“Dangdut musicians and devotees have themselves been slow to examine critically the genre they invented and nurtured”.
Kegelisahan sebagai bagian dari dangdut semakin menggelegak manakala bacaan saya sampai pada halaman 104 tulisan William H. Frederick ini. Teruntuk Mr Frederick, ikhlaskan para pelaku dan penikmat dangdut berkarya, biarlah tanggung jawab mengkaji dangdut ada di pundak saya. Semampu–mampu saya, pelan-pelan akan saya kaji berbekal apa yang saya punya dan apa yang saya bisa. Tentu kajian saya tentang dangdut akan sangat bergantung pada pengalaman hidup bergelimang dangdut sebatas 24 tahun usia saya. Jika suatu ketika ada akademisi atau pelaku dangdut yang tertarik untuk berbagi beban mengkaji dangdut, saya akan sangat berbahagia.
Kajian mengenai musik populer meningkat secara dramatis beberapa dekade terakhir. Namun demikian, dikatakan oleh Weintraub (2012) bahwa kajian mengenai musik populer yang kontekstual terhadap genre tertentu (secara spesifik) masih kurang. Dalam waktu yang bersamaan, Dangdut menyeruak di seluruh pelosok Indonesia, bahkan melewati batas negara hingga beberapa negara Asia dan Amerika. Sudah bisa dibayangkan, kajian mengenai dangdut dan segala aspek yang meliputinya pun amat sedikit.
Era Pra-Dangdut
Sejatinya unsur-unsur yang membentuk dangdut telah lama ada di Indonesia. Sebagaimana ditulis oleh beberapa referensi yang ada, penamaan dangdut pertama kali dicetuskan oleh Rhoma Irama. “Dang-Dut” adalah onomatope (bunyi tiruan) untuk suara gendang. Tak hanya meniru suara gendang, kata “dang-dut” juga diucapkan dengan ekspresi sinis mencibir oleh sebuah artikel majalah musik di tahun 1970an. Pada masa itu dangdut dianggap musik rendahan oleh para musisi maupun penggemar genre yang berasal dari Barat.
Kenapa dianggap rendahan? Banyak faktor yang mempengaruhinya. Pertama, dangdut diidentifikasi masyarakat luas berakar dari musik Melayu Deli (meskipun masih ada perdebatan antara Rhoma Irama dan Elvi Sukaesih mengenai akar pembentuknya), Sumatera Utara, yang juga berarti musik asli pribumi. Di sisi yang berseberangan, ada musik “impor” yang berasal dari barat yang dianggap lebih modern dan up to date. Kedua, musik Melayu sebelum dinamakan dangdut memang lebih banyak diminati oleh kelas pekerja (rendah). Ketiga, dangdut banyak diuntungkan oleh rezim Soekarno yang anti budaya Amerika dan Eropa. Pada tahun 1965, Presiden Soekarno memenjarakan anggota grup musik Koes Bersaudara. Dalam pidatonya, Soekarno juga mengatakan bahwa musik pop Amerika bising “ngak-ngik-ngok”. Di sisi lain, musik maupun film India dan Timur tengah beredar bebas di Indonesia. Karena pembatasan-pembatasan budaya Barat ke Indonesia inilah akhirnya musik India dan Arab mempengaruhi musik Melayu. Percampuran antara 3 musik ini kemudian semakin populer dan menyulut emosi para pihak yang dirugikan hingga berujung pada penghinaan bunyi “Dang-Dut”.
Frederick (hal. 103) mengemukakan bahwa dangdut diproduksi oleh seorang super star sejati di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa Rhoma Irama lebih dari seorang super star biasa yang hanya berarti sosok penting dan terkenal, yang hanya bermakna bagi kalangan dengan tingkat perekonomian atau intelektualitas tertentu. Rhoma Irama adalah bintang bagi massa yang sesungguhnya, bagi kalangan elit dan alit, bagi kalangan konglomerat hingga orang-orang melarat.
Dangdut telah berperan penting dalam industri hiburan dengan berbagai varian output mulai dari lagu, radio, film dan berbagai program televisi. Bukti kekuatan dangdut sudah teruji dengan lemparan kritik dari berbagai sudut pandang yang nyatanya tak menyurutkan kesetiaan penggemarnya di seluruh Indonesia.
Ungkapan Frederick yang juga diamini oleh Weintraub (2012) menyatakan bahwa kekuatan dangdut yang amat besar tak banyak disadari oleh para pengkaji Indonesia. Pun demikian dengan para sarjana Indonesia yang mengenyam pendidikan barat, menganggap dangdut sebagai musik aneh dan rendahan yang kurang layak dikaji, Kiranya benar ungkapan kedua ilmuwan tersebut, “kritikus” dangdut selalu mengulang-ulang deskripsi seputar praktek porno aksi. Kiranya otak mereka tak mampu lagi berpikir ilmiah manakala terbentur pinggul yang digoyang-goyang seirama dentuman gendang.
Biografi Sang Raja
Bagian berikutnya, Frederick membahas mengenai sosok Rhoma Irama. Seorang anak dari kapten tentara yang berkelas ekonomi menengah. Ayahnya menginginkan Rhoma memanfaatkan pendidikan di Jakarta untuk menjadi dokter di masa mendatang. Sayangnya pada usianya yang ke 10, ayah Rhoma meninggal dunia. Kesulitan perekonomian memaksa mereka untuk pergi ke Bandung demi keberlanjutan pendidikan Rhoma kecil. Meskipun mendapatkan bantuan dari kerabatnya, tugas seorang ibu bagi anak yang tak lagi memiliki ayah tetaplah berat.
Masa Remaja Rhoma Irama dihiasi oleh semangat menggebu untuk menjadi seorang musisi. Ia pernah membentuk sebuah Band bernama Gayhand, memainkan lagu-lagu Beatles, Paul Anka, Tom Jones dan Andy Williams. Rhoma kembali ke Jakarta untuk menempuh pendidikan SMA di beberapa sekolah. Ia juga menyenyam pendidikan tinggi di Universitas 17 Agustus sebelum akhirnya ia menyerah karena merasa lebih cocok menjadi seorang musisi.
Secara tiba-tiba Rhoma Irama berpindah haluan dari pop dan Rock barat menjadi penyanyi Melayu. Tahun 1968 ia bernyanyi untuk Orkes Melayu (OM.) Purnama, di grup inilah ia bertemu Elvy Sukaesih, sosok yang di kemudian hari disejajarkan dengan Rhoma sebagai Ratu Dangdut. Oleh Rhoma, OM Purnama dianggap sebagai musik Melayu yang bernuansa baru dan menarik. Dari sinilah Rhoma merasakan pengalaman baru, dengan audiens yang lebih besar daripada musik yang ia geluti sebelumnya. Pengalamannya bersama OM Purnama pula yang mempengaruhinya untuk merencanakan gaya musik dengan spesifikasi populer, memotong batas lintas kelas dan identitas orang Indonesia, harus pula modern, membawa pesan namun sederhana dalam bahasa serta mudah dipahami oleh kalangan muda. Ujungnya, musik baru yang akan dikreasikan oleh Rhoma Irama harus benar-benar steril dari kekerabatan musik gaya Barat dengan tujuan membentuk gaya Indonesia atau setidaknya gaya timur (Melayu Deli yang sudah berbaur dengan India dan Arab).
Pada tahun 1971 Rhoma Irama membentuk OM Soneta. Sebuah kelompok musik yang sejatinya masih berfondasi dan berpola seperti Orkes Melayu pada umumnya. Kemudian, ia mendapat inspirasi, setidaknya untuk menciptakan image baru bagi kelompok musiknya. Ketika awal orde baru banyak bermunculan diversifikasi perusahaan bisnis dengan nama seperti Sinar Group dan Kartini Group. Dengan ini, Rhoma mengubah nama OM. Soneta menjadi Soneta Group.
Soneta antara 1971 hingga 1974, dianggap Frederick lebih banyak menghasilkan variasi instrumen, nada dan tekstur musik daripada yang dihasilkan versi Orkes Melayu. Soneta Group juga menjadikan musik lebih semangat dan ekspresif dibandingkan model India. Sebagai komposer dan penggubah lagu, Rhoma memiliki kedalaman makna dan tujuan (hal. 110). Pun demikian dalam liriknya, ia memberikan warna baru, dangdut tak lagi menggunakan pantun atau sajak berima sebagai bahan dasar lagu.
Pada tahun 1975, Rhoma Irama bersama Elvie Sukaesih dan Soneta menunjukkan gaya yang benar-benar revolusioner. Jika musik Melayu bercirikan menggoyangkan kaki, Musik Soneta secara terbuka mengajak berjoget. Sebuah goyangan badan dengan dominasi gerakan pinggul yang lebih mirip gaya rock and roll daripada gaya jaipong. Dalam video clipt lagu Mari Joged, Rhoma berpesan bahwa Soneta adalah musiknya anak muda. Semua musisinya berambut gondrong, bermain gitar sambil berjalan-jalan serta gaya Rock urakan yang tak lazim dilakukan oleh musik Melayu kala itu. Untuk menarik perhatian pasar muda, Rhoma, dalam salah satu sesi wawancara dengan Weintraub (2012) menyatakan: “… kita pakai gitar elektrik. Rock dulu pakai pakaian ketat, rambut panjang dan sepatu tinggi. Kita pun bikin sepatu tinggi dan pakaian ketat. Mereka jungkir balik di pentas, kita juga jungkir balik di pentas…”
Pada perkembangan terakhir, Rhoma terus mengeksplorasi hingga mengawinkan dangdutnya dengan pengaruh Deep Purple. Nuansa nada bass mellow namun tetap hidup dilengkapi suara vocal bernada tinggi menjadi bagian musiknya. Beberapa contoh lagu yang nampak nyata adalah Judi, Santai, Sahabat serta Badai Fitnah.
Musik Oposan Hingga Raksasa Film
Tahun 1976 Rhoma bersama Soneta mulai menjajaki dunia baru yakni film layar lebar. Judul film pertamanya adalah “Penasaran”. Film ini memberikan pesan moralitas tentang kisah cinta si miskin dan si kaya. Pasca film penasaran, dangdut Soneta semakin kokoh, memiliki pengaruh yang lebih luas, lebih menarik, dan lebih berfokus pada tujuannya, pesan perubahan dan moralitas.
Beberapa faktor yang semakin meneguhkan Soneta khususnya Rhoma Irama diantaranya: Pertama, pasca menunaikan Ibadah Haji, secara pribadi dan karya, ia kemudian menjadi semakin religius. Rambut yang semula gondrong kemudian dipotong pendek nan rapi. Nama yang sebelumnya Oma ditambahkan menjadi Rahmat Haji yang kemudian disingkat menjadi R.H.Oma/ Rhoma. Kedua, pemilu 1977, memberikan peluang bagi Islam yang memiliki sosok pujaan. Tak pelak lagi, konten karya Rhoma kemudian yang islami dengan penggemar yang besar dijadikan corong politik. Dalam bahasa Frederick, “sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa dangdut terbukti menjadi alat politik dan memiliki kemampuan untuk menjangkau khalayak massa”. Rhoma sempat dicekal oleh pemerintah karena lagunya yang berjudul “Hak Asasi Manusia”. Di saat yang bersamaan ia juga menjabat sebagai juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (oposisi bagi pemerintah Orde Baru). Maka lengkap sudah alasan pemerintah Orde Baru untuk melarang peredaran kaset, pemutaran di RRI dan penampilan di TVRI.
Meskipun dicekal untuk tampil di TV, Rhoma tak kehabisan akal untuk tetap berkarya dan berinteraksi dengan penggemarnya. Tahun 1977 ia membintangi film kedua dan ketiga yang berjudul Gitar Tua Oma Irama dan Darah Muda. Pada masa pencekalan ini ia justru lebih produktif bermain film musikal dengan tetap memproduksi lagu sebagai soundtrack. Dengan ini ia tak hanya seorang Raja Dangdut tapi juga Raksasa Film Indonesia.
Ditulis dalam kerinduan berat kepada Bapak, yang mendidik saya hingga sedangdut ini, yang tak pernah membiarkan saya pergi bedangdut seorang diri.
Referensi:
Frederick, William H. 1982. Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture. Southeast Asia Program Publications at Cornell University. Hal 102-130.
purwo says
bagian ke-2 nya mana
MasBen says
Ditunggu ya, Mas.
Dani Firmansyah says
Author saya adalah mahasiswa Desain Komunikasi Visual, yang sedakn meneliti cover album musik OM.Soneta Rhoma Irama, dikiranya author memiliki informasi dan kajian mengenai beliau untuk dibagi tentunya saya akan sangat senang dan itu sangat membantu saya dalam penelitian ini. Terimakasih author
Sehat terus 🙂