Ribuan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) menyambut gembira di Gedung Samantha Krida, Sabtu (30/10). Seribu lebih mahasiswa itu memang tengah menanti rapat terbuka senat UB dalam rangka wisuda tiga jenjang pendidikan. Mulai diploma hingga pascasarjana. Mulai peraih gelar ahli madya hingga doktor.
Tidak ada masalah dengan rapat senat tersebut. Yang menjadi masalah adalah mau dikemanakan seribu lebih lulusan tersebut? Padahal, setelah mereka diwisuda mereka membutuhkan pekerjaan untuk menghidupi mereka. Jelas, usia para sarjana tersebut dalam demografi termasuk usia produktif. Predikat usia produktif bervariasi, namun kebanyakan disandang sejak usia tujuh belas tahun hingga enam puluh tahun.
Ketidakjelasan tersebut sebenarnya sudah diantisipasi UB. Kampus plat merah tersebut telah membentuk Job Placement Center sebagai fasilitator penyalur lulusan kampus. Selain itu, Dikti Kemendiknas juga gencar menggerojok mahasiswa dengan dana segar menuju entrepreneurial university. Tujuan akhirnya, tidak ada alumnus UB yang jadi pengangguran.
Namun, sejatinya problem ini telah menjadi virus endemik dunia sejak resesi dahsyat terakhir yang terjadi pada 1990-an. Disusul dengan resesi pada 2001 saat terjadinya serangan 11 September dan awal 2008 saat harga minyak mentah dunia naik dua lipat per barel. Samuelson dan Wordhaus menyebut resesi sebagai penurunan aktivitas ekonomi yang merembet ke mana-mana. Indikator awal bisa dilihat dari persentase inflasi. Baru setelah itu berdampak pada ekonomi mikro. Termasuk kemampuan daya beli masyarakat.
Keadaan resesi ini bisa dipastikan terus memburuk. Antara lain ditandai dengan pengurangan tenaga kerja alias efisiensi produksi. Akibatnya, banyak pekerja yang dipecat. Keadaan ini yang disebut dengan depresi. Bila kebijakan fiskal dan portofolio yang diambil pemerintah tepat, keadaan ini bisa berubah bahkan pulih. Para pakar ekonomi makro membagi empat tahap siklus bisnis ini dengan puncak, resesi, depresi, dan ekspansi alias pemulihan.
Pengangguran Versi Makroekonomi
Namun, tak semudah membalikkan telapak tangan agar perekonomian ini bangkit. Negara harus menanggulangi para pengangguran mulai friksional, siklis, hingga struktural. Ada lagi penggangguran sukarela dan terpaksa.
Mereka yang dianggap pengangguran friksional adalah para pekerja yang acap kali pindah pekerjaan. Entah dengan alasan kesejahteraan atau alasan geografis. Sementara, pengangguran siklis biasanya disebabkan ketidakseimbangan antara permintaan tenaga kerja dengan lowongan kerja. Misal, tenaga kesehatan di Malang sangat melimpah. Namun, tenaga kesehatan di Wasior, Papua, sangat kurang atau minim. Mereka yang menganggur di Malang ini disebut dengan pengangguran siklis. Tenaga kerja tertentu melimpah di satu wilayah, namun di wilayah lain sangat kekurangan.
Di bagian akhir, pengangguran struktural ini yang paling banyak terjadi akibat tahap resesi. Sebagai bentuk efisiensi produksi, banyak pekerja yang dipecat demi kelangsungan usaha. Lalu, kapan kondisi resesi itu terjadi? Para pakar makroekonomi telah mempunyai perangkat ilmu untuk meramalkan hal itu. Bahkan, musibah ekonomi ini diramalkan tidak akan terjadi pada ekonomi Negara maju. Setidaknya hal itu diungkapkan Arthur Okun, penasehat Presiden AS Kennedy.
Sebab, goncangan hebat sektor makro itu hanya akan dirasakan para investor kelas kakap dengan durasi investasi 20 hingga 30 tahun. Para pelaku sektor riil tak perlu gusar atas goncangan ini. Dan para pengangguran bisa segera memulai bisnisnya pada sector riil.
Gambar:
https://transaksisaham.wordpress.com/category/great-depression/page/15/
http://www.flickr.com/photos/ub_pictures/sets/72157623907071889/detail/
500 Pelamar untuk 16 Kursi CPNS Depag
Referensi:
MAKRO ekonomi / Paul A. Samuelson, William D. Nordhaus; alih bahasa, Haris Munandar, Freddy Saragih, Rudy Tambunan. Cetakan ke-14. Jakarta: Erlangga, 2003.
Arivandro says
Ayo……, Nganggur bareng2 karo aku.
Hehehe…..