Judul: Lenin Revolusi Oktober 1917 Sanggahan terhadap Pemikiran Franz Magnis Suseno
Penulis: Saiful Arif dan Eko Prasetyo
Pengantar: Ken Budha Kusumandaru
Penerbit: Resist Book
Tahun: 2004
Tebal: 148
ISBN: 979345718X
Sebagai manusia, Lenin tetap lemah dalam banyak hal. Ia mengakibatkan otoritarianisme, kekerasan, pemaksaan, pembunuhan dan seterusnya. Lenin hidup dalam suasana revolusi yang terus-menerus, suasana kup, suasana teror. Ia tak menciptakan kedamaian, meski ia bertujuan ke sana. Meski begitu, sebagai manusia yang disiplin dan berani, pikiran-pikiran Lenin tetap harus dihargai.
Keberanian dan Kedisiplinan
Dalam revolusi 1917, Lenin pernah mengatakan, “Seandainya pada tahun 1917 itu di kota Petrograd hanya ada beberapa ribu orang saja yang tahu apa yang mereka capai, kaum komunis niscaya tidak pernah berhasil menguasai Rusia”. Dan memang, Lenin adalah sebuah gambaran tentang sosok manusia yang tak pernah jatuh dalam kebingungan dan ketidaktahuan dalam suasana-suasana dan situasi-situasi yang begitu kacau dan rumit. Ketika orang-orang lain maupun kawan-kawan seperjuangannya, masih dalam kebingungan harus berbuat apa, Lenin akan datang dengan segala gagasannya yang jelas dan tegas, mengenai apa yang sebenarnya tengah terjadi dan apa yang harus dilakukan.
Bagi Lenin, seolah-olah tak ada kata “bingung”. Lebih dahsyat lagi ketika kawan seperjuangannya masih ragu-ragu dan takut-takut untuk mengambil suatu keputusan dan langkah, Lenin dengan penuh keyakinan, meski tak berarti nekad, dan penuh perhitungan, akan datang untuk mempengaruhi kawan-kawannya untuk bertindak tegas tanpa sedikitpun keraguan dan rasa takut. Lenin bagaikan seorang master pecatur politik yang selalu saja satu langkah di depan kawan dan lawannya dalam memahami apa yang sebenarnya tengah terjadi dan karenanya tahu apa yang harus dilakukan. Pemahaman yang terang itulah yang membuatnya tak pernah ragu-ragu. Bukankah orang menjadi ragu dan takut sebab tak memiliki pemahaman mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Lihat saja, bagaimana ia harus berdebat terlebih dahulu selama 10 jam dengan anggota-anggota Sentral Komite Partai Bolsyewik menjelang Revolusi November 1917. Ketika kawan-kawannya masih percaya bahwa Pemerintahan Sementara masih sanggup untuk membawa rakyat Rusia ke arah perbaikan, Lenin dengan tegas membantahnya. Kepercayaan akan perbaikan itulah yang membuat sentral komite tidak segera menerima usulan Lenin mengenai pengambilalihan kekuasaan yang bersejarah itu. Lenin pun dengan luar biasa selama 10 jam harus melemahkan kepercayaan akan perbaikan dan sekaligus meyakinkan sentral komite untuk menerima dan melaksanakan usulannya yang pada saat itu tentu saja menurut anggota-anggota Sentral Komite begitu riskan dan tak pasti hasilnya. Dan Lenin berhasil.
Kedisiplinan dan semangat tak bisa dilepaskan dari Lenin. Dua kualitas ini seolah-olah melekat dalam diri Lenin, membentuk dirinya dan juga turut menentukan hasil perjuangannya. Bahkan menurutnya kedisiplinan adalah salah satu kunci menuju kemenangan sejarah yang menentukan. Dalam pandangan Lenin, hanya partai revolusioner yang memiliki kedisiplinan-lah yang akan sanggup membawa terciptanya cita-cita masyarakat yang sosialis. Tanpa kedisiplinan, partai akan dengan mudah disusupi oleh hal-hal yang akan melemahkan semangat dan perjuangan revolusioner mereka. Kedisiplinan di sini lebih berarti keteguhan untuk memegang suatu prinsip perjuangan dan terus-menerus bekerja atas landasan prinsip tersebut.
Membaca Lenin dengan Adil
Selama mandegnya kebebasan berpikir dan berpendapat di era Orde Baru, selama itu tidak banyak intelektual Indonesia yang berusaha mengaji pikiran-pikiran Lenin secara ilmiah. Sangat sedikit sekali intelektual yang berani mengutip pikiran Lenin dalam karya mereka, meskipun dalam bingkai kritik. Lenin(isme) menjadi sakral dan tabu, dan penyebarannya diawasi secara ketat oleh aparatus negara, baik karena alasan tidak ingin kembalinya komunisme sebagaimana makar 1965 maupun karena alasan-alasan politis lainnya. Karena sakral dan tabu itulah orang begitu meletup-letup keinginannya untuk mengetahui siapa dan apa Lenin(isme) itu.
Akibat aktivitas sweeping dan pembakaran itu, salah satu buku kritik atas marxisme, dan dikaji secara ilmiah, misalnya buku Magnis-Suseno berjudul Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Gramedia, 1999) pun ikut kena getahnya. Secara menyedihkan ia dibakar sekitar April 2001. Di beberapa media tampak sekali kejengkelan sang penulis atas ulah kelompok tersebut, bagaimana mungkin ditaati akal sehat suatu perbuatan antikomunisme yang membakar buku yang mengritik komunisme? Begitu mungkin pikir sang penulis.
Pada 2003 akhir terbit tulisan Franz Magnis-Suseno, seorang rohaniwan, budayawan, intelektual dan ahli filsafat yang banyak menulis karya bagus, tentang Lenin. Judul lengkapnya, yakni Dalam Bayangan Lenin, Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka (Gramedia, 2003). Kepiawaiannya dalam meramu kata-kata membuktikan sekaligus menunjukkan bacaannya amat luas, tidak sesempit yang dibayangkan penguasa yang melarang buku-buku bersifat “kiri” saat itu.
Dalam biografi sebuah bukunya, Romo Magnis bahkan dikatakan sebagai seseorang yang ahli tentang Marxisme dan Komunisme. Dilahirkan di Jerman 1936, dan sejak 1961 hidup dan belajar filsafat di Indonesia. Dalam bidang etika, filsafat politikdan pandangan-pandangannya atas dunia Jawa, sampai tahun 2003 ia bahkan sudah menulis 400 artikel populer ilmiah dan 25 buku.
Buku tersebut menjadi penting sebagai sumbangsih besar bagi pemahaman masyarakat tentang Lenin dan pemikir-pemikir setelahnya, Leon Trotsky, Georg Lukacs, Karl Korsch, Antonio Gramsci sampai Tan Malaka. Paling tidak buku tersebut bisa memberikan pencerahan baru atas ketentuan yang “dibuat-buat” untuk mengekang kebebasan berpikir dengan melarang persebaran ajaran marxisme-leninisme melalui sebuah ketetapan MPR yang hingga buku ini ditulis belum dicabut. Buku tersebut berguna untuk mendukung persebaran informasi mengenai Lenin dalam buku berbahasa Indonesia yang mudah diakses pembaca.
Buku itu adalah tentang Lenin. Sebuah sosok yang sebenarnya masih terasa kontroversial untuk alam pemikiran masyarakat Indonesia. Pengalaman pahit hidup bersama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) tampaknya masih cukup kuat untuk menciptakan rasa takut untuk dekat-dekat dengan apapun yang berbau atau bernada komunisme. Sungguh luar biasa trauma yang diciptakan oleh peristiwa 30 September 1965!
Secara umum, potensi kesalahan umum yang sering dilakukan orang saat memahami dan menilai Lenin ialah:
- Kita menilai Lenin dari sudut pandang subyek lain, yaitu dari praktik para pewarisnya (terutama Lenin).
- Kita menilai Lenin dari sudut pandang ruang dan waktu yang lain, yaitu dari alam kehidupan masa kita, dan bukan dengan meletakkannya ke dalam konteks alam kehidupan masanya Lenin sendiri.
- Kita menilai Lenin dari sudut pandang makna yang lain, yaitu dengan mengartikan gagasan pemikiran Lenin dari kerangka gagasan pemikiran orang lain.
Dalam menulis tentang Lenin, buku ini berusaha memahami Lenin sedekat mungkin dengan konteks alam pemikiran Lenin. Dan itu dilakukan terutama dengan gaya pendekatan “saling merujuk.” Buku ini berusaha mengikuti alur logika dan menafsirkan pemikiran Lenin dengan menggunakan kerangka karya-karya Lenin sendiri. Satu gagasan Lenin, dikaitkan dengan gagasan Lenin yang termuat dalam karya Lenin lainnya.
Apa yang dituliskan di buku ini sebenarnya hendak menggerakkan bandul penilaian kita agar kembali ke titik keseimbangan dalam menjatuhkan penilaian. Kita tidak boleh terlalu ekstrem dan terbawa oleh opini. Bahkan meskipun orang yang kita nilai itu ialah orang yang kita benci. Keadilan adalah hak setiap manusia, dan berusaha memberikannya kepada Lenin, tokoh yang sudah terlalu sering dilabeli dengan sekian banyak prasangka dan opini negatif yang sayangnya tak dilandaskan pada karya-karya dan logika sang subyeknya sendiri, namun berdasarkan opini-opini orang lain.
Bagi sang penulis, pemahaman seharusnya mendahului penilaian, dan inilah kecerdasan dan keadilan itu.
Leave a Reply