Satu hal yang selalu mewarnai sejarah manusia. Selalu menjadi hits dan topik utama.
Tak luntur oleh siraman hujan, tak lapuk meski kemarau berkepanjangan.
Ialah cinta.
Tema cinta selalu memukau dalam kisah perjalanan manusia, terselip manja diantara kisah kepahlawan dan kemasyhuran di setiap kronik penggalan jaman. Dari Rama dan Sinta, Romeo dan Juliet, hingga kisah Aril dan Luna Maya. Dari kesekian tersebut, tergambar jika setiap jaman terdapat kisah cinta yang melegenda. Artinya, tema cinta tak bisa dilepaskan begitu saja dari diskursus sosial dan diskusi pujangga ilmu pengetahuan.
Cinta adalah topik populer yang begitu mudah didengar dan didapatkan. Cinta digambarkan sebagai alat pemersatu antara kelebihan dan kekurangan. Sebagai media yamg mampu mengakomodir setiap perbedaan dan ketidakteraraturan dalam banyak dimensi. Ia terbebas dari suatu aspek tertentu. Datang tanpa mengenal waktu. Nahasnya, ia juga sering pergi tanpa permisi.
Berangkat dari ketidaksengajaan, cinta telah membawa anak manusia menemukan kekuatan baru. Tatkala sedang kasmaran misalnya, bunga-bunga cinta seringkali mengalahkan logika. Mereka yang tengah jatuh cinta akan tampil berbunga dan mungkin mirip orang gila. Mengapa? Karena ia sedang dalam ketidaksadaran. Setidaknya begitulah gambaran mengenaskan mereka yang sedang kasmaran. Efeknya yang besar membuat manusia dihadapkan pada dua sisi mata uang. Menjadi bijaksana atau menjadi budak cinta.
Setidaknya, ada dua alasan mengapa cinta harus diulas. Pertama, karena sering dan mudahnya manusia mengucap cinta. Sehingga dalam terminologi tertentu cinta mengalami pergeseran makna. Jika dahulu cinta adalah hal yang sakral dan tabu untuk diungkapkan. Kini cinta bak jajanan sekolah, yang oleh manusia diumbar begitu mudah.
Kedua, tentang hakikat cinta. Menurut Buya Hamka, cinta mampu menguatkan yang lemah menjadi kuat, begitupun sebaliknya. Jika ditelisik lebih dalam, kehakikatan cinta sama dengan pencaharian hakikat hidup. Perlu waktu yang lama untuk sekedar mengartikan, apalagi mengertikan. Lantas, apakah cinta sanggup menerima antara yang kaya dan miskin? Atau mampu menyejajarkan mereka yang tidur di tanah dengan mereka yang nyaman diatas permadani? Ahh, tentu saja saya tak percaya.
Oke. Let’s Serious!
Ada dua instrumen penting dalam relasi cinta, antara cemburu dan Nafsu. Kecemburuan adalah resistensi yang terbesar dalam cinta. Kegandrungan membuat pemiliknya teralienasi dari struktur sosialnya. Dunia yang baru berimbas pada kemunduran dalam berbagai aspek. Kebiasaan membaca, menulis hingga perilaku regilius terkadang memudar. Inilah spionase cinta yang memabukkan. Menjadi hukum jika hubungan cinta membuat manusia kehilangan beberapa temannya. Hubungan baru selalu dibarengi dengan keretakan pada hubungan lain.
Hegemoni cinta tak kalah hebat dibandingkan dengan agama. Gandhi pernah berkata bahwa hakikatnya orang hidup adalah tentang berbagi. Dan di posisi ini, cinta adalah landasan terkuat dari makna berbagi. Ia akan berubah dari sekumpulan aktivitas hubungan yang secara berangsur bertransformasi menjadi hukum baru. Dimana hukum tersebut bersifat mengikat.
Sedangkan, nafsu adalah ruh terbesar cinta. Namun, kita perlu menggarisbawahi jika nafsu tak melulu tentang hal-hal negatif. Lebih jauh, nafsu juga berbicara tentang naluri memiliki, mendekati dan menikmati setiap detik yang bergerak. Kecenderunganya ialah tak bisa jauh dari objek yang dicintainya. Ia akan mencoba untuk selalu dekat. Selayaknya medan magnet yang tercipta antara plus-minus dengan sifat tarik-menariknya. Pada akhirnya, pertemuan adalah keharusan.
Kita sepakati jika penjelasan diatas adalah imbas negatif cinta, terutama bagi mereka yang tak mengenal hakikat cinta. Namun begitu, fakta tersebutlah yang paling mewabah dalam diri anak manusia. Hal tersebut kemudian menjadikan cinta (pra-nikah khususnya) resisten. Karena cinta itu menyandera, terutama bagi mereka yang tak bisa menundukkan logika. Dan umumnya, hal ini terjadi pada mereka yang masih amatir atau beginner.
Berangkat dari sini, candu menjadi satu kata yang haram ditidakkan. Selaras dengan hal tersebut, benih-benih adiksi cinta yang semu pun mulai bermunculan. Kolaborasi nafsu yang menggebu dengan intensitas pertemuan yang tinggi semakin menguatkan volume libidul-birahiyah. Tidak ada cinta tanpa peluk, bukan cinta jika tanpa kecup. Akhirnya, cinta bermimikri menjadi tindakan asusila.
Setelah fase ini, perlahan pandangan manusia tentang cinta mulai berubah. Lebih jauh, cinta menjadi spirit pelegalan aktifitas asusila. Jika dahulu cinta adalah tentang kita. Kini ada pihak ketiga. Cinta adalah tentang aku, kamu dan senggama.
Bersambung . . . .
Leave a Reply