Pesatnya angka dukungan terhadap Basuki Tjahaya Purnama sebagai calon gubernur independen DKI Jakarta tahun 2017 tidak dapat lepas dari kontribusi anak-anak muda. Sebagian besar dari muda-mudi di Jakarta menggunakan media daring dalam berjejaring untuk memberi dukungan. Di tempat lain, Ridwan Kamil sebagai Walikota Bandung mengutarakan bahwa pesatnya industri kreatif di daerahnya tidak lepas dari anak-anak muda dengan teknologi dalam genggaman mereka. Di lain pihak, para pengemudi taxi di Jakarta melakukan aksi mogok massal atas keberadaan cyber taxi. Ketiga kisah ini menjadi contoh kasus kompleks di era postmodern yang ditandai dengan kemunculan generasi Y atau generasi digital dan pesatnya perkembangan teknologi.
. . . .
Pada masa silam, di tahun 1908 Boedi Oetomo lahir atas prakarsa pemuda STOVIA. Sebagaimana diketahui, Boedi Oetomo adalah organisasi gerakan pertama yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, kelahiran tersebut kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Beberapa pengamat menyebutkan bahwa kelahiran Boedi Oetomo menginspirasi berbagai gerakan kemerdekaan lainnya. Sebagai bukti ialah Sumpah Pemuda di tahun 1928 dan mencapai klimaks pada momentum Hari Kemerdekaan. Para pemuda masa itu, dengan heroik atas nama kemerdekaan sebuah bangsa dan hak asasi manusia bisa disebut sebagai generasi yang telah menggoreskan tinta emas bagi sejarah bangsa Indonesia.
. . . . .
Dengan kompleksitas kondisi bangsa akibat pesatnya globalisasi, lantas akankah Generasi Y dapat menggoreskan tinta emas layaknya generasi muda di masa lalu?
Generasi Y
Pasca Perang Dunia ke-II, teknologi, informasi, dan komunikasi berkembang begitu cepat. Hari ini, perkembangan telah hampir merata di seantero dunia, tidak terkecuali Indonesia. Di negeri dengan jumlah populasi sekitar 250 juta ini memiliki setidaknya 88,1 juta pengguna internet, 69 juta pengguna Facebook, 50 juta pemilik akun Twitter, 4 juta pengguna Path dan LinkedIn (cnnindonesia 27/3/2015). Pesatnya perkembangan penggunaan media informasi dan komunikasi tersebut tidak lepas dari kehadiran generasi Y.
Siapakah generasi Y?
Menurut Don Tapscott, Grown Up Digital: How Net Generation is Changing your World (dalam Gun Gun Haryanto Opini Kompas 4/4/2016), Generasi Y adalah generasi yang lahir antara 1977-1997, generasi ini olehnya disebut sebagai The Echo of The Baby Boom. Generasi yang didalamnya (termasuk Gita Gutawa dan Maudy Ayunda) memiliki ciri-ciri karakter model pilihan, bebas, jejaring, kecepatan, dan integritas untuk menikmati percakapan yang menyenangkan dan inovatif. Karena intensitas mereka dalam menggunakan internet dan sosial media cukup tinggi, generasi ini dilekatkan sebagai Net Generation atau generasi digital.
Ketiga kisah singkat pada pembukaan tulisan ini dapat menjadi rujukan bagaimana generasi Y bekerja. Pada kisah industri kreatif di Kota Bandung, beberapa media massa menyebutkan sebagian besar dari pelaku usaha telah memanfaatkan teknologi, informasi, dan komunikasi sebagai sarana pengembangan industri. Pembukaan sarana ini dapat membuka celah peluang industri lokal berbasis ekspor, sehingga di kemudian hari dimungkinkan akan menjadi basis perekonomian anak-anak muda Indonesia. Industri ini bisa tergolong efisien karena mampu memangkas biaya (jarak dan waktu).
Pada fenomena pemilihan Bakal Calon Gubernur Jakarta, anak-anak muda mampu memperlihatkan potensi mereka melalui partisipasi politik. Hal ini terlihat dari jumlah dukungan suara untuk pencalonan gubernur. Partisipasi politik yang digunakan mereka sebagian besar menggunakan inovasi berupa mobilisasi politik via media sosial.
Penggunaan media sosial sebagai alat mobilisasi politik merupakan cara baru. Terhitung dimulai sejak terpilihnya Barrack Obama sebagai Presiden Amerika. Di Indonesia sendiri mobilisasi politik via digital dimulai genderangnya sejak terpilihnya Presiden Joko Widodo. Cara baru ini diketahui dimainkan oleh anak-anak muda generasi Y yang mulai peduli terhadap perubahan bangsa.
Transformasi politik Generasi Y dianalisis oleh Gun Gun Haryanto memiliki empat faktor penanda. Pertama, proses transformasi politik yang beralih dari media jalanan menuju ke internet. Dampak dari transformasi ini mampu meningkatkan angka partisipasi politik dalam dunia maya. Kedua, Konflik di dunia maya. Sayangnya, konflik kepentingan berupa perdebatan satire hingga ejekan melalui meme membuat potensi stabilitas tak terkendali. Posisi negara yang tidak mampu mengendalikan dunia maya saat ini membuat konflik tak kunjung reda. Walhasil, beberapa penggunaan kata-kata yang mengandung rasial sering muncul dalam konflik perbincangan politik. Ketiga, komunikasi politik di dunia maya harus diakui saat ini berlangsung interaktif. Melalui jaringan viral, saat ini kasus hukum, kekerasan, dan politik di masyarakat dapat muncul secara cepat melalui komunikasi media sosial. Salah satu contohnya adalah kasus dukungan terhadap Salim Kancil di Lumajang yang membuat media nasional langsung menyorot kasus tersebut. Terakhir, model ruang publik demokrasi prosedural saat ini telah bergeser menjadi demokrasi cyber. Hal ini tidak dapat memungkiri dapat meningkatkan kekayaan gagasan intelektual. Salah satu contohnya adalah situs berbasis gagasan anak muda seperti Avepress.com.
Mungkinkah sebagai generasi emas?
Mudah-mudah sulit, begitu kiranya menanggapi pertanyaan diatas. Persoalan meningkatnya kualitas demokrasi cyber saat ini tidak mampu dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah. Pemerintah, yang didominasi generasi tua, cenderung menutup diri dari gagasan perdebatan di media sosial. Hasilnya atas perdebatan yang tidak mampu diarahkan dengan baik, diskusi kemudian mengarah pada perbincangan rasial. Pendidikan politik menjadi penting dilakukan oleh pemerintah terhadap generasi Y.
Seperti dua sisi mata uang, TIK juga memiliki dampak negatif. Beberapa dari generasi digital juga memanfaatkan teknologi sebagai ajang pornografi. Kelemahan manajemen risiko pemerintah dalam kepengaturan media TI membuat persoalan ini kian tak terbendung. Masih di sisi yang sama, kemunculan konflik antara Cyber Taxi dan Go Jek dengan pemilik jasa trasportasi konvensional di Jakarta menjadi fakta bahwa kemunculan media IT juga penuh masalah. Lagi-lagi minimnnya manajemen risiko dari pemerintah menjadi ujung persoalan terobosan baru berbasis internet.
Dengan segala potensi baik-buruknya, generasi Y tidak bisa menutup mata bahwa mereka adalah calon penerus bangsa. Di usia yang muda, seorang Soekarno, Tan Malaka, dan Hatta telah menciptakan buku yang dapat menggerakkan Indonesia. Sejatinya melihat fakta yang terjadi saat ini bukan tidak mungkin generasi Y merupakan generasi emas era abad postmodern. Meskipun beberapa catatan seperti wawasan kebangsaan harus seringkali dimunculkan sebagai wacana dialektis.
Membaca hal tersebut seharusnya pemerintah dapat lebih peka dengan perkembangan zaman dan potensi anak muda. Jangan hanya digunakan sebagai tunggangan mobilisasi politis belaka!
Bagi generasi Y, maka hanya ada satu untaian kata bijak kiranya tepat untuk mengakhir topik kali ini. “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda.” (Tan Malaka)
Sumber gambar: https://1.bp.blogspot.com/-K1rlbRBtxgE/VtvKZXfxFyI/AAAAAAAA334/nkgjgcawDqw/s1600/pasukan%2Bcyber%2Bjokowi%2Bahok.jpg