak pada gerakan yang menjadi agenda besar Amerika di Indonesia.
Penyeragaman kesadaran, persepsi, dan imajinasi membuat NU senantiasa terjebak pada dua pilahan pilihan yang sudah disediakan. Dana-dana yang digulirkan oleh lembaga donor, terlebih dari Amerika membuat gerakan NU lepas dari substansinya. Anak-anak muda NU berjuang dan bergerak di LSM/NGO hanya mengikuti apa yang diinginkan oleh lembaga donor (hal. 408). Pada kenyataan ini, gerakan yang dibangun tidak lain hanya untuk meneguhkan tesis Samuel Hutington tentang ’Clash and Civilization’ semata.
Lembaga donor ini mendorong gerakan Islam cenderung untuk memilih menjadi muslim moderat, toleran, dan pluralis atau jika perlu, NU diharapkan memiliki andil dalam memerangi terorisme. NU benar-benar sudah mulai bergeser. Gerakan-gerakan yang menulis tentang penolakan hermeunetika, menolak liberalisme dan globalisasi ataupun mengungkap isu picik nasionalisme AS menjadi isu yang terlewatkan. Orang-orang NU lebih tertarik pada isu-isu yang menyangkut konflik-konflik internal (hal. 5-6).
Dalam pandangan penulis, hadirnya Islam fundamentalisme dan Islam liberal ataupun Islam moderen kalau ditelisik lebih jauh, akan sangat kelihatan kalau itu adalah paket orientalis. Kaum orientalis mengukuhkan bentuk baru tradisi keislaman yang menempatkan orang-orang Islam sebagai kuli di negeri sendiri (hal. 412). Adanya gerakan ini, tidak saja memberikan indikasi keberhasilan konstruksi orientalis dalam mengembangkan Islam menjadi moderen ataupun liberal, tetapi sekaligus menempatkan pada posisi ketidaksadaranya. Dimana kesadaran itu ditempakan tidak terpisah dari sejarah masa lalunya. Dengan demikian, mereka yakin bahwa dirinya tidak lepas dari asal usulnya (hal. 410). Padahal mereka juga tidak sadar kalau dirinya berada dalam himpitan hegemoni Amerika.
Prinsip Aswaja yang Dihilangkan
Terkait dengan keberadaan NU yang senantiasa diinterpretasikan dan ditulis oleh orang yang berada di luar NU, maka NU perlu untuk menulis ulang sejarahnya yang mulai dilupakan. Misalnya tentang sejarah Ahlussunah Wal Jama’ah, Fiqh Siyasah, HAM kultural dan Ushul Fiqh sebagai pencerahan pemikiran. Dengan meng-qiyas-kan gagasan dengan kitab-kitab kuning yang selama ini menjadi tradisi pesantren dengan permasalahan praksis kebangsaan, dan keindonesiaan serta kritik poskolonial, maka NU akan mampu menjawab tantangan zaman. Dengan memposisikan NU sebagai subyek yang mengerti dirinya sendiri, maka NU tidak akan menjadi buruh lagi di negeri sendiri. NU akan menjadi organ yang mandiri dan menjadi juragan atas dirinya sendiri.
Penulis buku belajar dari Edward Said yang bisa dikatakan “changing the subject”, dia berhasil menggeser posisi obyek menjadi subyek. Penulis mengubah posisi obyek yang direpresentasikan menjadi subyek yang merepresentasikan. Kalau Islam dipetakan menjadi dua pilihan biner maka hanya ada dua kemungkinan pula gerakan Islam. Pandangan orang-orang yang diuntungkan oleh liberalisme dan fundamentalisme tentunya berbeda dengan orang yang dirugikan. Liberalisme dan fundamentalisme ingin menunjukkan dirinya seragam. Dua paradigma gerakan ini ingin menampilkan keseragaman di hadapan orang-orang yang menghadapinya.
Fundamentalisme Islam misalnya, ia datang dengan misi memurnikan agama Allah. Sedangkan liberalisme muncul atas kegerahan adanya Islam puritan yang tidak menghargai kebudayaan lokal. Kedua frame gerakan ini rentan terhadap pertikaian dan konflik agama karena kedua frame gerakan ini jelas-jelas bertentangan. Untuk menghadapi problematika oposisi biner ini, NU harus tetap berada di jalan tengah (tawassuth). NU harus mampu mengeluarkan suara lain yang tidak memihak pada fundamentalisme dan tidak terjebak pada liberalisme.
Buku NU Studies ini muncul atas kegelisahan anak muda NU atas keterjebakan gerakan NU. Buku ini hadir untuk membongkar balik keterjebakan epistemologi gerakan progresif Islam. Mengikuti jejak pemikiran posmodern Michael Foucault dan Jaques Derrida serta tokoh-tokoh poskolonial seperti Edward W Said, Gayatri Spivak, Frantz Fanon, Homi K. Bhaba dan tokoh poskolonial yang lainya, penulis menggugat dan membongkar epistemologi gerakan NU, kemudian mencoba menuliskanya kembali.
Buku ini menawarkan NU Studies sebagai terobosan baru dalam pemikiran Islam di Indonesia. Dengan senantiasa membongkar dan mencari liminalitas (ruang antara), pemikiran NU bisa semakin berkembang dan mampu menjawab tantangan zaman. Liminalitas inilah yang sebenarnya menjadi prinsip mendasar dalam gerakan NU. Dengan menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam aswaja, keterjebakan pemikiran tidak akan terjadi.
Sebenarnya NU Studies ini muncul untuk mempertegas buku sebelumnya yaitu Islam Pasca Kolonial. Buku ini menjadi cambuk tersendiri bagi anak-anak muda NU yang cenderung liberal maupun fundamental. Ulil Absor Abdala yang menjadi ikon Islam Liberal tiba-tiba saja surut dari khasanah intelektual Islam. Akan tetapi bukan berarti Ulil kalah dalam perdebatan ini. Sekarang, Ulil sedang bertapa di Negri Paman Sam. Saya kira Ulil menyimpan tenaga untuk memberikan gebrakan Islam di Indonesia. Kita tunggu saja bagaimana nanti setelah pulang dari Amerika Ulil menaggapi tantangan dari sahabatnya ini. Yang pasti buku ini menjadi cambuk tersendiri bagi ana-anak muda NU. Tidak saja yang bergerak pada dua paradigma itu. Buku ini juga memberangus pemikiran-pemikiran anak muda yang berbeda dengan mainstrem untuk berkembang.
Kiranya buku ini tidak bermaksud menyudutkan para aktivis gerakan Islam baik yang bergerak dalam fundamentalisme Islam ataupun fundamentalisme neoliberal. Buku ini memfokuskan kajiannya di wilayah kekacauan epistemologis dan praksis gerakan Islam. Dengan membaca buku ini kita diajak berfikir kembali tentang gerakan pemikiran Islam dan keterjebakannya pada nalar oposisional.
Oleh karena itu tepat kiranya jika buku ini digunakan sebagai pintu masuk untuk memperdalam kritik terhadap gerakan Islam yang telah menjangkiti nalar gerakan Islam di Indonesia. Buku ini juga sekaligus memberikan alternatif gerakan yang harus diambil oleh aktivis gerakan Islam dalam menghadapi arus globalisasi, dan liberalisme serta benturan peradaban yang dijadikan blue print oleh Amerika terhadap dunia ketiga.
Rangkaian tulisan buku ini cukup rumit dan gaya bahasanya juga terlalu tinggi untuk orang-orang awam. Sehingga hanya bisa dimengerti oleh the well educated class saja. Kiranya buku ini akan lebih mudah dipahami dan dikonsumsi masyarakat bawah (terlebih NU kultural), jika dituliskan lebih membumi.
Judul Buku : NU Studies (Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal)
Penulis : Ahmad Baso
Tebal : xxi + 510, Desember 2006
Penerbit : Erlangga Jakarta
Peresensi : Edi Purwanto
Leave a Reply