Judul: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: ScriPta Manent
ISBN: 0979994615
Wanita adalah perhiasan dunia. Sebagaimana batu mulia, ia luhur-berada di posisi yang berbeda. Dan menutup aurat adalah cara terbaik untuk menjaga kemuliaannya. Namun, hal tersebut bukanlah pakem. Setidaknya begitu kata Muhidin M. Dahlan. Ia menggugat-dengan sebuah gambar wanita mengenakan hijab bertuliskan, “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur.”
Gus Muh (panggilan akrab Muhidin) adalah seorang novelis tersohor di Indonesia. Karya-karyanya selalu memiliki khazanah dan karakteristik yang berbeda dengan karya lain. Novel “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur” adalah yang paling tersohor nan fenomenal. Pasca penerbitan, novel ini dipenuhi pro-kontra. Saking ekstremnya, sampai-sampai ada organisasi Islam yang membakarnya. Karena dianggap terlalu menyudutkan Islam (mereka).
Perjalanan Nidah Kirana
Novel ini berisi perjalanan seorang wanita bernama Nidah Kirana dengan dunia kampusnya. Dikisahkan bahwa Kiran yang berasal dari Gunung Kidul sedang dalam pencaharaian bentuk terbaik agama. Dalam pencahariannya, ia beberapa kali mengikuti organisasi mahasiswa dengan background Islam.
Hingga akhirnya, oleh Rahmi, temannya, ia diperkenalkan dengan sebuah jamaah Islam garis keras. “Mau. Aku mau. Kapan biasanya pengajian itu, Mi?” (Hlm. 24). Setelah masuk dalam jamaah tersebut, Kiran menjadi anggota yang berdedikasi tinggi. Segala kegiatan jamaah ia ikuti, tak pandang jarak dan waktu. Apalagi, ia begitu kagum dengan ilmu dan perangai ustadznya.
Saking besarnya keinginan untuk menjadi hamba yang kaffah, ia menjalankan segala ritus sufistik. Ia menganggap bahwa konsepsi keimanan yang diberikan jamaahnya adalah yang paling benar. Ia menghindari nasi dan daging, tiap hari ia puasa, tiap malam ia duduk tafakkur dan menangis memohon ampunan.
Setelah beberapa waktu, Kiran mulai bingung dengan konsepsi Islam yang ada di jamaahnya. Visi organisasi untuk mendirikan daulas islamiah coba ia kritisi. Namun, bukannya jawaban yang ia dapati, malahan doktrin dan pertanyaan balik tentang iman yang ia miliki. Ia tak mendapatkan jawaban sebagaimana pertanyaan yang ia ajukan.
Lambat laun, pertanyaan seputar Tuhan dan konsepsi Islam makin membuncah dalam dadanya. Ia sering merenung untuk menemukan jawaban dari segala pertanyaannya. Hingga akhirnya ia merasa terbohongi oleh agama. Segala pertanyaannya seolah “dihindari” oleh Tuhan.
Sampai akhirnya, Kiran berada di titik terendah pancaharian akan agamanya. Ia marah dan menggugat Tuhan yang terus berlari menjauhinya. Ia memberontak. Ia ganti seluruh ideologi, iman dan busananya. Ia bersiap menyembah dan menjadi iblis. Agar Tuhan melihat segala tentangnya.
Kiran menjadi penghamba iblis nomor satu. Jubah gombrangnya ia tanggalkan. Muslimah yang taat itu tetiba berubah menjadi Iblis. Ia mulai merokok, menggunakan narkoba, hingga melakukan seks bebas. Ia total-menjadi hamba iblis.
Dalam dunia keiblisannya, ia menemui fakta mencengangkan bahwa orang yang dahulu ia pandang sebagai orang santun dan taat pada agama, takluk di bawah kuasa birahinya. Ia bersetubuh dengan seorang aktivis, ustadznya dahulu, hingga dosen yang amat terkenal karena keimanannya.
Tingkatan menjadi pemberontak Tuhan ia naikkan. Ia kemudian menjadi ayam kampus, menjajakkan diri pada setiap orang yang mau dan mampu membayarnya. “Tapi aku yang sudah bersiap masuk dalam dunia pelacuran tak mungkin lagi memberikan apa pun yang bersifat batiniah, cinta dan sebagainya kepada lelaki hidung belang seperti anggota DPRD di hadapanku ini. (Hlm. 220).
Menjadi Hamba yang Kaffah
Novel ini akan terasa kontroversial jika hanya ditelisik secara tekstual. Namun jauh daripada itu, lewat karakter Kiran, Gus Muh seolah ingin memaparkan realitas yang banyak terjadi di kehidupan ini. Baik mbobroknya sebuah instansi maupun individu.
Nidah Kirana adalah prototype terbaik sebagai seorang hamba. Baik hamba Tuhan maupun iblis. Ia tak pernah setengah-setengah. Keberanian Kiran patut dijadikan contoh untuk menjalankan kehidupan yang lebih baik. Kita semestinya kaffah sebagai seorang muslim. Sekaffah Kiran dalam keiblisannya.
Mereka yang menjauh dari agama, banyak juga ditengarai karena tak menemukan keimanan terbaiknya. Malahan, mereka hanya mendapatkan dogma, bukan jawaban atas alasan penghambaan.
Secara pribadi, saya sebenarnya ingin mendapati happy ending. Kiran menyesal dan bertaubat, ia kemudian menikah dan menjalani hidup bahagia. Namun, Gus Muh seperti ingin memberikan alternatif lain pada ending cerita. Kiran tetap menengadah, memantapkan diri, meneguhkan hati, mengulang kalimat pemberontakannya pada Tuhan.
Kiran adalah contoh mereka yang tersesat karena pencaharian dan keputusasaan. Bukan karena kesalahan agama. Artinya, novel ini menjadi lucu ketika dikatakan merusak Islam. Karena Gus Muh secara tersirat mengetengahkan seperti apa individu yang dapat menyebabkan Islam tercoreng. Jadi, jelas bahwa yang rusak adalah individunya, bukan agamanya.
Sumber gambar: http://1.bp.blogspot.com/-SJwSxcDBqUI/UZUYegUg8WI/AAAAAAAAAF4/uNVtstNJQkY/s1600/wanita-bercadar-415×300.jpg