Judul: Cracking Zone
Penulis: Prof. Rheinald Kasali, Ph.D.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Cetakan Keempat, Juni 2011
Tebal: 356 Halaman
Dalam buku cracking zone ini yang ditulis oleh Prof. Rheinald Kasali, Ph.D., Indonesia Baru ditandai dengan bad news dan good news. Serangkaian bad news ini bisa dilihat dengan rontoknya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, meluasnya perilaku korup, birokrasi yang lamban, lalu lintas yang amburadul, buruknya infrastruktur, rangkaian peristiwa bencana alam tanpa respons penanganan yang cepat, dan memudarnya sopan santun serta kemampuan berbicara arif dikalangan para pejabat dan tokoh publik. Tetapi kita juga harus mengakui keberadaan good news. Ekonomi yang bergerak, kapita menyentuh US$3,000, maraknya jejaring sosial dengan 180 juta ponsel, menguatnya sistem demokrasi, tumbuhnya kesadaran-kesadaran baru dan kepedulian sosial, serta partisipasi luas masyarakat dalam berbagai kegiatan sosial-ekonomi
Karena bad news dan good news sama-sama kuatnya, terjadilah tumbukan antara keduanya. Tumbukan atau tabrakan itu menimbulkan patahan atau suasana paradoks, menimbulkan polarisasi antara kelompok “wait and see” dan kelompok cracker yang “see and do”. Antara pesimisme-sinisisme dan optimisme-positivisme. Inilah cracking zone yang bisa membuat anda menjadi crackers atau mati ditelan zaman. Sejumlah perusahaan telah menjelma menjadi corporate crackers. Dan lihatlah apa yang mereka dapatkan dari kegigihan itu, dari cara baru melihat Indonesia dan memimpin perubahan.
Hal ini juga ditambah dengan kegiatan freemium. Produk premium-free of charge seperti Google, Yahoo!, Facebook, Wikipedia, Detik.com, Kompas Online, Kaskus dan sebagainya. Persaingan pun akhirnya berubah, puluhan cracker muncul memperbaruhi bukan semata organisasi atau perusahaannya, melainkan industrinya. Membuat banyak orang kaget dan melawan. Langkah radikal, serangan baliknya juga radikal. Mereka menari dan berpesta di kebun-kebun anda, tetangga yang baik hati tetapi pencuri.
Dampak adanya ini akhirnya cukup mengubah peta bisnis di Indonesia. Dengan adanya 180 juta ponsel yang dipakai pelanggan Indonesia, dan 50% di antaranya dapat mengakses internet partisipasi tersebut dalam dunia digital menimbulkan gairah besar dalam jejaring sosial yang berpotensi mengubah peta penasaran, pengurangi daya pengaruh media konvensional (cetak dan udara), memporak-porandakan bisnis warnet dan rekaman, membentuk kekuatan promosi baru, menimbulkan kekuatan baru dalam kewirausahaan, mematikan peran tempat (dapat dilihat dengan memudarnya peran pasar-pasar tradisional), menumbuhkan cara baru berusaha (toko online) dan melahirkan selebritis baru.

Crackers lahir atau muncul dalam suasana transformatif yang menimbulkan banyak perubahan. Namun karena jeli melihat peluang retakan, mereka pun menciptakan retakan-retakan baru. Mereka memecahkan kode-kode baru, membentuk bingkai peluang (windows of oportunity) yang mereka batasi sendiri waktunya dengan durasi yang pendek agar peluang itu tidak tercecer ke tangan para pesaing-pesaingnya. Karena itu cara yang mereka tempuh terasa menghentak dan sulit diterima mereka yang tidak mampu membaca tanda-tanda cracking zone.
Dalam buku ini juga disebutkan 4 tanda tentang gambar cracking zone. Pertama, industri dikuasai oleh tiga atau empat pemain besar yang mengunci pasar dengan kekuatan oligopoli-nya. Kedua, ada kebutuhan transformatif yang ditandai dengan perubahan peta kekuatan pada salah satu pemain utama (atau pendatang baru). Perubahan peta kekuatan itu antara lain ditandai dengan kegiatan seperti: reinvestasi atau perluasan kapasitas, keberanian merekrut CEO baru dengan reward di atas rata-rata industri atau pembongkaran cara kerja organisasi pada salah satu pelaku
Ketiga, adanya kapabilitas baru yang dimiliki salah satu pelaku yang ditandai dengan akumulasi harta-harta tak kelihatan (intangibles) seperti teknologi, pengetahuan, atau sistem manajemen. dan keempat, ada gejala-gejala ekonomi yang ditunjukkan dengan perubahan-perubahan indikator pasar seperti populasi penduduk, pendapatan perkapita, teknologi rumah tangga, penglihan kekuatan (seperti otonomi daerah), perubahan alokasi, pendapatan, dan perubahan perilaku konsumen yang menjadi pemicu cracking.
Keempat pilar itu berpengaruh pada perilaku konsumen (consumer behaviour) dan perilaku bisnis (business behaviour) yang menghasilkan retakan-demi retakan. Mereka berempat menjadi penopang kegiatan kewirausahaan Indonesia yang dimotori oleh 50,7 juta usahawan UMKM. Asing-masing retakan itu akan menimbulkan volume (kue) pasar yang makin membesar, namun hanya akan menguntungkan satu pelaku usaha saja yang dipimpin oleh seorang cracker. Sebab untuk menghasilkan kekuatan yang optimal diperlukan lebih dari keberanian dan melibatkan diri pada perang pemasaran yang genderangnya ditabuh salah satu pengusaha.
Buku ini mengharapkan pembaca nantinya mampu menyikapi peluang pasar yang ada atau melihat patahan-patahan dari lempeng yang ada. Jangan sampai kita hanya bisa menunggu dan terdiam dipermainkan oleh pemain-pemain besar. Kita harus menjadi cracker yang akan memberi kemaslahatan bagi yang lainnya.
Oleh; A’la Fahmi
Leave a Reply