Aksi massa umat Islam beruntun di penghujung tahun 2016; Bela Islam I, II, III oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI atas kasus penistaan agama yang dilakukan gubernur nonaktif DKI Ir. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menyita perhatian banyak pihak. Aksi ini telah menggerakkan ribuan umat Islam ikut hadir di Jakarta dan menuntut tindakan tegas aparat hukum mengadili dan menahannya.
Di sisi lain, apel kebangsaan Banser Ansor NU juga dimobilisasi di belbagai daerah juga sangat besar. Tujuandari apel ini adalah menangkal radikalisme dan menjaga keutuhan NKRI yang disinyalir terjadi bersamaan dengan aksi GNPF. Kedua aksi besar umat Islam ini mengawali citra dakwah Islam di bumi Indonesia seakan berwajah kaku, eksklusif dan rawan terjadi konflik antar golongan.
Wajah Islam yang toleran, damai, rahmatan lil alamin telah lama dirasakan di Indonesia. Berpuluh-puluh tahun beragam agama dan kepercayaan hidup berdampingan di Indonesia. Toleransi dan saling menghormati sudah tertata dengan apik, baik antar pemeluk seagama maupun diluarnya.
Konflik antar aliran Islam, antar agama dan suku, meski pernah terjadi; Jamaah Ahmadiyah, Poso, Sampit, pertentangan Sunni-Syi’ah di Madura dan lain-lain, tidak sampai berkepanjangan dan masif seperti halnya di Timur Tengah.
Kondisi-kondisi ini merupakan fakta sejarah keislaman Indonesia, yang tidak tumbuh begitu saja, melainkan buah pengalaman demi pengalaman di masa lampau.
Umat Islam selayaknya juga berterimakasih pada pendiri-pendiri Islam di Indonesia. Menerima Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara, bukannya mendirikan negara Islam (darul Islam) adalah pengorbanan sekaligus kemenangan besar umat Islam.
Dikatakan kemenangan karena secara tidak langsung nilai-nilai ajaran Islam terintegrasi dalam dasar-dasar berbangsa dan bernegara yang diakui oleh seluruh rakyat Indonesia, tak terkecuali non muslim. Sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dan butir-butir Pancasila.
Oleh karena itu, memahami perjalanan panjang keislaman Indonesia oleh umat Islam menjadi sangat penting. Keterputusan nilai sejarah mengakibatkan penguasaan moralitas, etika, akhlak yang kosong. Akibatnya, tanggungjawab pribadi secara keimanan menjadi jauh dari nilai kearifan yang terkadung di agama Islam.
Nalar Keagamaan
Melacak akar dakwah serta identitas Islam di Indonesia, setidaknya bisa didasari atas dua hal; nalar keagamaan dengan praktek keagamaan itu sendiri. Jika nalar keagamaan menjadi akar di mana seseorang dapat menentukan pilihan-pilihan politisnya, tidak lain karena ada setting sejarah yang melatarbelakangi bagaimana seseorang tersebut memahami realitas agamanya.
Bahwa agama sampai kapanpun, kalau tidak bisa melakukan kritik terhadap tradisi keagamaannya, maka ia akan tetap menjadi sesuatu yang manjur, yang rentan untuk dipergunakan dalam perselingkuhan politik bahkan perselingkuhan intelektual.
Dengan maksud, nalar keagamaan adalah peran ulama, kaum intelektual muslim, dan kaum agamawan lainnya yang mempengaruhi kondisi Islam. Kita ambil contoh, nalar keagamaan yang diciptakan oleh KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah pada masa pergerakan Nasional.
Kondisi umat Islam yang “terbodohkan” melalui tanam paksa dan politik etis penjajah, menggerakkan hati beliau berjuang melalui dunia pendidikan dengan cara mendirikan ‘sekolah’ bukan pesantren yang mayoritas didirikan oleh ulama zaman itu. Sekolah yang serupa dengan Belanda tapi tidak sama kurikulumnya, ada sisi keagamaan yang dimasukkan dalam proses pembelajaran.
Kontekstualisasi dari yang diperjuangan KH. Ahmad Dahlan bisa berupa pembangunan seluas-luasnya nilai kemanusiaan melalui dunia pendidikan. Kalau lah dulu subyek ‘terbodohkan’ adalah masyarakat pribumi korban tanam paksa dan politik etis.
Maka nalar keagamaan hari ini adalah pembangunan pendidikan bagi anak-anak termarginalkan; anak-anak terlantar, anak jalanan, anak-anak korban kekerasan rumah tangga, anak hasil perzinaan dan generasi-generasi bangsa lainnya yang butuh pendidikan dan tuntunan agama Islam.
Masa pertentangan perbedaan faham/aliran keagamaan pernah juga terjadi mewarnai perjalanan keislaman di Indonesia. Pertentangan hukum Islam, furu’ atau khilafiyah (masalah yang memilik banyak pendapat berbeda) antara kaum reformis Muhammadiyah dan tradisional NU, yang kadang menjurus ke arah pertentangan fisik.
Hal ini pun sebenarnya adalah rangkaian dari politik penjajah untuk memecah belah umat Islam, mengaburkan perhatian umat Islam dari memperjuangan kemerdekaan. Nalar keagamaan yang diciptakan adalah mendirikan organisasi bersama yang menjadi penengah dengan nama MIAI (Majelis al-Islam Ala Indonesia) pada tahun 1937 M.
Jika kontekstualisasi MIAI “diserupakan” atau “disamaartikan”, baik secara organisatoris, bentuk dan tujuannya dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) sekarang, meski memiliki latar belakang pendirian yang sangat bertolah belakang.
MIAI berdiri atas dasar antikolonialisme sedangkan MUI berdiri atas dorongan kekuasaan orede baru. Maka sepatutnya MUI berkedudukan sebagai penengah segala perbedaan faham antar aliran keagamaan yang terjadi di Indonesia.
Persoalan-persoalan furu’ dan khilafiyah sudah tidak sepantasnya berlarut-larut diperdebatkan/dipertanyakan kembali dasar keabsahan dan relevansinya.
Pertama, konteks kesejarahan Islam di Indonesia sudah pernah mengalami manis getirnya perbedaan pendapat. Pilihan aliran keagamaan adalah jalan kebermaknaan individu beragama. Kedua, perbedaan pendapat tanpa disadari bahwa semua pendapat ada dasar hukum menguras energi dan rawan konflik dan dimanfaatkan pihak ketiga.
Ketiga, posisi sosial-budaya masyarakat muslim hari ini memungkinkan untuk langsung berdekatan dengan sumber fatwa, baik secara personal; kiai, ulama, ustadz dll. Maupun pelembagaan agamis sosial kemasyarakatan seperti Muhammadiyah, NU dll.
Persoalan utama umat Islam hari ini; membangun ekonomi keumatan, menghadapi percepatan tehnologi dan informasi, keamanan dan kenyamanan beribadah haji, mekanisme perawatan kesehatan umat, kerjasama dunia Islam, dll.
Naifnya, nalar keagamaan yang membentuk dakwah Islam yang luar biasa seperti ini dulu, di era modern dan keterbukaan media informasi saat ini, mulai ditinggalkan seiring lebih dige-marinya pengerahan massa dan gerakan ritual semata.
Perebutan misi dakwah Islam bergeser makna, dari perluasan nilai Islam (ukhuwwah islamiyah) berubah unjuk kekuatan kuantitas formalistik agama. Perayaan ritual ibadah digalang di mana-mana. Pemprodukan hukum syariat Islam dikukuhkan, tanpa mengindahkan semangat kemanusiaan (ukhuwwah basyariah). Nilai kemanusiaan yang merupakan harga mati penciptaan dan hak hidup berbangsa, (ukhuwwah wathoniyah) ada upaya dibongkar ulang.
Ketidakmampuan kita mengajarkan warisan sejarah keislaman bagi generasi-generasi selanjutnya inilah yang disinyalir menumbuhkan semangat radikalisme dan terorisme yang tumbuh subur di bangsa Indonesia.
Pertanyaan menarik di akhir tulisan ini, jika masih ada di antara kita yang memilih faham dan membanggakan Islam yang ‘Arabisentris’ seperti di Timur Tengah, tak mengindahkan perjalanan keislaman kita sendiri. Apa kita bisa hidup sedamai dan senyaman ini?
Bukankah Islam itu ‘rahmat’ yang berarti kenyamanan, ketentraman, kebahagiannya dan sifat-sifat positif lainnya. Jika masih saja tidak perduli dengan sisi kesejarahan Islam di Indonesia, maka sudah pasti akan menjadi penjajah di negeri sendiri. Ini tanggungjawab kita bersama, semoga.
M. Miftah Wahyudi
email; adu_mongso@yahoo.com / sangkanparang@gmail.com
Leave a Reply