Judul: Tak Bergeming Di Bawah Tatapan Tuhan dan Manusia , Muhammad Iqbal tentang Tuhan dan Manusia
Penulis: Ahmad Zainul Hamdi
Penerbit: Basis PMII Malang dan PT Danar Wijaya, Brawijaya University Press
Tahun: 1999
Tebal: 119
ISBN: 9798657357
Hakikat Manusia
Buku ini cukup sederhana dan ringkas bila Anda ingin memahami konsep Insan Kami Iqbal.
Penulis memulai dengan mengeksplorasi bahwa pertanyaan tentang hakikat manusia merupakan pertanyaan yang sudah sangat tua. Berbagai upaya untuk menemukan misteri hakekat manusia telah mewarnai aktifitas filsafat, baik di Barat maupun Timur.
Bahkan bisa dikatakan, tidak ada satu pun aliran filsafat yang tidak menyentuh masalah ini. Sekalipun begitu, kajian tentang manusia tetap menyisakan celah yang semakin menggairahkan bagi perenungan-perenungan filosofis berikutnya.
Pemikiran tentang kesiapaan manusia telah dilakukan orang sejak dulu. Kisah Diogenes (400-325 SM), seorang filosof Yunani, adalah satu kisah yang amat tua dan terkenal. Kisah ini menceritakan tentang pencarian sosok manusia sempurna. Dikisahkan, suatu kali sang filosof ini berkeliling kota dengan lampu yang menyala di tangan di bawah terik matahari.
Orang-orang yang menganggapnya sebagai orang gila bertanya kepadanya apa yang sedang dicarinya. Dia pun menjawab bahwa dia sedang mencari manusia. Ketika dikatakan padanya bahwa banyak orang bergerombol di depannya, dia menukas bahwa yang dia lihat hanyalah gerombolan makhluk-makhluk rendah, sementara yang dicarinya adalah manusia; manusia yang sebenar-benarnya manusia.
Para filosof Yunani Klasik yang lain, seperti Pitagoras (600 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM), juga telah berupaya untuk menjelaskan siapa sebenarnya yang dimaksud dengan manusia. Tepatnya di mana letak hakekat manusia sesungguhnya. Manusia seperti tidak pernah lelah mempertanyakan eksistensinya. Hingga dalam setiap fase kehidupan manusia, mesti banyak cerita-cerita tentang bagaimana menemukan jawaban atas pertanyaan ini.
Insan Kamil
Al-insan al-kamil adalah puncak perkembangan ego manusia. Manusia sempurna memiliki ego yang sangat kuat, bahkan ketika dia berhadapan dengan Ego Mutlak (Tuhan) sekalipun. Dia adalah hasil dari proses evolusi panjang dari perjuangan ego untuk meraih posisi tertinggi dalam skala wujud.
Dia adalah ending dari drama perjuangan ego yang tidak hanya melelahkan, tetapi seringkali juga memedihkan. Semakin dalam seseorang mampu mencapai derajat kesempurnaannya, semakin ia memiliki ego yang unik dan kuat. Kesempurnaan manusia ditandai dengan kekuatannya untuk tetap menegaskan egonya di depan Ego Mutlak.
Inilah ujian tertinggi untuk melihat kekuatan ego seseorang. Bisa dikatakan bahwa kesempurnaan manusia disandarkan pada proposisi seberapa jauh seseorang mampu mempertahankan egonya di hadapan Ego Mutlak. Kalau dia tidak bergeming di bawah tatapan mata Ego Mutlak, maka dia adalah ego yang sempurna.
Dalam pandangan Iqbal, kekuatan ego yang dimiliki al-insan al-kamil-lah yang menjadi alasan dia diangkat menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Dia adalah rekan kerja (co-worker) Tuhan. Dengan kekuatannya pula, al-insan al-kamil akan selalu menciptakan dunia baru sesuai dengan kehendaknya.
Karena itu, seringkali manusia sempurna adalah manusia yang terkesan ‘rewel’ di hadapan Tuhan. Dia tidak pernah puas dengan apa adanya; dia menghendaki segala sesuatu menjadi apa yang seharusnya. Dengan kekuatannya, dia ikut berpartisipasi secara sadar dalam kehidupan kreatif Tuhan.
Ketika al-insan al-kamil dalam pandangan Iqbal adalah manusia dengan ego yang sangat kuat, yang tetap kokoh sekalipun berhadapan face to face dengan Tuhan, maka mau tidak mau, Tuhan pun harus digambarkan sebagai Ego.
Kodrat ego dalam pandangan Iqbal adalah unik. Sekalipun dia memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan ego yang lain, tetapi dia tetap mengorbit pada lintasannya sendiri. Dengan menggambarkan Tuhan sebagai ego, maka Iqbal sampai pada penyimpulan logis tentang relasi Tuhan-manusia dalam filsafat al-insan al-kamil-nya. Tuhan dan manusia adalah dua entitas yang berbeda.
Sementara kesempurnaan manusia tercapai justru ketika dia tetap mampu mempertahankan egonya di hadapan Tuhan, bukan larut ke dalam Tuhan, sekalipun pelarutan ini pun sebetulnya adalah mustahil karena memang menyalahi kodrat ego yang unik.
Di sisi lain, al-insan al-kamil dalam pandangan Iqbal adalah manusia yang mampu menyerap kebaikan-kebaikan Tuhan ke dalam dirinya. Dan ketika al-insan al-kamil dideskripsikan sebagai manusia dengan ego yang sangat kuat, maka mau tidak mau, Tuhan pun harus digambarkan dengan kekuatan. Hanya dengan menggambarkan Tuhan sebagai kekuatan, maka gagasan kekuatan pada al-insan al-kamil memiliki pijakan makna secara Ilahiyah. Sekalipun samar-samar, pikiran ini bukan tidak disadari Iqbal. Apalagi dia sendiri telah memilih bahwa Tuhan lebih baik digambarkan sebagai kekuatan.
Leave a Reply