AIR mata Iwan Setiawan hampir menetes kala menjadi bintang tamu acara Kick Andy, Jumat (20/5) malam. Pria 36 tahun itu terenyuh ketika diminta menjelaskan perjalannya menuntut ilmu di Kampus IPB. Pria asli Kota Batu, Jatim, itu berkisah tentang pengorbanan keluarganya agar bisa bersekolah di Kota Hujan. “Ibu menyuruh bapak menjual angkot satu-satunya sumber mata pencaharian keluarga,” kata Iwan dalam acara talk show TV swasta nasional. “Bapak juga sudah rela,” kata Iwan dengan suara terbata-bata menirukan ibunya kala itu.
Betapa tidak, saat diterima melalui jalur PMDK di IPB, perasaan penulis novel 9 Summers 10 Autumn itu bercampur aduk. Di satu sisi, cita-citanya menuntut ilmu dan mengentas kemiskinan mulai berjawab. Di sisi lain, niat mulianya itu harus dibayar mahal oleh keluarganya. Bapaknya yang sopir angkot itu harus rela mencari pekerjaan lain sebagai penghidupan keluarga.
Waktu berjalan. Tibalah saatnya Iwan lulus dari IPB. Tidak sampai empat tahun bagi Iwan untuk menyelesaikan studinya di Fakultas MIPA IPB. Pada 1997, satu-satunya pria dari lima bersaudara dalam keluarganya itu diwisuda sebagai lulusan terbaik di kampusnya. Maklum, Iwan sejak kecil memang giat belajar. Jam belajarnya pun di luar jam kebanyakan anak seusianya. Dia bangun dan memulai belajar sejak jam 2 dini hari. Tekadnya tersebut mengalahkan ketakutannya atas cerita takhayul dan mengerikan bagi anak-anak. “Ketakutan saya menjadi seperti bapak saya (sopir angkot, red) itu mengalahkan ketakutan saya pada kuntilanak, pocong dan memedi,” terang Iwan.
Berkat predikat itu, Iwan langsung mendapat pekerjaan moncer selama tiga tahun di Jakarta. Karena tawaran menggiurkan, akhirnya dia pindah ke New York, AS, untuk bekerja pada sebuah lembaga riset terkemuka Nielsen sebagai petugas entry data. Sepuluh tahun dia habiskan di negeri Paman Sam itu meski pada awalnya dia mengaku banyak mengalami kendala bahasa. “Selama enam bulan pertama bekerja, saya lebih banyak diam karena bahasa Inggris saya amburadul,” ucap Iwan.
Karena itu, Iwan merasa harus mempunyai keunggulan dibanding karyawan lain. Keunggulan itu dia buktikan melalui kinerja yang memuaskan. Karirnya pun merangkak peerlahan sesuai yang dia harapkan. “Awalnya, saya naik menjadi supervisor, lalu manajer, lalu senior manajer, hingga direktur internal,” tutur Iwan. Lompatan karir itu dia lampaui selama sepuluh tahun berkarir di lembaga yang sama di AS. Hingga musim gugur ke sepuluh, gejala home sick mengguncang kejiwaannya. Dua kali dia mengajukan resign kepada bosnya, namun selalu ditanggapi guyonan oleh atasannya. “Are you crazy to do that (apa kamu gila mengajukan pensiun? red),” kata Iwan menirukan bosnya.
Bosnya pun tak kehabisan akal. Iwan lalu ditawari sebagai direktur Nielsen di wilayah North America yang membawahi wilayah Kanada dan sekitarnya. “Tapi saya bersikukuh untuk mengundurkan diri dan pulang ke Indonesia,” lanjut Iwan.
“Lalu, kenapa anda ingin sekali pulang ke Indonesia?” kata host acara tersebut. Iwan mengaku hanya ingin dekat dengan ibunya yang telah merelakan segala yang dimiliki untuk perjalanan suksesnya. Iwan mengaku bahwa keluarga, terutama ibu dan bapaknya, adalah spiritnya dalam menjalani hidup. “Saya ingin berbahagia berama ibu dan bapak,” ucap Iwan.
Selain itu , Iwan mengaku ingin membagi pengalamannya kepada generasi muda Indonesia. Menurut dia, anak-anak muda Indonesia mempunyai potensi melebihi yang dimilikinya. “Saya ingin menjadi motivator dan inspirator bagi mereka,” kata dia lugu.
“Lantas, apa aktivitas anda saat ini?” tanya host acara tersebut melanjutkan talk show. “Ya, backpacking, jalan-jalan, mengisi acara pada forum kampus,” jawab Iwan. “Menjadi pembicara di seminar, radio, teve,” lanjut Iwan disambut tawa pemirsa. Host acara tersebut semakin mengernyitkan dahi. “Ora bathi bondo, mung bathi seduluran (tidak banyak untung materi, tapi biarlah menjadi perekat persaudaraan, red),” ulas Iwan mengakhiri acara tersebut. Gema lagu Tanah Airku ciptaan Ibu Soed pun menjadi theme song penutup talk show inspiratif tersebut. (*)
Leave a Reply