Ronall dan Kurniawan: Mengapung
Keadaan mengapung tak tegak di bumi, tapi juga naik ke angkasa seolah cungkup manusia sufi yang terus naik menemui tuhannya dan tak kembali lagi. tarian rumpun bambu dan baiklah jika hendak ditambah sedikit gula, bukanlah puisi yang seolah orang sufi: tak lagi tertarik kepada dunia kecuali pada tuhannya, yang oleh ini ia tak lagi hendak turun ke bumi tapi terus naik dan terus naik seolah doa kita itu: keluar dari rongga dada menjadi bisikan yang ditarik angin sampai ke sidrathil muntaha, terus naik dan terus naik hingga sampai ke lauh mahfuz tempat dunia menjadi by disain di kursi tuhan semanusia manusia: bukan semata tuhan islam, tuhan kristen, tuhan budha, tapi tuhan sedunia manusia. tuhannya se alam raya. kukira begitulah sifat tuhan itu: tak baik kita memperebutkannya seolah waktu kecil dulu: ini gula gulaku lalu kita pun berkelahi. tapi kita miliki sama sama saja tuhan yang satu juga itu. ia kita jadikan seolah lagu dewa: kau seperti udara dalam hatiku yang memanggil padamu rinduku kau seperti udara dalam jiwaku wahai tuhan yang maha perkasaaa.
Kukira dengan jalan seperti itulah salah satu tiang yang dirindukan negeri ini bisa ditegakkan: pluralisme itu, yang kadang kita lihat, dari dan melalui berita, tampaknya belum kelar kelar juga dengan isyarat tuhan yang seolah hendak dikantongi sendiri. dalam diksi bahasa jawa ia seolah: iki ndekku bukan ndekmu. padahal tuhan hanya, sekali lagi, itu itu juga sehingga mana mungkin ia kita jadikan: ini punyaku dan bukan punyamu. suatu orientasi dari cara memeluk hidup yang ternyata tak main main dalam laku yang nyata: kita masih ingat bagaimana pendekar berselempang kain dan berpici putih dengan golok di tangan. semua tumpah menjadi kesedihan sebuah keluarga yang kehilangan anggota keluarganya. manusia bisa mendadak seolah hewan yang terluka: menyerang tapi kita lalu terdiam sendiri saat tahu yang diserang adalah anggota keluarganya sendiri. tidakkah, dari tiap kujur konstitusi itu kita tahu bahwa tiap anggota manusia di negeri ini berhak menjadi presiden karena ia adalah orang asli. karena asli maka ia satu keturunan yang, tak lain artinya adalah satu kekeluargaan. kita satu keluarga besar bangsa dan negeri bernama indonesia tapi mengapa, wajah kita demikian garang meneriakkan aku saat bertemu dengan kamu. di mana kelirunya pendidikan kewarganegaraan kita itu? kau dan aku tahu di mana letak kelirunya. satu buku sepenuh esai esai dalam buku berkata, buku terbitan kompas: rindu pancasila. rindu jiwa manusia yang diresapi oleh rasan rasan ketuhanan. ketuhanan. keadilan. kemanusiaan. dan semuanya disesap oleh satu tali: kekeluargaan. boleh kita buka buka lagi arsip lama itu: siapa yang merumuskan nilai indonesia adalah negeri kekeluargaan, yang menjadi semangat dari tiang negaranya. orang awam pun tahu, apakah arti dari kekeluargaan itu: adalah rasan rasan yang diselesaikan secara adik beradik. rasan rasan yang diselesaikan bukan dengan teriakan demi teriakan, apalagi dengan lemparan batu dan sabetan pedang, tapi dengan berkasih sayang seolah dua remaja romie dan yulie. dua remaja yang saling mengasihi. berjanji sehidup semati. maafkan soal soal negeri ini kita bawa ke kanan dan ke kiri, mengikuti dan didorong oleh sifat dari bahasa juga: tiap apa yang ada adalah bahasa. kita sebut film china adalah bahasa: fonem fonem yang membentuk satu kata: china. pun india atau amerika. pun rusia atau apalah nama yang hendak kita sebutkan: semua adalah bahasa. maka kalau semua bahasa, artinya tak suatu ada pun yang bisa menutup pintu, mengangankan dirinya sebagai ber otonomi penuh, tegak sendirian mengklaim diri dunia politik, atau ekonomi, atau, mengapa pula tidak bidang kita ini: puisi. bahasa tak membiarkan adanya menyempit seperti itu. tak elok, tegak dan berjalan sendirian, kata ibu ibu bapa kita dulu. tapi berjalanlah bersamaan. dan itulah paham kekeluargaan dari cara orang dulu merumuskan keadaan negeri yang sedang menderita kesalahpahaman pandangan: negeri belanda atau negeri barat pada umumnya, masih menganut cara pandangan para dewa dewi yang boleh menjajah negeri orang lain. tapi kini semua telah berakhir dan sedunia telah menganut pandangan: kemderdekaan adalah hak segala manusia yang ada di bumi kita ini. kemderdekaan? tidakkah ia bahasa? maka politik adalah bahasa. sebuah buku yang agak tua berkata soal judulnya: kulit berwarna. isinya tentang penjajahan dan intinya tentang teriakan orang kulit berwarna yang menuntut: mengapa kaki kami diinjak heiii, tidakkah lebih baik kita mengambil posisi seperti romi dan yuli itu? kau melingkarkan tangan ke pinggangku dan aku melingkarkan tangan ke pinggangmu. lebih baik kita indehoy saja dari pada kita berkelahi tanpa kesudahannya. apa sebab orang berkelahi? kata sukarno tak lain soalnya: soal isi perut bumi. bukan soal ideologi tapi soal rejeki. demikian tandas sang flamboyan kita itu merumuskan soal soal kolonialisme dulu. soal rejeki. soal perut. lain lainnya lalu tampak seolah bungkus saja, dari soal hajat yang paling dasariah itu tadi. dalam puisi soal soal itu diteriakkan setengah gila oleh penyair kurniawan, setengah jelas terang oleh penyair ronall. kukira esai ini pun menempuh perbatasan dari dua penyair kita itu: kadang jelas kadang samar. agak geje geje. semoga bahasa tak menjadi gerak gejes gejes tapi tetap ada maknanya. walau makna itu seolah kereta api yang terus menerus meninggalkan tiap stasiun yang ia lalui, dengan meninggalkan roda dari suaranya yang gejes gejes – geje geje diksi remaja, kita agak dorongkan menjadi pandangan filsafat: gejes gejes dari bunyi roda kereta api, yang membawa dan menurunkan tiap manusia ke tujuannya masing masing. ke mana tujuan kita itu sebenarnya? apa kata konstitusi dan apa kata puisi?
Lihatlah bait kedua ronall itu: mengapung dari bait pertama masuk menuju bait kedua, membawa ketakjelasan juga tapi tetap menebarkan keindahan bahasa puisi. tak jelas apa yang diderita sebenarnya oleh aku imajinatif dalam puisi itu. lelah dari kerja apa dan mengapa? senja apa dan di mana? sesal pada apa dan pada siapa? semua ditebar dalam cara berpuisi: menghindari kata terang, yang dalam kasus ronall kata terang itu menjadi amanat yang bergoyang: bukan semacam puisi yang beciri teka teki dari tiap kata kata yang dipasang penyair. bagaimana kita hendak menghitung tokoh aku imajinatif ronall? sejahterakah tokoh aku yang luput menerakan soal soal dirinya itu? atau tak sejahterakah dia? atau kata ini telah kita pakai secara berlebihan? tidakkah tugas negara mungkin bukan mensejahterakan wargannya tapi mengadakan apa apa yang mungkin, atau diduga, kalau ia tersedia, kita pun menjadi sejahtera. janji besar, keadaan ini disebutkan oleh banyak para pemikir. janji besar yang telah gagal, kata erich fromm. dan kegagalan itu disebabkan oleh asumsi asumsinya. ronall tak menceritakan kasus detilnya, juga penyair kurniawan tak menceritakan kasus kasus detilnya dalam kedua puisi mereka. di sana kita hanya berhadapan dengan aku yang tampaknya, seperti banyak orang kini melabeli negeri yang kita sayangi ini, sebagai negeri gagal. (tapi benarkah label ini? kita patut dan bertanya dalam hati kita masing masing: bagaimana cara mengukur kegagalan itu, kalau di tiap negeri negeri suara double standar bukanlah sebagai suara sayup sayup seperti judul puisi gieb: tapi suara yang bisa kita lihat tiap hari dalam berita. sekedar misal, kalau berita itu benar, alangkah ngerinya polah negeri yang pasti kita tak sebutkan sebagai negara gagal amerika yang dikatakan telah merontokkan sendiri menara kembarnya tapi telunjuk diarahkan kepada osama bin laden itu. secara bersamaan, maaf, kita memang menyaksikan dua bujang keling yang sedang ada dalam panggung sorotan dunia: bujang keling obama dan bujang keling osama. osama mati dan tapi kelak obama pun mati. apa apa yang kita kerap takutkan itu kalau sudah sampai waktunya semuanya mati. dulu orang gemetar mendengar nama sukarno dan sukarno pun dipanggil oleh tuhannya. juga suharto: namanya menakutkan banyak orang dan, karena memang telah waktunya, akhirnya mati juga. mereka orang kuat seperti obama dan osama – dalam batas kuasa non formal, adalah orang kuat. tapi maut tak mengenal kata kuat: sampai waktunya maka kita pun meninggal.
Boleh jadi tulisan ini didorong oleh kewaspadaan dalam bahasa: agar kita berhati hati mengikuti tiap kata yang ditebar oleh manusia se bumi, pun oleh manusia negeri kita sendiri. sebab hidup terlalu banyak segi segi misterinya dan tiap kata, karena itu, haraplah menahan diri karena kita sesungguhnya tidak tahu: tidak tahu karena segalanya tampaknya adalah soal nasib. alangkah aneh dan penuh ironinya kata nasib ini, dalam situasi serba kalut dan tak pasti, dibawa masuk ke dalam wacana. tapi apa yang hendak kita katakan kalau nasib itu memang, tampaknya, mengintip dari celah yang kita tak ketahui bernama: sering luputnya tiap soal soal ideal yang keluar dari tubuh manusia saat menyentuh tubuh manusia lain. adalah mengolala hidup orang ramai. itu tak mudah dan itu terus dan saban hari meleset: tak pernah ideal, atau ia ideal dalam negeri atau ia tak ideal saat bersaluran keluar seperti tadi kata berita: dugaan amerika, demi dan untuk suatu citra besar keluar negerinya, telah merontokkan menara kembarnya sendiri. hendak kita pastikan: benarkah semua berita ini? kita berhadapan dengan sejarah yang tak mudah pembuktiannya. bukti itu merucut di tangan tiap manusia karena peristiwanya sudah tak lagi ada: hanya jejak, yang bisa mungkin dihapus atau dipelihara. dan semuanya itu soal kuasa yang demikian jauh dari jangkauan manusia umum – kita kita yang tak berkuasa ini. kuasa adalah permainan yang paling aneh di bumi: kita individual agak pasti baik dan orang baik. kita baik di keluarga dan dengan tetangga, tapi saat memasuki atau berada di pusaran kuasa, mendadak segala hal yang disebut baik itu tiba tiba tunduk pada rumus kekuasaan: apa saja menjadi daerah mungkin demi dan untuk jangan rubuhnya kuasa di tangan. (Selesai)
NB; Tulisan Jurnal Sastratuhan Hudan diambil dari tulisan Beliau di Jejaring Sosial, mengenai statusnya saat menyinggung puisi karya dari kedua penyair yang lahir dan besar dari dunia maya yang berjejaring atau sering dikenal sebagai Facebook a.k.a FB.
Leave a Reply