Faktanya generasi milenial merupakan kelompok pemilih potensial yang dalam proses pemilu memiliki hak pilih yang sangat besar. Menurut data Kompas.com, populasi pemilih generasi milenial mencapai sekitar 40% lebih pemilih. Ini merupakan angka besar yang harus diperhatikan oleh para calon dan partai politik.
“Kelompok generasi milenial memiliki kecenderungan untuk berpikir sangat kritis dan terkadang tidak mempedulikan masalah sosial yang ada di sekitarnya, yang menurut mereka penting adalah soal gaya (hedonisme) yang tinggi. Generasi ini memiliki ide-ide yang terlalu idealis, sulit diprediksi atau dapat dikatakan masih berubah karena masih mudah dipengaruhi.”
Tampaknya ada kekhawatiran mengenai porsi dan posisi politisi muda dibandingkan dengan politisi tua (senior) dalam konteks politik Indonesia. Ada yang menganggap para politisi generasi pra milenial sering disebut ketinggalan zaman dan tak mampu membentuk negara yang kuat. Banyak kebijakan yang tidak efektif; juga tidak ada keberlanjutan dalam pembangunan, sehingga pembangunan kami lebih bernuansa tambal sulam daripada pembangunan jangka panjang.
Namun, hingga saat ini juga belum ada nuansa khusus yang dibawa oleh para politisi generasi milenial. Mungkin nuansa khususnya terletak pada upaya pemasaran politik, tetapi aspek politik dari kebijakan masih kurang. Generasi milenial yang kerap mengkritik generasi sebelumnya cerewet, korup, dan tidak efektif ternyata belum mampu mewarnai politik Indonesia dengan kondisi baru.
Hal ini bisa dimaklumi karena dari segi relasi kuasa, generasi milenial belum menguasai politik Indonesia. Partai politik kita masih sangat dikendalikan oleh politisi senior. Tidak hanya senior dari aspek fisik, tetapi juga senior dari aspek berpikir. Dalam konteks partai politik, mungkin Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sepertinya berusaha menampilkan kesan milenial. Namun demikian, kesan tersebut lebih merupakan kesan fisik daripada kesan pikiran. Tidak ada garis jelas yang ingin dilakukan PSI.
Milenial hidup di era informasi yang didapat secara terbuka dari internet, termasuk pilihan di dunia maya. Milenial juga menghadapi berbagai krisis mulai dari terorisme domestik hingga resesi ekonomi. Pengalaman sejarah unik para milenial ini telah membentuk mereka untuk terhubung dengan politik dan komunitasnya.
Ada banyak cara setiap warga negara dapat berpartisipasi dalam politik. Beberapa partisipasi politik warga negara termasuk memberikan suara dalam pemilu, mengirim pesan kepada pemerintah, berpartisipasi dalam protes atau demonstrasi, menjadi anggota partai politik, menjadi anggota organisasi sosial, mencalonkan diri untuk jabatan publik, memberikan kontribusi kepada partai atau politisi, dan berpartisipasi dalam acara penggalangan dana. Partisipasi politik generasi sekarang ini jauh berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi sekarang atau yang biasa disebut dengan generasi milenial yang menggunakan partisipasi politik melalui media digital seperti media sosial.
Generasi milenial melihat berbagai informasi tentang tokoh politik atau kasus politik terkini melalui media sosial yang mereka gunakan. Kampanye melalui iklan di media massa dan media online terbukti memberikan pengaruh tertentu terhadap perilaku memilih yang ditunjukkan masyarakat dalam pemilu. Efek ini dapat mencakup perubahan pendapat, persepsi, sikap, atau perilaku; mikro terjadi secara individu atau makro secara keseluruhan dalam sistem sosial; langsung atau bersyarat, karena masalah media tertentu saja atau secara umum; dan merupakan perubahan atau stabilisasi. Kampanye dengan menggunakan media konvensional kini kurang mendapatkan simpati di kalangan anak muda jika dibandingkan dengan kampanye menggunakan media sosial, karena banyaknya pengguna media sosial.
Pesatnya perkembangan media sosial memang tidak terbendung. Para aktor politik dan mereka yang memiliki kepentingan politik harus memanfaatkan media sosial selain untuk berkampanye sekaligus memberikan edukasi politik, khususnya bagi kaum milenial. Ini akan berdampak pada peningkatan kecerdasan generasi milenial sebagai bagian dari generasi emas Republik Indonesia sehingga tercipta masyarakat sipil.
Artinya, generasi milenial akan memiliki ketertarikan pada politik jika pendidikan politik bagi mereka dilakukan melalui media sosial. Jika pendidikan politik dilakukan melalui acara formal, mereka akan merasa tidak tertarik dan menganggap politik sebagai urusan orang tua.
Teori use dan gratifications menyatakan bahwa pengguna media berperan aktif dalam memilih dan menggunakan media serta berusaha mencari sumber media yang terbaik untuk memenuhi kebutuhannya. Teori ini juga menekankan bahwa khalayak aktif menentukan media mana yang harus dipilih untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagian besar generasi milenial sudah mampu mengaplikasikan teori use and gratification dalam kehidupan nyata, khususnya dalam dunia politik.
Pemanfaatan media digital dan generasi milenial merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam era digitalisasi saat ini. Media sosial menjadi akses utama generasi milenial untuk berperan dalam politik, mulai dari demonstrasi, boikot, opini, semua itu disalurkan melalui media massa seperti Instagram, Facebook, Twitter dan YouTube.
Catatan Refleksi Diskusi Webinar Youth Politicians Talk; Peran Politisi Muda dalam Reformasi Partai Politik
Leave a Reply