Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan belakangan ramai dibicarakan. Mirisnya, dari sekian kasus yang ada anak-anak menjadi korban utama yang sering mengalami tindak kekerasan. Bahkan tak jarang, pelaku adalah lingkungan terdekatnya, keluarga.
Satu tahun belakangan terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap anak. Dari yang mulanya 11.279 kasus pada 2020, menjadi 12.566 kasus pada November 2021. Dan yang mencengangkan, 45% dari kasus tersebut adalah kasus kekerasan seksual.
Kondisi ini menjadi tanggungjawab banyak pihak yang berada di lingkungan terdekat dari anak. Namun, tak jarang yang ditemui saat ini pelaku dari tindak kekerasan seksual pada anak adalah dari orang-orang terdekat mereka yang memiliki ruang untuk mendominasi lebih terhadap si anak. Lantas, jika keluarga saja dapat menjadi pelaku kekerasan. Di mana kemudian ruang aman bagi perempuan, khususnya anak perempuan?
Hal mendasar yang menjadi akar dari banyaknya kasus kekerasan seksual saat ini adalah dominasi sistem patriarki. Sistem ini seolah mengakar dan menjadi budaya yang dinormalkan oleh masyarakat. Rape culture ialah suatu kekerasan yang seakan-akan menjadi budaya yang dilanggengkan. Bahkan dalam beberapa kasus ketika seorang anak (laki-laki atau perempuan) di dalam suatu keluarga memiliki orientasi seksual yang berbeda akan dianggap sebagai suatu aib.
Dampak lebih jauh dari rape culture dalam kondisi ini adalah menimbulkan adanya corrective rape. Kondisi di mana untuk mengembalikan orientasi seksual dari anak tersebut maka tindak kekerasan pemerkosaan dianggap suatu cara edukasi untuk mengajari anak tersebut agar mengenali orientasi seksualnya.
Edukasi yang salah ini jika terus dibiarkan maka fungsi keluarga sebagai ruang pertama untuk upaya preventif kekerasan seksual pada anak akan terhambat. Pasalnya, mau tidak mau keluarga harus menjalankan fungsi ini. Karena pada usia tertentu, keluarga adalah elemen terpenting yang paling dekat dengan anak. Sehingga tidak jarang ditemui kasus kekerasan seksual yang terjadi dilingkungan keluarga dipicu karena adanya salah kaprah dalam memahami edukasi terkait pendidikan seksual kepada anak.
Kebanyakan dari orang tua yang masih awam dengan kajian ini beranggapan bahwa mengedukasi anak terkait pendidikan seksual adalah hal yang tabu dan tidak tepat untuk didiskusikan dengan anak. Padahal pada usia anak upaya preventif dapat dilakukan. Di mana saat rasa ingin tahu mereka sangat tinggi, harus diimbangi dengan edukasi yang tepat dan detail agar tidak timbul salah paham pada anak. Selain itu, upaya-upaya untuk terus membangun pola komunikasi dua arah antara anak dan orang tua perlu untuk dilakukan dengan komunikasi yang berkualitas. Agar terbangun rasa nyaman pada anak untuk menceritakan kehidupan sehari-hari mereka dengan orang tua. Sehingga sebagai orang tua akan mudah untuk memantau perkembangan dari anak.
Pemantauan perlu dilakukan. Hal ini dimaksudkan bukan untuk mengawasi, akan tetapi untuk lebih mengetahui agar anak terbuka dengan orang tuanya ketika dihadapkan dengan hal yang berkaitan dengan pendidikan seksual, bukan justru bercerita pada temannya tau mencari informasi sendiri tanpa di dampingi.
Fungsi dan peran keluarga di era teknologi yang semakin canggih harus terus diintensifkan dengan anak. Karena tidak bisa dipungkiri anak-anak saat ini jauh lebih dekat dengan media daripada dengan orang tua. Dari sini juga pemicu timbulnya beragam bentuk kekerasan seksual. Sehingga diharapkan ketika peran edukasi keluarga semakin kuat perspektifnya. Edukasi berfungsi dalam upaya penanaman akan kesetaraan dan keadilan bagi anak khususnya anak perempuan. Secara tidak langsung juga akan menjadi kontrol yang kuat atas proses edukasi yang berasal dari eksternal, seperti lembaga pendidikan dan lingkungan sekitar.
Oleh: Nuril Qomariyah (Peserta Diskusi Reboan Komunitas Averroes pada 22 Desember 2020 dengan tema Keluarga dan Tindakan Preventif Kekerasan Seksual Terhadap Anak)
Leave a Reply