Persepsi Awal Hanya Mengatur Rokok
KONON katanya, rokok pertama kali ditemukan di Benua Amerika sana. Suku asli setempat, Indian, menggunakan rokok untuk kepentingan pemujaan arwah. Lambat laun, rokok juga menjadi simbol persahabatan bagi suku Indian dengan suku asing. Kira-kira, soal rokok itu sudah ada sejak abad 15 sekaligus jika dikaitkan dengan mendaratnya Columbus di Amerika.
Nah, siapa sangka kini rokok menjadi sebuah gaya hidup dengan segala varian cita rasa. Ada kretek tanpa filter, kretek filter, hingga kretek filter dengan brand mild. Itu yang jamak di Indonesia saja. Masih ada rokok putih bikinan bule-bule yang memang diracik tanpa cengkih. Makin banyak sekali pilihan para ahli hisap rokok. Maka, tidak mengherankan jika rokok juga menjadi gaya hidup yang sangat kentara bagi masyarakat Indonesia. Apalagi orang Indonesia umumnya, khususnya Jawa, memang dikenal berbudaya oral, suka kongkow, dengan sajian jajanan gorengan palawija. Terlebih bila ditemani secangkir kopi. Komplit sudah.
Namun, rokok yang mulai menggeliat sejak abad 18 di Indonesia itu kini mulai memasuki babak baru. DPR melalui badan legislasi (baleg) telah memasukkan pembahasan rancangan undang-undang pengendalian produk tembakau dalam program legislasi nasional (prolegnas). Merujuk data prolegnas 2011, RUU ini berada pada urutan 27 dengan status carry over 2010. Artinya, masih dalam tahap penyusunan naskah akademik oleh DPR. RUU ini sendiri mulai dibahas sejak 2008 lalu dengan kemajuan pembahasan yang tidak terlalu signifikan (akan dibahas lebih lanjut melalui tulisan lain).
Pada uji publik yang diselenggarakan UGM di Surabaya pertengahan Maret 2011, terdapat beberapa poin yang disebut sebagai latar belakang pentingnya rokok ini diundangkan. Setidaknya, dalam sepuluh tahun terakhir ini keberadaan industri hasil tembakau menjadi salah satu industri yang kontroversi di berbagai dunia, termasuk Indonesia. Industri ini merupakan industri legal, bermanfaat secara ekonomis dan keberadaan industri tersebut dilindungi oleh undang-undang. Namun, di sisi lain produk industri ini dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan konsumen.
Oleh karena itu, undang-undang yang telah diujipublikkan di empat kota, yakni Jogjakarta, Jakarta, Surabaya, dan disusul Mataram ini, akan melingkupi banyak aspek. Antara lain, perlindungan kesehatan, perlindungan anak, perlindungan konsumen, ekonomi dan tenaga kerja. Disusul aspek industri, sosial-budaya-politis, pendapatan negara, persepsi ulama, serta rasa keadilan dan keberlanjutan petani tembakau dan cengkeh.
Berbagai aspek itu sangat layak diperhitungkan karena masing-masing berkaitan jika ditelisik data dan fakta. Data dan fakta tersebut yang akan menggiring berbagai pengaturan dalam undang-undang ini. Antara lain, produksi tembakau, produksi hasil tembakau, penjualan produk tembakau, pengemasan dan pelabelan. Disusul iklan, promosi, dan sponsor, kawasan tanpa rokok dan terbatas merokok, tanggung jawab pemerintah, serta hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat.
Dalam perkembangannya, undang-undang ini mengalami perdebatan yang sangat alot. Tarik menarik kepentingan sangat kental utamanya oleh pelaku industri tembakau, petani tembakau, masyarakat konsumen, bahkan ulama. Pemerintah sendiri terlalu cekak jika melihat undang-undang ini hanya dari aspek rokok dan cengkeh. Padahal, tembakau tidak melulu soal rokok dan nikotin. Beberapa publikasi ilmiah menyebut varian tembakau mempunyai manfaat kesehatan sebagai obat penyakit kanker getah bening. Dari semula undang-undang pengendalian dampak produk tembakau, pelan-pelan bergeser menjadi pengendalian produk tembakau.
Nah, undang-undang ini salah satunya akan mengatur peran masyarakat, misal kampus, untuk melakukan riset berkaitan dengan pengembangan tembakau yang bermanfaat. Sekaligus akan mengatur dana cukai tembakau dari pemerintah yang digunakan untuk berbagai riset ilmiah tersebut. Jika benar demikian, tembakau yang banyak dibudidayakan di Madura sana akan mempunyai nilai manfaat lebih. Tidak hanya sebatas rokok saja yang harus diakui mempunyai banyak kemudaratan secara medis. Maka, semangat undang-undang semacam ini layak untuk terus didorong (*)
Leave a Reply