Kebangsaaan dalam Perspektif Politik Kebudayaan
Oleh: Bisri Effendy
Untuk mengawali perbincangan soal nation state, empat peristiwa penting yang terjadi pada 1908, 1928, dan dua kali pada 1945 perlu dilongok kembali. Keempat peristiwa yang terlanjur kita mitoskan sebagai hari-hari keramat dan selalu kita peringati tiap tahunnya, menjadi hari “kebangkitan nasional”, hari “sumpah pemuda”, hari “proklamasi kemerdekaan”, dan hari “pahlawan”. Hari-hari yang sangat akrab di dalam memori pekerja kantoran, anak-anak sekolah, dan pejabat tinggi negara karena pada hari-hari itu mereka harus tepekur sejenak, membaca ulang pancasila, ziarah ke makam pahlawan, lalu libur bekerja. Tentu, tidak demikian bagi petani, buruh non-industri, pekerja sektor informal, dan setingkat itu yang hampir tak menyimpan memori hari-hari itu sebagai hari-hari keramat dan herois. Bahkan juga terhadap peristiwa ketiga, proklamasi kemerdekaan, karena yang mereka saksikan pada hari itu hanyalah keramaian kampung; berderet umbul-umbul dan bendera, segala bentuk perlombaan dari membaca puisi (deklamasi), balap karung, sampai panjat pinang, dan pertunjukan seni drama perang-perangan di malam hari. Atau paling jauh ditambah dengan pidato kepala desa atau camat yang seolah menyaksikan atau mengalami segala peristiswa yang terjadi saat itu sembari menyebut beberapa tokoh pejuang yang dia ingat karena selalu dicatat oleh buku sejarah, tetapi hampir pasti tidak menyebut begitu banyak warga kebanyakan yang dengan sukarela menyumbangkan (atau menyabungkan) nyawanya untuk kemerdekaan dan tidak pernah dikenal sebagai pahlawan.
Dengan mudah kita memang bisa bilang “belajar dari masa lalu untuk masa depan”, “membaca masa lalu dengan perspektif masa kini”, atau seperti yang dikatakan filosof eksistensialis Swedia, Kierkegaard: “hidup dilalui ke depan, tetapi dipahami ke belakang”. Tetapi melaluinya, ternyata tidak semudah mengatakannya. Meniti hidup ke depan dari pengalaman masa lalu, paling tidak dari pengamalan kekinian, ternyata tidak semulus yang dibayangkan, bukan karena masa depan bagaikan sebuah rimba yang tak mudah ditebak dan dipetakan, tetapi masa lalu itu juga sebuah ruang terbuka yang mendorong multitafsir bahkan imajinasi yang juga teramat sulit dipetakan. Benar apa yang dikatakan sejarawan seperti Taufik Abdullah bahwa sejarah adalah “negeri asing”, tempat orang berbuat yang aneh-aneh. Lalu bagaimana jadinya, jika masa depan yang tanpa peta dipertemukan dengan (dibangun atas dasar) masa lalu yang berupa “negeri asing” yang juga hanya sebuah anak panah yang terlepas dari busurnya, sehingga siapapun bisa berbuat yang aneh-aneh terhadapnya?
Itulah persoalannya. Kita selalu disuguhi dan diajak mengenang masa lalu hampir sepanjang tahun dalam berbagai bentuk ritual dari seminar, berdebat di media, karnaval, mengheningkan cipta, hingga sekedar libur kerja dan sekolah. Dengan mengambil misal slametan di Jawa seperti yang dilukiskan Andrew Beatty (2001), ritual-ritual untuk mengenang hari-hari keramat masa lalu kita seperti itu memang seolah memerlihatkan “totalitas” atau kesadaran kolekfif yang tunggal, tetapi sekaligus menghadirkan begitu banyak makna (interpretasi) yang berbeda-beda. Ketika melukiskan slametan Beatty menyatakan bahwa: “Totalitasnya mempesona, meski sebagai peristiwa komunal ia tak juga mampu mendefinisikan komunitas secara tegas. Di dalam slametan semua orang sepakat dengannya, tetapi tidak ada jaminan sedikit pun bahwa setiap orang setuju bagian-bagian tertentu darinya. Dengan demikian, sebenarnya slametan lebih pas dikatakan sebagai komunalitas yang terdiri dari individu-individu yang bukan saja berbeda pandangan dan orientasinya, tetapi, dan ini yang penting, tetap berada dalam keberbedaannya. Sebagai kerurnunan, slametan adalah bahasa argument, bukan koor harmoni. Di dalam slametan, konsensus dapat terbangun, tetapi setiap individu tidak hanyut sama sekali. Kebersamaannya terjaga, tetapi representasi individu tetap mungkin dan menjadi penting.”‘
Dalam situasi problematik itu, persoalannya berlanjut dan menjadi krusial ketika kecenderungan monopoli dan dominasi interpretasi masa lalu dan pilihan peta masa depan oleh kekuatan-kekuatan tertentu semakin menguat. Sehingga, bukan saja ruang tafsir dan pilihan strategis menjadi tertutup, melainkan juga dinamika kehidupan yang antara lain disokong oleh kekayaan kreativitas warga menjadi mandul dan beku. Sentralisasi politik, ekonomi, dan kebudayaan termasuk pengetahuan yang mewarnai kehidupan kita bahkan hingga di era reformasi dan desentralisasi (otonomi daerah) sekarang ini merupakan penanda paling jelas kecenderungan tersebut.
Mungkin kita terlanjur meyakini bahwa 20 Mei 1908, merujuk pada kelahiran Budi Oetomo (BU), sebagai titik awal kebangkitan nasional dan selalu kita peringati setiap tahun bahkan pada Mei 2008 lalu kita peringati besar-besaran karena genap satu abad. Taufik Abdullah (2001) pernah mengingatkan bahwa sebenarnya selain BU dan pada tahun-tahun sebelumnya, sejak akhir abad ke-19 telah bermunculan berragai pergerakan local, spontan, dan terpencar-pencar, sebagian bercorak agraris menolak pemerintah dan negara kolonial Belanda dan sebagian yang lain menunjukkan corak emansipatoris dan tumbuh berbagai kota di pulau Jawa dan Sumatera. Gerakan Kartini akhir abad ke-19 di Jawa dan kampanye Abdul Rivai di Sumatera melalui Bintang Hindia dan Insoelinde pada 1900-1905 tentang perlunya menegakkan emansipasi merupakan contoh menarik, meski yang pertama juga ditasbihkan sebagai penanda pergerakan emansipasi perempuan dan kita peringati.
Sebagai gerakan emansipatoris yang baru, BU segera dihadapkan pada tantangan identitas diri di saat awal ia mulai mengepakkan sayapnya. Hasratnya untuk menaikkan harkat diri dan meninggalkan keterbelakangan bukan saja harus berbeda dari gagasan serupa yang pernah dikumandangkan Kartini tetapi juga harus tak sama dengan “kemajuan” yang gencar dikampanyekan oleh Abdul Rivai. Dan, ternyata, atas kemampuannya memobilisasi “issu emansipasi” melintasi batas-batas etnik dan geografi (pulau) dan menata diri sebagai organisasi, BU memeroleh pengakuan dari pemerintah Belanda sebagai organisasi modern pertama yang menuntut “hutang kehormatan”. Ethicus Belanda menyambutnya sebagai: “si cantik yang tertidur telah terbangun.”
Tetapi, rupanya bukan itu saja. Sebagai gerakan emansipatoris, BU dihadapkan pada persoalan batas kebangsaan yang harus segera dirumuskan, siapakah “kita” dan siapakah “mereka”. Abdul Rivai, sejak 1901 memang selalu melontarkan “bangsa Hindia” yang menurutnya tidak boleh melupakan identitas diri meski telah “maju” seperti orang Eropa. Para mahasiswa dari nusantara yang mengorganisir diri dalam Indische Voreeniging (lahir bersamaan dengan BU) tidak dapat mengelak masuknya semua orang yang datang dari Hindia Belanda; pribumi, peranakan Cina, Indo, bahkan ada yang Belanda totok. Sarekat Dagang Islam (SDI), yang kemudian menjadi Sarekat Islam (SI), mencoba men-satu-nafaskan bangsa dan agama yang ternyata, di kemudian hari, justru hanya memerlihatkan hasrat organisasi massa paling awal itu untuk menempatkan kebangsaan dalam persaingan ideologis.
Persoalan itu belum termasuk kekayaan etnografis nusantara berupa rumpun¬rumpun etnik dan ras yang bukan hanya terbedakan secara social dan kebudayaan tetapi juga mengalami tekanan kolonialisme yang tidak sama pula. Walau secara umum dapat dikatakan mengalami nasib yang sama, dalam konteks kebangsaan (bangsa baru), antara satu etnis atau dengan yang lain masih harus melakukan negosiasi dan dialog lebih inensif untuk menemukan kesamaan imajinasi tentang bangsa baru dan negeri tempat bangsa itu berpijak. “Nasionalisme kultural”, begitulah sejarawan menamai kiprah BU saat itu, sebuah upaya untuk mencari landasan identitas pada keutuhan cultural. Jong-jong di Jawa, Sumatera, Borneo, Ambon, dan Maluku mulai mendengungkan: “kita adalah pembuat bangsa baru”, sebuah keinginan yang ternyata tak mudah diwujudkan, karerna tokoh hingga Kongres Pemuda I pada tahun 1926, bangsa baru itu tidak menemukan bentuk dan landasan kulturalnya.
Dengan mengutip laporan resminya, Daniel Dhakidae (2003) menyatakan bahwa Kongres yang diikuti 11 organisasi terkemuka (Jong Java, Jong Swnatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, Jong Batak, Jong Theosofen Bond, Ambonsche Strudeerenden, Minahasa Strudeerenden, Studieclub Indonesia, Boedi Oetomo, dan Muhammadiyah) dan para peminat perorangan itu mengagendakan kesatuan sebagai persoalan utama untuk dibicarakan, di samping masalah agama dan perempuan. Mohammad Tabrani, sang ketua panitia Kongres, ketika mengakhiri sambutan pembuka Kongres, dengan berapi-api mengatakan: “Rakyat Indonesia dari seluruh kepulauan, bersatulah”. Tetapi Soemarto, peserta Kongres dari kalangan muda dan iapun seorang mahasiswa mengajukan pernyataan kritisnya bahwa: “kita belum berjalan menuju kesatuan, tetapi masih menuju cita-cita kesatuan. Persoalannya, bukan apakah pembentukan kesatuan bangsa itu mungkin, tetapi apakah kesatuan itu diinginkan dan dianggap perlu pembentukannya”. Dari pernyataannya itu, jelas Soemarto ingin mengajukan pertanyaan: apakah ada yang disebut cita-cita dan kemauan untuk bersatu. Sebuah pertanyaan yang menggugat “nasionalisme kultural” dan bisa jadi karena itulah bangsa baru akhirnya tak dapat dirumuskan.
Sementara “nasionalisme cultural” terus menguras tenaga dan pikiran, arus panggilan untuk melanjutkan kebangkitan kebangsaan (baca: nasionalisme politik) semakin menderu. Sejumlah pemuda dari berbagai organisasi dan perkumpulan yang sedari awal mendukung “nasionalisme cultural” yang emansipatoris dan reformis mulai menyadari keterbatasan orientasi itu dan mendesak agar nasionalisrne politik lebih diperhatikan. Perdebatan pun berlangsung semakin hebat, karena baik pendukung “nasionalisme kultual” maupun pengusul nasionalisme politik gigih dan bertahan pada pendiriannya masing-masing. BU sendiri yang menghimpun kedua kelompok itu di daiamnya semakin memasuki wilayah problematik dan konflik intern. Organisasi yang sejak Kongres pertamanya, Oktober 1908 jatuh ke tangan para priyayi ini lebih tertarik membiarkan diri bergelimang dalam “nasionalisme kultural” dengan memberi tekanan pada romantisme (pada tahun 1920, organisasi ini mensporsori Kongres Kebudayaan Jawa, menggeser watak dan cita-cita emansipasi, dan akhirnya mengesampingkan aspirasi kalangan muda dalam organisasi itu untuk mulai mengembangkan nasionalisme politik.
Tjipto Mangunkusumo, sang pemuda terpelajar yang ikut mendirikan BU, harus tersingkir lantaran usulnya agar BU bergerak dalam nasionalisme politik. Suryaningrat (ketua cabang SI Bandung) mendirikan Indisch Partij, sebuah partai yang tak pernah mendapat izin dari pemerinah Belanda. la tidak menyesal, karena partai yang ia dirikan bukan saja menandai dimulainya nasionalisme politik tetapi juga telah mewariskan gagasan tentang batas-batas komnitas bangsa. Menurutnya, bangsa Hindia ada? Ah semua yang bermukim di kepulauan nusantara; mereka yang berlatar belakang etnis dan ras adalah blijvers yang sebangsa dan berbeda status dengan kaum trekkers, kelas penguasa, yaitu mereka yang ulang-alik ke negeri induk.
Dalam situasi yang serba “belum terbentuk” seperti itulah Kongres Pemuda ke-2 diselenggarakan pada Oktober 1928, sebuah peristiwa politik yang kini kita yakini sekaligus kita dengungkan sebagai “sumpah pemuda”. (Sumpah pernuda merupakan istilah yang tidak muncul saat itu apalagi menjadi ketetapan Kongres. la mulai di[per]kenal[kan] dalam laporan “Kerapatan Besar Pemoeda Indonesia jang, ke-1” pada tahun 1931 di Surakarta setelah mendengarkan pernyataan Jusupadi Danubardiningrat dalam hajatan tersebut. Apa yang terjadi kernudian hingga kini, mungkin karena kata “sumpah”, kita percaya benar bahwa satu bangsa Indonesia seperti yang termaktub dalam sumpah itu adalah benar-benar adanya, sebuah kesatuan yang terhentuk atas dasar cultural authenticity. Begitu mendalam kita meyakini hai itu sehingga kritik yang beberakali diajukan, seperti yang pernah terpapar dalam liputan utama sebuah majalah mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga tahun 1977 yang diberi taiuk: “Soempah Pemoeda, Sumpah Serapah”, nyaris tak tergubris.
Sumpah Pemuda memang sumpah politik yang lebih ditujukan terutama untuk meyakinkan pihak luar (kolonial Belanda) bahwa “kami” sebagai bangsa benar-benar ada sehingga “pengakuan” secara politik pula segera diperoleh. Dan benar sesudah sumpah pemuda itu diikrarkan, bukan saja dalam kesadaran politik sebuah baagsa telah ada dan Indonesia Muda telah berdiri, tetapi juga hampir seluruh wacana politik dan kebudayaan bertolak darinya. Berbagai kecenderungan ideologis diperdebatkan dalam bentuk poros yang berlawanan (mulai dari internasionalisme yang dihadapkan dengan kpribadian asli atau Barat versus Timur hingga relativisme agama dalam kehidupan yang diversuskan dengan penggunaan agama sebagai landasan segalanya). Satu hal penting yang dapat ditarik dari proses perdebatan itu adalah bahwa cita-cita kedaulatan rakyat, keadilan social, dan nasionalisme “Indonesia Raya” yang mengalahkan nasionalisme lokal menjadi tampil sebagai konsensus ideologis.
Dengan sumpah pemuda itu pula nasionalisme politik, semakin bertengger kokoh dan menggeser nasionalisme kultural karena pada akhirnya nasionalisme politik harus merumuskan diri sebagai organisasi modern yang hanya berurusan dengan cita-cita ke depan, bukan untuk menggali pusaka lama. Para pendukung nasionalisme politik menyadari bahwa bangsa dan tanah air bukanlah sesuatu yang menjadi dengan sendirinya, tetapi lebih bertolak dari pengakuan dan perjanjian dalam arti politik. Bagi mereka, kebudayaan, adat, dan pusaka lama adalah bahan-bahan penting dalam usaha untuk mengantarkan sumpah itu menjadi kenyataan dan semakin teguh; mereka juga menyadari bahwa kebudayaan bisa berbeda-beda yang karenanya sangat mungkin menjadi landasan disintegrasi.
Dalam situasi menguatnya nasionalisme politik dan perdebatan ideologis di satu sisi dan belum selesainya persoalan cultural authenticity sebagai landasan kebangsaan yang plural di sisi yang lain itulah pekik kemerdekaan didengungkan. Dengan semangat pribuminya, Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia, memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tetapi, siapapun tidak bisa menyangkal, proklamasi kemerdekaan bukanlah titik akhir dari perjuangan kebangsaan. Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya dimana kaum priboemi menyabung nyawa melawan Sekutu memang heroik (kemudian kita peringati sebagai Hari Pahlawan) yang kemudian disusul dengan Bandung Lautan Api, tetapi Belanda masih tak mau melepas Hindia dan bertekad melanjutkan kolonisasinya, tentara Sekutu pun tak mau ketinggalan, meski berdalih menjadi penengah tetapi kenyataannya tetap membela Belanda. Dalam kenyataannya, hingga akhir tahun 1946 pemerintah Indonesia hanya menguasai Jawa, Sumatera, dan Madura, selebihnya masih berada dalam genggaman kekuasaan Belanda. Konferensi Linggajati di Jawa Barat Nopembcr 1946 yang keputusan-keputusan nya ditolak oleh pemerintah Indonesia karena dianggap tidak sesuai dengan harapan justru mengobarkan perang terbuka di seluruh wilayah Hindia Belanda.
Pada saat bersamaan atau beriringan. Abdul Fatah di pantai Utara Jawa Tengah, Kartosuwirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan Daud Buerueh di Aceh, meski tidak dalam satu komando, mengerek bendera Negara Islam Indonesia (NII). Daud Buerueh berhasil didekati Soekarno sendiri dengan diplomasi, tetapi tiga tokoh Darul Islam lainnya, karena menolak diplomasi, terpaksa dilumpuhkan secara militer; Abdul Fatah sendiri kemudian diketahui mengungsi dan memilih menetap di Korea Selatan sebagai imam masjid di Soeul. Tak hanya itu, menjelang tahun 1950 orang Dayak di Kalimantan (dahulu) Selatan mengamuk, turun di jalan-jalan kota Banjarmasin dan membakar banyak toko dan perkantoran. Mereka, yang telah lama terhimpit hidup dalam satu propinsi dengan orang-orang Banjar yang muslim, menuntut agama mereka, Kaharingan diakui sebagai agama resmi yang dengan demikian mendapat perlindungan dari pemerintah atau diberi propinsi tersendiri. Soekarno yang pusing menghdapi itu, akhirnya memberikan wilayah kekuasaan tersendiri dengan membuka propinsi baru yang kemudian kita kenal sebagai Kalimantan Tengah beribukota Palangkaraya.
Beberapa persoalan lain yang lebih “lunak” tak henti-hentinya timbul-tenggelam. NU, Muhamadiyah, dan Persis yang potensial mengusung Piagam Jakarta menarik perhatian Soekarno untuk secara intensif berdialog dengan Wahid Hasyim, Ahmad Dahlan, dan A. Hasan, di samping Soekarno sendiri rajin belajar tentang Islam terutama dari “Api Islam”nya Amir Ali dan “Dunia Baru Islam”nya L. Stoddrad. Lepas dari kontroversi yang masih kuat, rumusan NASAKOM yang dideklarasikan akhir 50-an menunjukkan, paling tidak secara politik, keberhasilan Soekarno merekonsiliasi berbagai kekuatan ideologis yang potensial melahirkan disintegrasi nasional. Meski dalan menyikapi kegagalan Konstituante ia harus mewujudkan otoritas yang tidak disukai banyak pihak, Dekrit Presiden.
Betapapun, mungkin karena terjadinya dialektika yang produktif antara nasionalisme cultural dan nasionalisme politik secara tak disengaja, kebangkitan kebangsaan saat itu lebili bersifat inkiusif, siapapun diperkenankan masuk asal memiliki komitmen pada pengakuan akan kesatuan bangsa, tanah air dan mempertahankan kemerdekaan. Taufik Abdullah (2001) menyatakan bahwa komunitas baru yang dihasilkan kebangkitan kebangsaan kala itu juga semakin kuat karena adanya proses inkorporasi dari unsur-unsur yang semula saling asing mendapatkan tempat di dalamnya sekaligus mengalami transformasi sehingga menjadi hagian otentik dari “dunia baru” yang terbentuk, meski tetap harus diakui bahwa gejolak-gejolak internal belum seluruhnya teratasi (walau sebenarnya, seperti ditulis oleh Baskara T. Wardaya (2008), gejolak-gejolak politik waktu itu (1945-1965) lebih diakibatkan oleh intervensi pihak luar; Belanda dan Amerika yang kemudian menyebabkan timbulnya perang dingin (1953¬1963). Taufik mengatakan bahwa: “Di atas segala-galanya. kesuksesan kebangkitan kebangsaan waktu itu adalah karena bermula dari pemikiran dan cita-cita yang kreatif dan tradisi wacana intelektual yang terbuka. Semuanya berawal dari hasrat untuk menjadikan system hegemoni dan perlakuan tidak adil lainnya yang berlaku menjadi tak relevan.”
Nasionalisme politik memang akhirnya berjalan lepas dari control ketika pemusatan kekuasaan semakin dinikmati. Tradisi serba debat dan konflik ideologis yang dikembangkan demokrasi terpimpin memang membuahkan suasana kehidupan yang independent dan “merdeka”, tetapi sekaligus tidak bisa menghindar dari implikasi berikutnya: berujung pada penggunaaan otoritatif negara terhadap hanyak persoalan yang dianggap membahayakan di satu sisi, dan ketertinggalan (atau kemunduran) sektor ekonomi dan kemakmuran di sisi yang lain.
Tidak perlu diingkari bahwa penyempitan sirkulasi kekuasaan memang sudah terjadi sejak masa demokrasi terpimpin, tetapi baru memperoleh bentuknya yang paling spektakuler pada masa pembangunan (orde baru) yang membalik alam pikiran serba konfiik ke alam pikiran serba konsensus. Justru di ruang consensus itulah negara memainkan monopoli terhadap semua saluran kekuasaan yang tersedia. Negara menjadi pemegang otoritas tunggal terhadap setiap tafsir dan kebijakan termasuk artikulasi kebangsaan baik yang berkaitan dengan nasionalisme politik maupun nasionalisme kultural. Kesuksesan ekonorni dan pengakuan internasional memang sering dijadikan contoh orde baru berhasil membangun, tetapi ketergantungan atau dependensi Indonesia dalam percaturan ekonomi dan politik global nyaris terlupa dari ingatan bangsa, bahkan yang terakhir itu tampak semakin menguat pada pengganti orde baru sekarang ini.
Catatan terahir, ada yang penting selalu diingat hahwa kebangsaan dan nasionalisme (politik maupun kultural adalah sesuatu yang terbuka bergerak dinamis, instabil, dan selalu retaa. Memperlakukan kebangsaan dan nasionalisme yang sebaliknya hanya akan melahirkan stagnasi kehldupan yang taruhannya adalah negara dan kebangsaan itu sendiri. Bukankah dinamika internal kehidupan berbangsa selalu menagih perubahan dan situasi eksteral pun selalu menuntut penyesuaian?
Penulis adalah Seorang Pengamat Kebudayaan yang sekarang masih aktif menjadi peneliti sekaligus menjadi Direktur di TANKINAYA INSTITUTE.
Leave a Reply