Seperti biasa, di siang hari Yogyakarta amat panas, rasanya lebih panas dibanding suhu udara di Penjaringan Jakarta Utara. Dan, semakin terasa panas ketika Honda Supra yang kutunggangi wajib berhenti karena lampu hijau lalu lintas berganti merah.
“Pyuh”, sergahku dalam hati menggerutu merasakan panas terik menembus jacket Levi’s bututku.
Kulirik arloji menunjukkan angka 12.30.
Kulihat “digital display”, penghitung mundur yang berfungsi menunjukkan berapa lama seorang pengendara harus berhenti, masih menunjukkan angka 250 dari 300 detik. Sepertinya, “count down digital display” di perempatan antara jalan Magelang dan Godean ini, merupakan hitungan mundur terpanjang di Yogyakarta, sekitar 300 detik alias 5 menit.
“Huhhh”, kembali aku menggerutu dalam hati, kenapa dinas perhubungan hanya memasang papan “display” digital, kenapa tidak sekalian memasang televisi besar dengan “sound system” yang ok. Jadi, kalau lampu merah menyala, maka televisi juga ikut menyala menayangkan hiburan gratis bagi para pengguna jalan. Misalkan, secara otomatis televisi itu menayangkan Soneta Group yang mendendangkan lagu “Santai” atau Rosa yang menyanyikan lagu “Ku Menunggu”.
Tentunya, lagu atau hiburan yang diputar di lampu merah itu bukan sembarang lagu. Lagu “santai” dari bang Roma atau “Ku menungu” dari tante Rosa sangat layak untuk diputar karena mengandung makna filosofis agar para pengendara santai dan tidak tegang dan rela bersabar menunggu lampu merah menjadi hijau meski hitungan mundurnya dimulai dari angka 300 detik. Hitungan mundur di atas 200 detik jelas bisa berpotensi membuat pengendara motor atau mobil butut yang tak ber-AC terserang “strok” karena khawatir mobilnya tiba-tiba mogok.
Lagu-lagu yang berpotensi menyulut emosi seperti “Kill Them All” dari Metallica, “We are the Champion” dari Queen yang biasa dipakai dalam kompetisi olahraga balap motor, atau lagu campursari “Minggat, Ndang Balio Sri” yang menceritakan seorang istri yang pergi tanpa pamit sebaiknya tidak diputar di layar hiburan itu, karena dikhawatirkan dapat meningkatkan emosi negative dan “adrenalin” para pengendara. Bisa dibayangkan bila semua pengendara berlagak seperti pembalap “Road Race” atau pembalap F1.
Ya, seperti yang telah diterapkan oleh beberapa pemerintah daerah, layar elektronik besar seperti di Bundaran HI Jakarta Pusat, perempatan Gardu Listrik di Malioboro Yogyakarta, Simpang Lima Semarang atau di beberapa tempat strategis di kota-kota besar lainnya tentu dapat mengendorkan ketegangan para pengendara di tengah “kesemrawutan” lalu lintas. Tapi, sekarang, layar-layar besar itu tidak berfungsi.
Sayangnya, selain sering mati, iklan-iklan yang ditayangkan di layar raksasa itu biasanya semakin membikin para pengendara pusing. Jujur saja, mayoritas pengguna jalan raya biasanya “integral” dengan kondisi sosio-ekonomi mayoritas masyarakat kita yang kebanyakan berasal dari kelas menengah ke bawah.
Maka, bisa jadi iklan mobil mewah yang harganya di atas 500jt dapat membuat jengkel para pengendara motor atau pengendara mobil butut yang kepanasan karena ACnya mati atau semakin menumbuhkan rasa frustasi para pengendara motor “se-umur hidup” karena kebanyakan dari mereka “optimis” tidak bakalan mampu membeli mobil mewah tersebut.
Atau iklan “mansion” mewah yang berpotensi tidak hanya membuat pengendara dari kalangan bawah males pulang kembali ke rumahnya di pinggiran kali Ciliwung atau di perkampungan kumuh di pinggiran Jakarta tapi juga dapat membuat kalangan menengah dan atas pusing tujuh keliling teringat wajah seram “debt collector” yang akan menagih cicilan “mansionnya” yang belum terbayar atau membikin pusing “pengusaha” dan politisi kelas tinggi yang teringat “istri simpanannya” menuntut untuk dibelikan “mansion” seperti yang ada di layar besar tersebut.
Sebaiknya, iklan-iklan yang ditayangkan di layar lebar itu iklan yang “bening-bening”, misalkan iklan “shampoo” atau iklan “body lotion” yang diperankan artis cantik. Iklan-iklan seperti ini di samping dapat memberikan pemasukan tak terhingga bagi pemerintah daerah, juga bisa membuat pengendara merasa “mak nyos” dan “ikhlas se ikhlas-ikhlas-nya” bersabar menunggu lampu merah.
***
“Ups”, aku tersentak dari lamunanku, ketika kulihat perempuan kecil menepuk lenganku yang terbungkus jaket “blue jeans”.
Aku hanya menggeleng dan “dada” melambaikan telapak tangan pada si pengemis kecil itu, karena di samping susah mengambil dompet ataupun uang kecil dengan tangan yang terbungkus sarung kulit, “mood” ku sedang tidak enak karena ini tanggal yang benar-benar tua (hari Jum’at tanggal 31 dan tanggal 1 jatuh pada hari Sabtu besok, artinya saya baru dapat menerima gaji tanggal 3 hari Senin). Untungnya, anak itu mengangguk padaku dengan sopan namun tetap “konsisten” menampilkan wajah nya yang “dibuat” memelas. Meski aku tidak memberi, dia tidak menunjukkan mimik kecewa.
Sedetik kemudian, si kecil itu beralih pada “All New Jazz” yang berada tepat di samping kiri “stang” motor ku.
“Hmmm”, rupanya 2 sejoli yang kutaksir berumur 20-an tahun, mungkin mahasiswa, terlihat ketika kaca di samping sopir yang terlapisi kaca film yang tak begitu gelap terbuka sedikit. Si pemuda yang berada di belakang kemudi menyodorkan lembar seribu untuk si pengemis kecil. Sedang si perempuan yang berada di sampingnya duduk santai memainkan “Galaxi Tab” tanpa menghiraukan “sopir” di sampingnya. Sekilas parfum mobil dan hawa sejuk menyeruak ke luar. Dapat kurasakan alunan “smooth jazz” mengalun lembut di telingaku yang tertutup helm.
“Hmmmmuuuh”, ku ambil nafas dalam-dalam.
Rupanya udara semakin terasa “panas” ketika aku berada di atas motor sedang di sampingku orang lain menikmati udara sejuk mobil yang “kinyis-kinyis dengan alunan musik lembut terbebas dari suara kenalpot motor yang berisik dan mesin mobil yang menderu.
Sempat terbersit perasaan “syirik” melihat anak muda yang sudah mampu menunggangi mobil “mewah”, “at least” menurut ukuranku.Aku yang lebih 6 tahun bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) hanya mampu membeli Honda Supra 125cc, itu pun harus dengan cara cicilan 4 tahun dan baru lunas akhir bulan kemarin.
Makanya, hiburan di lampu merah seperti di atas perlu digagas serius. Memang sih, sudah banyak hiburan di setiap lampu merah. Contohnya, pengamen-pengamen “trans-seksual” , pengamen “tradisional” seperti kelompok tari “Jathilan” atau “Jaranan” di Yogyakarta atau “jaipongan” di Bandung, atau “remo” di Surabaya. Tapi jujur, mereka lebih banyak “mengganggu” daripada “menghibur” pengendara.
Saya kira bukan hanya perlu hiburan layar elektronik besar seperti di atas, tapi juga perlu dibuatkan tenda atau atap di setiap sisi jalan sebelah kiri di masing-masing perempatan sehingga para pengendara motor merasa nyaman bila berada di lampu merah di tengah hari bolong. Atau ada program penanam pohon besar dan rindang di setiap lampu merah. Sehingga para pengendara motor atau mobil butut tidak harus berhenti seenaknya di bawah pohon rindang yang berada tidak jauh dari lampu merah yang tentunya sangat mengganggu lalu lintas, padahal di garis terdepan dekat dengan “zebra cross” masih kosong melompong.
“Ups, asyem”, sergahku ketika klakson motor dan mobil di belakangku bersahutan. Rupanya mereka “mengklakson” diriku yang masih santai dan menikmati lamunanku.
“Sssttt”, sedikit jengkel ku menoleh ke belakang karena “digital display” masih menunjukkan angka 4 (empat). Tapi, rupanya beberapa pengendara motor yang berada di garis depan di sebelah kiri “Honda Jazz” yang sejajar dengan ku sudah tancap “gas” sekencang-kencangnya bak para pembalap “Moto GP” memulai start.
Dan, secara reflek aku pun berteriak, “Subhanallah..!!!”.
Sebuah SUV mewah, “Lexus”, dari arah berlawanan sebelah kiri muncul secara tiba-tiba dengan kencang. Rupanya, mobil hitam dengan plat nomor 1 digit itu nekat menerobos ketika “jatah” lampu hijau dari arah tersebut sudah habis dan berganti merah.
Bisa ditebak, dari arahku, 2 sepeda motor tancap gas ketika “jatah” lampu merahnya belum habis. Suara derit dan gesekan ban mobil mewah itu dengan aspal menimbulkan suara, “Ciiiiiiiitttttt”, diikuti suara “Duueeerrrr!!!”.
“Innalillahi wainna ilaihi raaji’un”,
Tapi, bukankah mereka sendiri yang melanggar aturan lalu lintas dengan seenaknya?
Sekian.
Grand Mansion Potorono, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, 9 Mei 2011.
Gambar: http://www.eugenebur.com/UNCTV/traffic%20light.jpg
Emka says
Salah satu perilaku yang meningkatkan stress
Jika ada akibat yang lain, biasanya saling menyalahkan ndak ada yang mau nerima siapa yang salah
Tapi kalau menurut saya, akibat dari tayangan di televisi yang sangat tidak mendidik. Mengakibatkan gaya hidup yang mewah, menjadi acuan. Sehingga manusia berlomba meraih target tersebut, tak perduli dengan orang lain. Tergesa-gesa, yang mengakibatkan stress pada diri mereka sendiri. Tak kuat menahan beban dunia, akhirnya bunuh diri menjadi salah satu solusi…
Dunia sudah semakin tua…
furqon says
yah begitulah kehidupan dijalan semua ingin cepat semua ingin nyaman tanpa pernah memikirkan orang lain.
kalo sudah begitu..beginilah kejadiannya..
sabar yo mas..hee