Judul: Hancurnya Etika Politik
Penulis: Benny Susetyo
Penerbit: Kompas
Tahun: 2004
Tebal: 174
ISBN: 9797091260
Bangsa ini semakin tak bermoral, celetuk seseorang dalam sebuah perbincangan. Celetukan tersebut bukan tanpa dasar. Argumen mereka sangat jelas saat tontonan kebangsaan yang setiap hari disuguhkan oleh para pemimpinnya menampilkan moralitas hanya sekadarnya saja, bahkan tidak jarang tidak sama sekali.
Bagaimana rakyat Indonesia bisa mengakui keterlibatan moral dalam setiap pertarungan kepentingan politik, jika apa yang sedang disaksikannya adalah korupsi yang semakin melembaga dan menomor satu, tidak saja di lingkup pemerintahan (yang sudah terbiasa sejak puluhan tahun lalu) bahkan di ruang sidang para wakil rakyat yang terhormat?
Ironisme sebagai bangsa beradab, yang (katanya) menghargai adat-adat ketimuran, yang (katanya) menjunjung tinggi nilai kesantunan, namun justru menjadi bangsa biadab dan korup kelas wahid.
Sejujurnya, apa yang sebenarnya kita harapkan dari bangsa sebesar Indonesia ketika perjalanannya meniti peradaban justru semakin jauh meninggalkan moralitas? Apa pula yang kita cita-citakan sebagai Indonesia jika pondasi yang kita bangun saat ini dinodai dengan keserakahan, kesombongan, kebohongan dan ketidakadilan?
Moralitas Kebangsaan
Maka, kita perlu mempertanyakan moralitas kebangsaan ini. Apakah gerangan moral? Apa standar-standarnya? Moralitas ialah kesadaran jiwa terdalam dari tiap-tiap manusia; kesadaran hati nurani untuk menghormati dan mencintai sesama, membela kaum tertindas, bersikap altruistik dengan mementingkan kepentingan masyarakat banyak dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai humanisme.
Kesadaran jiwa ini tentu akan bertentangan dengan perilaku negatif seperti membakar orang, membom, membunuh, menipu, menindas, mengorupsi uang rakyat dan seterusnya. Maka, jika perilaku elit politik saat ini lebih dicerminkan di dalam perbuatan yang kedua, maka praktis akan hancur tatanan moral dan peradaban. Karena itulah sesungguhnya tidak ada absurditas ketika kita bicara kebaikan-kebaikan moralitas, seperti diungkapkan para elit.
Lebih menyedihkan lagi karena perilaku-perilaku seperti itu mendominasi kepolitikan Indonesia di masa yang mereka sendiri kerap mengatakannya sebagai reformasi –dan mereka adalah reformis. Moralitas tidak tercermin dalam setiap penegakan hukum yang dilakukan secara adil dan konsekuen, secara jujur dan konsisten. Kematian moralitas di sini bukan seperti jargon Nietzsche tentang kematian moral –sebagai kritik atas keangkuhan modernisme–, melainkan mati karena keberingasan pemimpin atas rakyatnya.
Perilaku dan etika politik para elit yang kerapkali tidak mencerminkan kepentingan mayoritas rakyat selalu mendapatkan komentar dari masyarakat. Baik komentar sinis, kritik sarkartis sampai pada kritik konstruktif. Pada pilihan terakhir inilah penulis mencurahkan segala kemampuan untuk membangun bangsa ini, dengan menuliskannya di pelbagai media massa. Harapannya agar masyarakat, baik yang apatis dan apolitis maupun sebaliknya terhadap pemerintah (dan para wakil rakyat), memahami bahwa perilaku dan etika politik yang tidak memihak rakyat dan mementingkan nilai-nilai humanisme secepat mungkin harus ditinggalkan.
Leave a Reply