Low Cost-High Class?
Naik kereta api
Tut, tut, tut…
Siapa hendak turut?
(Anonimus)
Siapa yang tak kenal lagu tersebut? Pastilah dulu tidak pernah menjadi peserta PAUD. Sambil menunggu keberangkatan kereta, lagu tersebut kerap didendangkan untuk menenangkan sang buah hati. Pemandangan itu kerap tampak utamanya pada kereta kelas ekonomi. Maklum, kelas ekonomi memang sangat murah, namun minim fasilitas. Sebagai penumpang ekonomi, jangan bermimpi mendapat kenyamanan di gerbong kelas tersebut. Berisik, sumpek, kotor, bau, banyak copet. Kata nyaman seolah diharamkan di gerbong tersebut.
Misal, hanya untuk membuang hajat saja sulitnya minta ampun. Sebab, toilet kerap dihuni para penumpang lantaran penumpang membeludak. Bahkan, pada akhir pekan atau libur nasional, kelebihan penumpang bisa lebih dari 30 persen dari batas toleransi. Bisa dibayangkan betapa penuh sesak tiap gerbong kereta ekonomi tersebut. Mulai jalan, pintu masuk gerbong, restorasi, gang-gang kursi berjubel.
Belum lagi dengan adanya swalayan berjalan alias pedagang asongan yang hampir sejak kereta diberangkatkan hingga tiba di stasiun kedatangan menambah gaduh kondisi gerbong. Padahal, para penumpang tersebut biasanya merupakan penumpang antarprovinsi yang butuh kenyamanan.
Soal kenyamanan, PT KAI masih terus membuat chemistry yang paling pas. Tengok saja peluncuran KA Bogowonto AC jurusan Purworejo-Ps Senen yang dilakukan pada H+7 lebaran 2010 lalu. KA ekonomi berpendingin udara itu sengaja diluncurkan sebagai bentuk uji coba atas prilaku konsumen dan keawetan gerbong. Seorang junior manajer di Daop V KAI pernah mengatakan, bukan tidak mungkin dengan penambahan fasilitas malah membikin kereta tersebut cepat rusak lantaran tangan-tangan jahiliyah. Walhasil, bukannya malah dirawat dan bisa menjadi daya tarik, PT KAI malah merogoh kocek untuk memperbaiki.
Bentuk keseriusan PT KAI juga tampak pada tersedianya gerbong khusus perempuan. PT KAI mengujicobakan gerbong khusus perempuan itu pada kereta tertentu saja. Namun lagi-lagi, pada akhir pekan atau libur nasional, saat penumpang membeludak, tiga polisi khusus kereta api yang bertugas tak bisa membendung para bapak/kakek untuk menumpang gerbong khusus tersebut. Ya begitulah nyatanya, sangat dilematis memang. Tapi, bukan tidak mungkin bakal menyusul gerbong-gerbong khusus lain, misal gerbong khusus manula atau penyandang cacat. Siapa tahu.
Zero Accident di mata PT KAI
Lalu, masalah aman pun juga kerap menghantui para penumpang kereta api (KA). Entah aman dari segi gangguan para kriminil atau aman dari segi keselamatan jiwa. Soal kejahatan di atas KA, PT KAI telah melengkapi setiap KA dengan tiga polsuska. Sebelum bertugas, mereka diikutkan keterampilan dan pelatihan yang digelar polres setempat.
Nah, soal aman dari segi keselamatan jiwa yang paling hangat dibicarakan. Awal Oktober 2010 lalu, beberapa media melaporkan 34 nyawa tewas akibat kecelakaan di Petarukan, Pemalang, Jateng. Hasil investigasi KNKT yang dirilis beberapa media menyebut kecelakaan itu disebabkan adanya keteledoran masinis KA Argo Bromo. Masinis berpredikat pratama tersebut ngantuk sehingga melanggar sinyal larangan memasuki stasiun. Menurut pakar perkeretaapian saat berbicara di Metro TV pada acara Metro Hari Ini edisi Sabtu (2/10/10), keteledoran masinis itu disebabkan jam kerjanya yang berlebih. Dia seharusnya digantikan oleh masinis lain di stasiun sebelumnya. KNKT menyimpulkan penyebab kecelakaan itu akibat human error.
Sebelumnya, kecelakaan serupa terjadi pada pertengahan Juli 2010 lalu. Kecelakaan tersebut melibatkan KA Logawa yang anjlok dari rel sehingga menyebabkan puluhan jiwa melayang. Penyebabnya adalah kondisi sarana jalan atau bantalan rel yang rapuh saat dilewati KA. Padahal, setiap rel yang dilewati KA selalu diperiksa oleh petugas divisi teknis. PT KAI bahkan menurunkan petugas khusus untuk memantau kondisi rel sehari dua kali. Mereka khusus ditugaskan untuk mengawasi kondisi rel penghubung antara satu stasiun dengan stasiun terdekat. Kedua kecelakaan itu jelas menambah deretan catatan kelam kecelakaan tunggal atau antarkereta yang terjadi.
Kerap pula penyebab kecelakaan itu berhubungan dengan wesel dan sinyal. Namun, petugas Pemimpin Perjalanan KA (PPKA) tidak perlu diragukan lagi kecakapan pengoperasian dua hal itu. Seorang rekan petugas PT KAI Daop V mengatakan, petugas PPKA wajib mengikuti sekolah perkeretaapian yang digelar markas PT KAI di Bandung selama enam bulan. Mereka belajar soal kemusykilan, pengoperasian jalur stasiun (tipe jalur (spoor) setiap stasiun berbeda bergantung luas halaman jalur stasiun), dan lain sebagainya. Tugas ini pula yang membuat PPKA bisa berkarir menjadi KS alias kepala stasiun atau petugas manajemen di kantor daop. Tapi, bila kecelakaan disebabkan sarana wesel dan sinyal yang tidak befungsi, bukan tidak mungkin karir petugas PPKA berakhir dibalik jeruji besi. Itu akibat sarana wesel dan sinyal yang kurang memadai. Sebab, sebagian daop masih mengandalkan sarana peninggalan kolonial.
Selain itu, perangkat perjalanan KA lain, misal masinis dan kondektur (kondektur KA berbeda dengan bus karena tugasnya mengkoordinasikan keberangkatan KA dengan stasiun yang dilewati), juga wajib mengikuti pendidikan profesi. Mereka pun diberi sertifikat berlabel sehingga layak ditempatkan di KA eksekutif-bisnis atau ekononomi.
Nah, kesimpulannya, kira-kira kecelakaan yang melibatkan tunggal atau antarkereta pasti disebabkan oleh soal human error dan kondisi sarana jalan. Padahal kecelakaan model lain masih kerap mewarnai media cetak atau elektronik. Misal, kecelakaan yang melibatkan kereta dengan kendaraan bermotor di perlintasan sebidang. Kalau disimak, hampir setiap dua pekan sekali selalu ada saja kecelakaan macam itu. Padahal semboyan 35 sudah dipenuhi oleh para masinis. Artinya, para masinis pasti membunyikan bel setiap melintas di perlntasan, permukiman padat, atau di perlintasan tanpa penjaga. Tetap saja kecelakaan macam ini terus ada. Mau tidak mau, kecelakaan itu memang harus ditekan.
Untungnya, Dirjen Perkeretaapian Tundjung Inderawan saat meninjau di Daop V Agustus 2010 lalu menegaskan akan menutup total seluruh perlintasan yang ada. Dan kini, langkah itu telah dimulai di Daop I, yaitu perlintasan yang ada di Banten-Jakarta. Secara bertahap, kata dia, akan dilanjutkan dengan perlintasan yang ada di daop lain. Itu membutuhkan waktu setidaknya dua dekade atau bahkan lebih. Sangat lama dibanding laju peningkatan penumpang KA yang berbanding lurus dengan jumlah penduduk.
Upaya itu didasari oleh UU 23/2007 tentang Perkeretaapian. Undang-undang itu menyebut bahwa rel adalah jalan khusus KA, khusus dibuat untuk kelancaran perjalanan KA. Itu sebabnya mengapa masinis KA tidak dipidana meski menabrak serombongan bus penuh penumpang di perlintasan KA. Jalan itu memang kuasa penuh KA, yang lain cuma numpang.
Sehingga, perlintasan-perlintasan (entah berpalang pintu dan dijaga atau tidak) itu wajib dieliminir. Untuk itu, PT KAI telah membentuk satker yang bekerja memilih jalur perlintasan ramai untuk dibangun waterpass atau fly over. Itu semua mempunyai satu tujuan, yaitu menciptakan zero accident.
Sayang, PT KAI membebankan pembangunan waterpass atau fly over itu kepada pemerintah daerah. Kalau perlintasan yang dilalui adalah jalan provinsi maka harus dibangun oleh provinsi. Kalau jalan milik pemkab/pemkot ya harus dibangun oleh pemkab/pemkot. Masalah pun muncul. Tidak semua pemkab/pemkot-pemprov memprioritaskan hal itu dalam pembangunan. Lagi-lagi, bergantung kemampuan dompet suatu daerah.
Paling anyar, PT KAI terus menggenjot pengadaan jalur trek ganda untuk lintasan di Pulau jawa. Posisi jalur ganda saat ini telah sampai pada lintasan rel Jakarta-Tegal. Berikutnya, bakal menyusul lintasan-lintasan lain hingga ke Daop IX. Indikasinya, PT KAI gencar menertibkan pemilik bangunan liar di areal tanah sekitar rel. Tentu, tanah itu merupakan aset PT KAI.
Yang paling penting sekarang adalah pembenahan yang terus dilakukan terhadap manajemen perkeretaapian. Entah dimulai oleh Dirjen Perkeretaapian Kemenhub atau oleh PT KAI. Editorial Jawa Pos hari Sabtu (9/10/10) mengulas bab ini. Bahkan, dengan tegas meminta pejabat terkait yang tidak berkompeten dan tidak profesional untuk mundur.
Koran itu secara khusus juga mengangkat nasib seorang masinis pelaku kecelakaan di Bintaro pada dekade 1980-an. Tulisan feature dua seri edisi Jumat (8/10/10) dan Sabtu (9/10/10) itu memberi pesan PT KAI tidak mau tahu nasib kesejahteraan pensiunan masinis asal Purworejo itu. Sikap PT KAI yang memberhentikan dengan tidak hormat itu menunjukkan bahwa masinis itu merupakan tumbal dan kambing hitam pada kecelakaan tersebut.
Kalaupun keadaan ini tidak berubah, entah bagaimana nasib para penumpang KA ekonomi. Andai tidak berbenah, baris terakhir kutipan lagu di atas mungkin bisa berubah begini, “Naik kereta api, Tut, tut, tut…, Siapkah jemput maut?”. Semoga tidak.
sumber gambar:
http://stat.kompasiana.com/files/2010/04/keretaditutup.jpg
http://surabaya.detik.com/images/content/2010/05/31/473/ka1.jpgarahyangan
Elis says
PT KAI sepertinya bingung karena memang pelayanan yang diberikan terkadang masih menjadi kontroversi di masyarakat. yang paling kasian pegawai PT KAI nya tuh, capek2 tapi masih aja dimarahin banyak orang. disamping itu juga nggak dapet perhatian dari pemerintah lagi. Semoga para pegawai diberi kesabaran. Amin.