Pentas 16th Yogyakarta Gamelan Festival
SEORANG bocah perempuan berumur delapan tahun bermain dakon di atas pentas di hall konser taman budaya, Yogyakarta, Sabtu (9/7). Keduanya lalu menyanyikan guneman tembang jawa dengan suara lirih. Tak lama kemudian, belasan bocah sebayanya semburat dan meramaikan pentas tersebut.
Masing-masing bocah tersebut lalu menempati posisinya. Irama tembang gamelan pun lantas membahana di dalam hall konser berkapasitas lima ratus orang tersebut. Penonton pun bertepuk riuh atas pentas yang dipersembahkan sanggar gamelan bocah asal Yogyakarta asuhan wardiman itu.
Pentas gamelan bocah tidak berhenti sampai di situ. Gamelan bocah yang terdiri dari anak-anak usia dibawah sembilan tahun itu masih unjuk gigi dengan menampilkan dua babak tabuh gamelan. Di sela-sela pentas gamelan, dua pemain diantaranya juga menghibur penonton dengan cerita singkat bertajuk story telling. Pada satu sesi, mereka juga mahir memainkan pantun berbalas. “Mangan jajan nang sor gubuk, bar sekolah langsung dolanan fesbuk,” kata bocah itu pada pembuka babak pantun berbalas. Tepuk tangan hadirin yang justru didominasi kaum muda Yogyakarta pun mengalir deras.
Wardiman, pengasuh sanggar gamelan bocah mengaku gampang-gampang susah melatih anak-anak untuk bermain gamelan. Aktivitas itu harus dilakukan dengan penuh kesabaran karena yang dihadapi adalah anak-anak. “Kadang latihan mau dimulai, yang laki-laki malah main bola. Ya gimana lagi, saya bilang ke anak-anak, ‘ya sudah sana main bola’,” kata wardiman ketika diwawancarai pembawa acara setelah pementasan gamelan bocah.
Pentas belanjut dengan penampilan kelompok Rosomoyo. Kelompok seniman dengan anggota tersebar dan jarang ketemu itu menampilkan tiga pentas gamelan: tembang gambang suling, gong dan lagu pari ambruk.
Gambang suling yang dikenal sebagai tembang lawas telah diarasemen menjadi tembang perpaduan kontemporer-tradisional yang penuh kreasi. Vokalis Rosomoyo, Puri, menampilkan kemampuan terbaiknya dalam olah vokal. Berulang kali Puri bermain dengan nada suara rendah-tinggi dengan kontrol suara kuat.
Pertunjukan Rosomoyo berlanjut dengan kreasi tabuh gong yang hanya memanfaatkan instrumen gong tanpa bantuan alat musik lain. Satu gong besar dimainkan oleh dua orang. Sedangkan empat gong lain dimainkan dengan cara menarik tali yang telah ditancapkan pada bagian tertentu gong. Iramanya persis seperti dawai kecapi yang dipetik. Pada persembahan terakhir, sebuah lagu ciptaan Puri berjudul pari ambruk juga memukau hadirin. “Saya terinspirasi oleh panen padi ketika perjalanan pulang ke rumah di Madiun,” ucap Puri di sela-sela pentas tersebut.
Kelompok seniman Mandilaras asal Pamekasan mendapat kehormatan tampil dalam penghujung acara. Irama rancak khas madura yang disajikan sangat tepat sebagai penutup acara 16th Yogyakarta Gamelan Festival tersebut. Mandilaras juga menampilka lagu-lagu daerah asalnya. Di bagian akhir, mandilaras juga menggoyang penonton dengan gubahan lagu pop yang diaransemen sesuai alat musik yang mereka mainkan. Salah satunya, mereka memainkan lagu cari jodoh karya wali yang banyak menyedot hadirin untuk berjoget di depan pentas.
Penggalan kisah tersebut merupakan festival tahunan gamelan yang digelar oleh komunitas gayam 16. Acara itu digelar sejak Kamis (7/7) hingga Sabtu (9/7) dan dibuka setiap jam 19.00 selama dihelat. Pada acara tahunan yang keenam belas ini, mereka mengusung tema “Therapy for Life”. Ya, dari sejak pertama kali festival tersebut dihelat, kali ini penyelenggara menginginkan agar gamelan telah membudaya sehingga menjadi harmonisasi dalam hidup.
Tentu, banyak sekali suka duka perhelatan gamelan yang banyak dianggap sebagai alat musik tradisional yang melulu tidak asyik. Itu membutuhkan usaha keras dalam memublikasikan dan mengkampanyekan festival ini. “Bahkan kami pernah mengkampanyekan festival gamelan dengan memberi sablon gratis kepada muda-mudi. Mereka datang dengan membawa kaos polos lalu kami sablonkan dengan desain bertajuk gamelan. Itu ternyata cukup efektif,” kata pembawa acara. Terbukti, acara itu kini banyak menyedot minat kaum muda di Yogyakarta. Bahkan, muda-mudi tampak lebih dominan dibanding opa-oma dalam gedung Taman Budaya Yogyakarta itu. (*)
Leave a Reply