Boleh-boleh saja kita kagum dan terpesona atas cerdasnya pencitraan dan tampilan humanisnya Obama pada rakyat Indonesia. Obama menceritakan (atau menyidir kita yang mudah melakukan eksekusi nilai-nilai) akan bemo, becak atau pedagang-pedagang tradisional kaki lima seperti bakso dan sate (catatan: pedagang kaki lima belum diakui sebagai usaha resmi basis ekonomi rakyat dengan perlindungan hukum seperti undang-undang atau pertauran pemerintah. Jadi mereka harus siap-siap setiap saat untuk digusur). Obama juga dengan sederhana, seperti kata di awal pidatonya – berbicara tentang nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan falsafah Bhineka Tunggal Ika. Bahasanya lugas, ramah, hangat dan bersahabat membuat kita histeris dan terpukau, lebih-lebih saat Obama mengatakan “saya bagian dari Indonesia”.
Tetapi keramahan tersebut tidak serta merta menjadi “ramah” saat kita sandarkan pada posisi ketimpangan hubungan RI-AS di Timika. Hubungan itu berubah menjadi pahit di Papua. Freeport Indonesia dan pelbagai perusahaan pertambangan AS yang beroperasi di Indonesia dari waktu ke waktu sungguh sangat merugikan Indonesia. Indonesia hanya menerima 1 persen dari bagi hasil pertambangan emas-tembaga PT. Freeport Indonesia yang menghasilkan sekurangnya 300kg emas setiap hari plus 600kg mineral berharga perak serta tembaga dari 238.000 ton batuan yang dikeruk dari lokasi tambang Grassberg di ketinggian 4000meter di atas permukaan air laut dekat Cartenz Piramid (baca Kompas, 11-11-2010). Belum lagi di 25 tahun pertama PT. Freeport tidak memberikan kompensasi satu rupiahpun kepada Indonesia.
Kini semarak Timika justru identik kemiskinan dan didera bahaya HIV/AIDS. Tidak banyak warga asli Papua terlibat dalam perniagaan dan layanan jasa yang menajdi urat nadi kota Timika. Belum lagi situasi peperangan dan perebutan antar suku yang masih sering terjadi, berbagai ketimpangan yang lebih nyata terjadi serta akumulasi akumulasi persoalan lanjutan pada tingkat nasional. Tidak hanya bumi Papua, bagi hasil PT. Freeport lebih banyak dinikmati oleh AS dan oknum-oknum terbatas, baik di Papua maupun di Jakarta.
Sebetulnya penulis juga terpesona dan bangga saat Obama tidak melupakan bagian hidupnya di Indonesia. Dengan intonasi khas, nostalgia Obama disampaikan dengan memanggil tukang bakso dan sate. Para pedagang bakso dan sate tentu bangga. Penulis juga kagum dengan penguasaan Obama akan kosa kata-kosa kata sederhana hari-hari kita dengan mengucapkan “selamat pagi, selamat sore, apa kabar, pulang kampung nih, salam sejahtera, terimakasih, assalamualaikum, Insyalloh” apalagi kata-kata Obama “Indonesia bagian dari diri saya”.
Tetapi saat histeria itu diulang-ulang disampaikan oleh kebanyakan masyarakat dan media dengan melupakan substansi hubungan kita yang timpang dengan AS, histeria dan kebanggaan ini berubah mejadi kado yang getir yang mengiris nadi penulis. Apa yang difikirkan dan dicita-citakan Obama dengan konsepsinya tentang keadilan dunia yang universalpun tidak lantas mengubah perjanjian kontrak kita dengan pelbagai perusahaan pertambangan AS. Sebaik apapun presiden AS itu tidak serta merta mampu menghentikan pengerukan kekayaan alam kita oleh AS, kecuali kita sendiri yang berani membuka dada nasionalisme kita. Harusnya mumpung presiden AS Obama, kita berani dengan jujur mengatakan ini padanya, bukan malah terbelenggu oleh pesona dan histeria sosoknya semata.
Sumber gambar:
http://www.politico.com/news/stories/1110/44926.html
http://www.planetware.com/picture/grand-bahama-island-port-of-freeport-bah-bah286.htm http://mhslanijayatiom.blogspot.com/2009_08_09_archive.html
As'ad Aza says
kekayaan negri ini udah di keruk nya. kita mau apalagi…yg bisa hanya pemerintah kita juga.utk mau merubah perjanjian2Nya.demi anak cucu …
Abu Fahri says
Kadang ga habis fikir, mengapa sih ada orang yang punya harapan dengan kedatangan Obama di Indonesia? Wong sudah jelas2 selama ini mereka adalah penjajah yang mengeksploitasi negara2 lain. Mengapa juga orang tidak bisa membedakan antara Obama kecil yang polos waktu tinggal di Indonesia dengan sekarang sang Presiden dari negara Amerika yang kapitalis. Kalo datang mau nostalgia ajah sih kita sambut, tapi kalo jelas2 mau menjajah harusnya disambit aja, walaupun orang yang datang bermulut manis dan pernah dikenal. Amerika negeri yang sudah kolaps, tingal tunggu waktu aja bentar lagi juga morat-marit dengan utang luar negeri yang makin numpuk.
Semoga banyak yang tersadar gak jadi antek kapitalis……..
eel says
keren lah ya…. pak obama bisa menyihir Indonesia jadi kayak gitu. Moga Indonesia lebih arif lagi menyikapi hal ini. Supaya nggak asal ngefans.
ahmen says
betul..betul..betul..betul.. kasian kalo liat rakyat papua secara keseluruhan. tapi para pemimpin lokalnya payah.. tidak amanah, pembohong dan korup. dikasih uang buat membangun kampung malah dibuat mabok, foya foya, main perempuan. kalo dana baru cair satu koper mereka bawa ke cafe, mabok, boking pelacur (istilah mereka ‘abo’) gengsi gengsian pilih yg paling cantik-udah apkiran dari jawa- berani mereka bayar 5jt-10jt per malam.
jadi harusnya pemerintah pusat yg harus berani stop kontrak. kita buat BUMN untuk melanjutkannya dan kelola dengan profesional dan amanah..
skrg lebih gila lagi, mereka dah menambang uranium. kapal keluar masuk ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) kalo sudah ada tulisan freeport tidak ada yg berani utik-utik. sampe kapan akan terus begini?????
ampas says
ini derita yang bangsa papua alami dulu sampai kini,menderita di ats tanah sendiri kapankah kami hidup bahagia di atas tanah sendiri.
lasto says
sangat sakitnya menderita di atas negerinya dari pada menderita di negeri orang.