Era internet ditandai dengan kecepatan menyebarkan hal-hal dari yang bersifat penting hingga yang paling banal. Tiap hari tautan berita dari yang terpercaya hingga yang terhoax sekalipun dibagikan berkali-kali. Dari sekian yang tak jelas benar-salahnya itu, foto dengan muatan beberapa kalimat pendek untuk sekedar hiburan akan menjadi bahan untuk menertawai orang lain, pun diri sendiri. “Truk saja gandengan, masak kamu ngga?” atau “Galon saja diantar, masak kamu pulang sendirian?” Begitulah nada pertanyaan yang tak perlu dijawab itu, dan sejarah pasca Poppy Mercuri dewasa ini menyebutnya sebagai: meme.
Alat bantu penyebaran seperti media sosial dibarengi dengan kreatifitas membuat kalimat yang menarik telah menjadikan meme semakin signifikan sebagai tertawaan. Di Indonesia, apalagi yang memang lucu, yang serius seperti tertetapkannya Gatot Pujo, Gubernur Sumatera Utara, sebagai tersangka korupsi pun menjadi bahan tertawaan melalui meme yang konyol. Orang menulis status serius di Facebook yang kontennya setara tiga SKS kuliah semester enam bisa jadi dikomentari dengan gambar seorang polwan yang disertai tulisan “Di situ kadang saya merasa sedih”. Layaknya gambar yang disertai pernyataan, meme menyisakan suara yang sudah pernah kita rekam dalam ingatan.
Lain lapak lain barang dan harganya. Di bidang miring lain, para jomblo akan saling menertawakan diri dengan meme truk gandeng atau galon yang diantar. Meski pada dasarnya, isi meme ini mengandung kesalahan pikir yang paling mendasar. Meletakkan manusia yang selalu baper (baca: bawa perasaan) dengan truk atau galon di satu ranah analogi jelas keliru. Dalam ushul fiqih ini sama dengan qiyas yang keliru syaratnya. “Truk gandeng dan galon yang diantar” tak ada hubungannya sama sekali dengan “kamu ngga gandengan atau kamu yang pulang sendirian”. Jika kamu yang pulang sendirian dianggap sebagai kesalahan karena galon saja diantar, itu sama saja dengan menyalahkan Newton atas jatuhnya pesawat terbang karena dialah penemu teori gravitasi.
Meme politik
Merujuk Limor Shifman, pengaji budaya yang pada 2013 lalu menerbitkan bukunya berjudul Memes in Digital Culture, “Meme saat ini bukan sekedar lelucon sederhana, tapi ia tampil sebagai bagian kecil dari folklor posmodern yang disebarkan melalui media sosial.” Meme dapat berupa foto hasil permak Photoshop hingga video lipsynch amatiran. Shifman mencatatkan bahwa dari geliat penyuaraan inilah kadang meme menjadi alat bantu protes, imbauan, hingga gerakan pendudukan Wall Street, yang kebanyakan dikemas dalam nada konyol meski juga tak jarang yang serius.
Di lain kesempatan, meme berwujud sebagai alat kampanye dan partisipasi politik. Masih ingat dengan ‘I stand on the right side’ pada pertengahan tahun lalu di momen Pemilu? Ketika pengguna memasangnya sebagai foto profil atau display picture, meme telah menjadi identitas politik. Ia memberi batasan antara siapa yang salam dua jari memilih Jokowi dan yang memilih Prabowo sebagai presiden RI. Di beberapa negara juga mengalami hal yang sama pada penggunaan meme.
Gambar bungkus Tolak Angin diedit sedemikian rupa hingga jadi Tolak Bakrie; kampanye penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa juga di-meme-kan; ajakan bersepeda ke kampus untuk menghemat energi; penolakan pada praktik orientasi siswa dan mahasiswa juga demikian, disuarakan melalui gambar bersisi sama di Instagram. Contoh-contoh ini menarik sekian banyak massa dan meme menjadi semakin signifikan posisinya.
Baik berisi lelucon, kampanye, atau bahkan protes, meme telah menjadi alat baru partisipasi warga, di mana mereka bisa bersuara untuk menyatakan pandangan politik, berpartisipasi dalam perdebatan, atau sekedar tertawa bersama di era digital.
Leave a Reply