Tidak tertulis, tidak terekam dan tidak terdokumentasi dalam foto selfie. Begitulah kondisi dan situasisasi yang menandakan keberadaan unggah-ungguh. Jika dialih bahasakan, unggah-ungguh berarti sopan santun atau tata karma. Sekumpulan nilai yang dijunjung tinggi dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk jati diri dan penghormatan terhadap diri sendiri maupun orang lain (Jareku: 2015).
Mmembincang unggah-ungguh, mengingatkan saya kepada pesan Bapak sekitar 15 tahun 7 bulan 23 hari 3 jam 49 menit 14 detik yang lalu.
“Cung, lak wayahe mangan iku sing apik. Ojo lali berdo’a, kecapane ojo banget-banget suarane, lek iso ojo ngombe pas mangane durung entek. Sing paling penting, pas wayahe mangan usahakno ojo gelegek’en banget-banget suarane”. (Nak, kalau kamu sedang makan itu bertingkahlah yang baik. Jangan lupa berdoa, suara mulut jangan terlalu keras, kalau bisa jangan minum sebelum makananmu habis. Yang paling penting, saat makan usahakan jangan bersendawan dengan suara keras).
Dalam pikiran saya kala itu, jangan-jangan saya ini punya trah (baca:keturunan) kerajaan atau datuk, makan saja peraturannya banyak sekali. Pada akhirnya pikiran tersebut harus saya relakan karena ternyata dari dulu saya “cuma” keturunan petani, paling tinggi cicit saya yang pernah menjadi seorang jogo tirto, sebuah jabatan tertinggi sebagai penguasa air di desa (ya kami adalah satu satunya keluarga Suku Air Selatan yang tersisa di Tracal Lamongan, Katara dan Sokka adalah sepupu saya).
Pagi ini, di rumah mewah yang kami gunakan sebagai markas besar untuk ngiler dan nyuci pakaian, seluruh –Suku Air Selatan– anggota kontrakan punya agenda besar. Meski tak sebesar pelantikan presiden baru, agenda kami tak kalah mewah dengan pertandingan el clasico. Persiapan saja memakan waktu hampir 1 jam. Agenda besar kami pagi itu adalah masak dan makan bareng (besar kan?). Saking besarnya agenda tersebut, kami terkadang mengirim sms atau bbm ke beberapa orang (baca: pacar) (tambahan kurung ini sebagai catatan untuk yang punya pacar saja) bahwa kami akan memasak. Ahh, pikiran kamipun begitu bangga bisa pamer ke pacar (lagi-lagi tidak untuk yang jomblo) bahwa kami sedang dan bisa memasak.
Agenda memasak dimulai dengan pertengkaran mengenai siapa yang harus berangkat ke pasar. Cowok yang mengaku tampan, merasa keren dan kece mana yang mau berangkat ke pasar?. Akhirnya, mereka yang sudah punya pacar terpaksa berangkat karena para jomblo menggunakan argumen azaz pertimbangan menjaga nama agar tetap marketable di mata wanita. Tidak ada hal yang menarik untuk diceritakan dari perjalanan selama di pasar. Kecuali perihal lupa tidak membawa uang untuk belanja atau bertemu mantan dengan pacar barunya yang lebih tampan dan kaya.
Sepulang dari pasar, tim inspeksi mulai melakukan sortir dan memberikan standar kelayakan bahan-bahan makanan yang sudah dibeli. Beberapa masuk daftar buang, sementara yang lain mengantri di daftar tunggu untuk dimasak. Para kaum lelaki dengan standar tinggi inipun mulai melakukan kegiatan mengiris, menggoreng dan ngulek sambal. Sembari ditemani alunan music yang sudah kami sepakati sebagai music favorit bersama, lagu kabhi kushi kahbhi gham miliknya Bu Nyai Lata Mangeshkar.
Akhirnya, makanan yang kami buat dengan keringat dan tetesan darah gegara teriris pisau jadi juga. Menu sayur asam kangkung, tempe goreng, dadar jagung, telur ceplok dan sambal korek sudah siap untuk disantap dengan cara seksama dalam waktu sesingkat-singkatnya. Satu persatu mulai mengambil jatah masing-masing, ada yang dengan porsi kuli, porsi priyayi, ada pula yang hanya mengambil sambal tanpa nasi.
Dengan lahap kami mulai menikmati masakan yang sudah matang tersebut. Saat mulai menikmati butir-perbutir nasi, kami dikejutkan dengan suara asing yang tiba-tiba terdengar. “Tiuuuuutttttt”, jangkr*k!, itu suara kentut. Seketika semua mata tertuju dari arah suara tersebut. Dengan hati yang mulai misuh-misuh dan suara-suara umpatan, kami mengekspresikan kekagetan kami atas insiden tersebut. Kontroversi hati yang melanda menciptakan kondisi labil untuk meneruskan makan.
Kentut, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti gas berbau busuk. Secara kondisi, kentut dapat diartikan sebagai kondisi dimana seseorang hanya mau mengeluarkan saja tanpa mau mendengar suara dan mencium baunya. Saya bisa yakinkan kepada diri sendiri dan pembaca bahwa paragraf ini tidak ada hubungan kausalitas yang jelas dengan paragraph sebelum dan sesudahnya. Paragraf ini ditulis sebagai wujud pemenuhan standar menulis yang ditetapkan oleh tim editor saja, agar terkesan intelek penuh dengan kutipan-kutipan teori dan landasan hukum serta dalil.
Pembaca, coba baca lagi paragraf pertama dan kedua tulisan ini. Unggah-ungguh bukan hanya sekedar kata untuk diingat saja, unggah-ungguh seperti identitas atau pakaian yang melekat. Meski tidak semua orang memahami konsep unggah-ungguh yang jelas, meskipun nilai dan pemahaman mengenai unggah ungguh tiap orang atau daerah berbeda. Bagi saya, kentut dengan suara bak halilintar bersamaan dengan waktu makan adalah cermin etika yang tidak bisa dikatakan baik. Bukankah begitu?
wah boz, jd eleng kentut pas wayahe mangan bareng. piye perasaan mu buooss.