Dalam sebuah berita, Ibu Eni Penjual Nasi ‘Korban’ Satpol PP mendapatkan donasi mencapai 232 juta dari orang yang bersimpati padanya. Ini menarik sekali karena netizen ternyata adalah makhluk sosial yang sungguh-sungguh ada. Netizen, masyarakat independent but connected dewasa ini, telah menunjukkan kekuatan dan sumbangsihnya dalam dunia yang oleh Alvin Tofler disebut future shock. Netizen mungkin saja memang mengalami shock, tapi shock itu mereka politisir menjadi kepedulian komunal.
Tanpa kecepatan jaringan internet dan kemuncul situs online untuk memberitakan Ibu Eni, dan juga sistem keuangan yang sudah mencapai tahap lanjut, donasi itu tidak akan terkumpul sedemikian cepatnya. Ibarat rindu, uang dan kepedulian telah menemukan medium penyampaiannya sendiri di era cyber. Apa yang terjadi di Serang, Banten, bisa dirasakan oleh netizen aktif di Sulawesi dan tempat lainnya.
Kepedulian, simpati, dan empati, adalah entitas yang sebelumnya tidak terbayangkan dalam dunia cyber. Untuk melakukan percepatan komunikasi, orang hanya membutuhkan gadged. Namun ternyata, dimensi kemanusiaan dari alat-alat tersebut masih ada. Zaman di mana SMS masih merupakan hal paling canggih yang pernah kita temui, kuota kata yang harus dikirimkan disiasati sesimpel mungkin. Tapi sekarang, sejak adanya aplikasi berbasis internet untuk berhubungan, kuota itu mulai tak ada. Orang tidak sekedar mengucapkan “aq kngn km, dmn bs brtm?” untuk mengajak ketemuan, tapi langsung disertai tempat dan jamnya, bahkan ada sisipan dari penanda lokasi (location tag) di mana tempat mereka menyepakati bertemu bilamana salah satunya tidak tahu. Google Maps akan mempertemukan mereka, tentunya jika tidak kehabisan paket data.
Gara-gara internet, bukan hanya simpati dan kepedulian pada Ibu Eni yang terlembaga dengan efektif. Ide-ide tentang e-government, e-wadul seperti di Surabaya, e-pajak, e-tiket, dan e- e- e- yang lain menguat seiring berkembangnya teknologi. Sepertinya, netizen juga perlu membuat e-rindu agar orang-orang putus asa dan jomblo urban yang tidak bisa lepas dari kenangan dapat cuap-cuap dan mendapatkan medium penyalur abab. Kebangkitan apa yang disebut Manuel Castel “dari Gutenberg Galaxy ke McLuhan Galaxy” ini juga menghasilkan download paper dan buku gratis, baik legal atau tidak. Ilmu pengetahuan jadi tidak terbatas di satu tempat saja dan penggunaaan kertas jadi makin terminimalisir. Semua itu bentuk nyata dari mediasi komputer dan ponsel pintar dalam komunikasi, yang melahirkan kontrol institusional berbasis virtual tapi riil, hubungan sosial, dan puncaknya adalah komunitas virtual yang berjejaring dari kamar kost-nya masing-masing.
Zaman dulu orang tidak bisa saling kirim foto, teleponan via Skype dengan jarak 12.000 km antara Berlin dan Madura dan stalking foto mantan di Instagram atau membuka file lawas di Google Drive hanya untuk melepas rindu seperti sekarang. Jika penggerebekan yang dilakukan Satpol PP pada Ibu Eni itu terjadi pada 1997, saat kamu baru lahir, Orde Baru hampir runtuh, krisisi moneter melanda Indonesia, Suharto baru kehilangan Bu Tin, dan Petrus mulai banyak yang pensiun, jangan kira donasi sebesar 232 juta itu akan terkumpul. Jadi, sangat mudah sekali jika mau menyimpulkan bahwa kepedulian pada ‘korban’ Satpol PP, e-government, dan gagal move on adalah produk globalisasi dan modernitas.
Dan, sayangnya, apa yang saya gambarkan di atas ini adalah apa yang terjadi di daerah-daerah urban di Indonesia, di mana dukungan sinyal, akses terhadap gadged, dan layanan publik sudah tidak lagi terganggu gunung-gemunung yang merintangi dan biawak maupun buaya yang mengancam seperti di pedalaman. Di Indonesia, urusan akses informasi dan penggunaan jaringan internet memang mengalami kekurangan. Informasi, akses, dan peralatan modern hanya terbatas di lokasi tertentu dan dikuasai oleh orang tertentu saja. Emak-emak di Pasar Merjosari mana tahu kalau ada warung makan digrebek Satpol PP di Serang gara-gara jualan di siang hari bulan ramadlan jika tetangganya yang muda-muda menggunakan gadged-nya hanya untuk main game online seperti Clash of Clans atau hanya menggombali target PHP di Line?
Saya jadi tertarik untuk menghimbau Satpol PP di Sumenep agar men-sweeping penjual pisang di Pasar Prenduan di siang hari bulan ramadlan. Tujuannya jelas: agar nanti masuk berita dan mendapatkan donasi dengan jumlah yang kira-kira sama dengan yang Ibu Eni dapatkan. Biar mereka cepat makmur. Pisang yang ditanam di Madura berdasarkan metode tanam-menanamnya jurnal Dept. Crop and Soil Washington State University pun tidak bisa menghasilkan uang sebesar Ibu Eni dalam tiga hari dari donasi sejak penggerebekan. Jualan pisang terus di bulan puasa tanpa kena sweeping, zaman ini, itu amat sangat menyedihkan. Kalau dikalkulasi, untuk mendapatkan 200 juta, petani pisang dengan lahan tak lebih dari tiga leket harus menunggu 268 purnama; 100 purnama lebih panjang ketimbang penantian Cinta terhadap kepulangan Rangga dari Amerika untuk menuntaskan rindunya.