
Pasca perkembangan era industri tahun 80an mulai berdiri pabrik-pabrik besar. Produksi massal dengan menggunakan sistem industri pada saat itu dapat dikatakan jauh dari kata ramah lingkungan. Hal tersebut kemudian membuat banyak efek negatif terhadap lingkungan dan alam.
Seiring berjalannya waktu sampai pada era kesadaran 1990-an, peristiwa mencairnya es di kutub kian masif. Perubahan iklim dan peristiwa efek rumah kaca yang semakin tidak dapat diprediksi membuat berbagai pihak khawatir. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya peraturan dan undang-undang untuk mengatur keseimbangan industri dengan alam. Dunia saling bersinergi untuk melaksanakan program yang bersifat restoratif kepada alam dan lingkungan.
Pada era kesadaran ini juga mulai berkembang sistem perindustrian yang juga memperhatikan keamanan konsumen, karyawan, dan lingkungan. Hal-hal yang mempengaruhi kontaminasi dan perusakan lingkungan mulai mendapatkan formula penawarnya. Beberapa upaya diantaranya adalah pengurangan emisi gas dengan meminimalisir penggunaan bahan bakar fosil, mengurangi penggunaan plastik dalam produksi, dan penggunaan bahan dasar yang ramah lingkungan lainnya.
Memasuki era industri 4.0 di mana pengetahuan teknologi memasuki era yang sangat terperinci, bahkan efek-efek mikro pun diperhatikan. Salah satu program yang merupakan komitmen bersama adalah Sustainable Development Goals (SDGs) yang beberapa di antaranya sangat mempertimbangkan keterkaitan alam, seperti energi bersih yang terjangkau, penanganan perubahan iklim, menjaga ekosistem laut, dan menjaga ekosistem darat. Para pelaku industri sepakat bahwa era 4.0 dalam pengembangannya juga harus mempertimbangkan tiga faktor kunci, yakni;
- Redistributif (lebih memperhatikan pemerataan, sehingga tercipta keseimbangan ekonomi)
- Restoratif (mempertimbangkan perbaikan mutu lingkungan)
- Regeneratif (mempertimbangkan arus ekonomi yang mengarah pada daya dukung lingkungan)
Dari ketiga faktor di atas diharapkan akan membuat keseimbangan antara industri dan alam. Tidak hanya upaya penyeimbangan, melainkan pula mengembalikan daya optimal lingkungan dalam mendukung kehidupan sehari-hari. Sederhananya, jika sayur-sayuran banyak terkontaminasi zat kimia, maka akan kembali sehat dan organik ketika alam kembali sehat. Apalagi saat ini teknologi sudah memiliki berbagai macam sensor untuk mendeteksi bermacam parameter yang terkandung dalam banyak hal, seperti sensor asap, sensor kandungan air, dan sensor sensor lainnya, termasuk sensor kandungan zat.
Salah satu pemanfaatan teknologi 4.0 yang populer di masyarakat adalah penggunaan sistem hidroponik untuk metode penanaman sayur secara mandiri. Dalam prosesnya, metode penanaman hidroponik memiliki syarat wajib dalam kandungan air, yakni; pertama, kandungan zat terlarut dalam air yang mengalir tidak lebih dari 220ppm, dan kedua nilai keasaman air yang ideal yakni antara pH 5,5-6,5. Dua parameter kandungan air di atas dalam pengembangan teknologi 4.0 dapat dilakukan sensor yang mampu menangani agar tidak sampai lebih atau kurang dari kadar yang ideal. Tentu saja ini merupakan efek redistributif dari pemanfaatan teknologi di era 4.0 yang semakin maju.
Contoh di atas merupakan ilustrasi bagaimana dan di posisi mana pemanfaatan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat dituntut untuk lebih open minded dalam pemanfaatan perkembangan era 4.0. Tidak hanya merawat dan melestarikan sumber daya alam, namun juga dapat memanfaatkannya dengan lebih optimal lagi.
Penulis: Hafid Ahmad Fahmianto
Leave a Reply